Haji Umrah

Thowaf Wada’, Penutup Amalan Haji

Jika Jama’ah Haji telah melempar jumrah padah hari keduabelas lalu keluar dari Mina (disebut nafer awwal), atau menambah hingga hari ketigabelas, berarti tinggal satu manasik lagi yang mesti ditunaikan yaitu thowaf wada’. Thowaf ini merupakan bagian dari wajib haji sebagaimana pendapat jumhur ulama (mayoritas).

Thowaf wada’ adalah sebagai penghormatan terakhir pada Masjidil Haram. Jadinya thowaf ini adalah amalan terakhir bagi orang yang menjalankan haji sebelum ia meninggalkan Mekkah, tidak ada lagi amalan setelah itu.

Dari  Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ ، إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْحَائِضِ

Manusia diperintahkan menjadikan akhir amalan hajinya adalah di Baitullah (dengan thowaf wada’, pen) kecuali hal ini diberi keringanan bagi wanita haidh.” (HR. Bukhari no. 1755 dan Muslim no. 1328).

Adapun wanita haidh yang telah menjalani thowaf ifadhoh jika ia bisa menunggu sampai haidhnya suci, maka ia diperintahkan melakukan thowaf wada’. Jika tidak mampu menunggu karena harus meninggalkan Mekkah, thowaf wada’ gugur darinya.

Thowaf wada’ ini wajib menjadi akhir amalan orang yang berhaji di Baitullah dan ia tidak boleh lagi tinggal lama setelah itu. Jika ia tinggal lama setelah itu, thowaf wada’nya wajib diulangi. Adapun jika diamnya sebentar seperti karena menunggu rombongan, membeli makanan atau ada kebutuhan lainnya, maka itu tidaklah masalah. Begitu pula jika ada yang belum menunaikan sa’i hajinya, maka ia boleh menjadikan sa’inya setelah thowaf wada’. Karena melakukan sa’i tidak memerlukan waktu yang lama.

Sedangkan bagi penduduk Mekkah tidak ada kewajiban thowaf wada’. Begitu pula tidak ada kewajiban thowaf wada’ bagi orang yang berumroh karena tidak ada dalil yang menjelaskannya sebagaimana pendapat jumhur ulama, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.

Boleh pula mengakhirkan thowaf Ifadhoh  dan digabungkan satu niat dengan thowafWada’. Demikian menurut pendapat yang shahih.

Bagi yang telah selesaikan menunaikan seluruh manasik, segeralah pulang dan kembali pada keluarganya, karena demikian mendapatkan pahala yang besar dan inilah yang biasa dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ

Safar adalah bagian dari adzab (siksa). Ketika safar salah seorang dari kalian akan sulit makan, minum dan tidur. Jika urusannya telah selesai, bersegeralah kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927).

Semoga Allah menjadikan perjalanan haji kita penuh barokah dan menuai haji mabrur yang tiada balasan mulia selain Surga.

Baca Juga:

Referensi:

Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, terbitan Majalah Al Bayan, cetakan 1429 H.

Shifat Hajjatin Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq At Thorifiy, terbitan Maktabah Dar Al Minhaj, cetakan ketiga, 1433 H.

 

@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 5 Dzulhijjah 1433 H

www.rumaysho.com

Artikel yang Terkait

8 Komentar

  1. Bismillah,
    Ustadz, saat melakukan thawaf wada dan thawaf ifadhoh apakah masih harus menggunakan pakaian ihram atau menggunakan pakaian biasa?

    1. Jazakallah,
      Meskipun thawaf ifadhoh dilakukan setelah lewat tgl 10 Dzulhijjah menggunakan pakaian biasa tidak mengapa ya ustadz?
      Soalnya saya pernah baca dari media online juga kalau pada tgl 10 Dzulhijjah belum melaksanakan thawaf ifadhoh maka diharuskan ihram lagi hingga selesai thawaf ifadhoh
      Syukron atas jawaban atas kebingungan saya

    2. Memakai pakaian ketika itu bisa jika sudah tahallul awal.

      Tahallul awwal ketika telah melakukan: (1) lempar jumroh pada hari Nahr (10 Dzulhijjah), (2) mencukur atau memendekkan rambut. Jika telah tahallul awwal, maka sudah boleh melakukan seluruh larangan ihram (seperti memakai minyak wangi), memakai pakaian berjahit dan yang masih tidak dibolehkan adalah yang berkaitan dengan istri.
      Tahalluts tsani ditambah dengan melakukan thowaf ifadhoh (yang termasuk thowaf rukun). Ketika telah tahalluts tsani, maka telah halal segala sesuatutermasuk jima’ (hubungan intim) dengan istri (Fiqhus Sunah, 1: 500).
      Dari penjelasan di atas, maka jelas bahwa thawaf ifadoh bs memakai pakaian biasa jika sudah lempar jumroh pd tanggal 10 dan mencukur atau memendekkan rambut.
      Lihat link berikut:
      https://rumaysho.com/hukum-islam/haji-umrah/3970-ringkasan-panduan-haji-5-ihram-dan-tahallul.html.

      Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
      Rumaysho.com via My Ipad

    3. Syukron, mudahan Allah melimpahkan barakah dan ilmu yang luas kepada ustadz.
      Afwan ustadz, saya mau tanya lagi mohon maaf jika kurang berkenan. Bolehkan jika saat ihram kita menggunakan semacam celana dalam yang tidak berjahit dan dipotong seperti pola celana dalam. ilustrasi kainnya adalah seperti pola celana dalam yang belum dijahit.
      Cara menggunakannya dengan cara mengikatkan kain tersebut dibadan. Apakah ini termasuk kategori pakaian yang membentuk tubuh?

      Syukron atas jawabannya dan mohon maaf jika kurang berkenan dengan pertanyaannya.

  2. Bismillah
    ustadz, untuk yg melaksanakan haji tamattu, setelah melakukan thawaf qudum kemudian sa’i, apakah setelah melakukan thawaf ifadhah Dan Wada’ harus melaksanakan sa’i lagi untuk masing2 thawaf tsb?

    1. Bagi haji tamattu ada kewajiban dua sai yaitu sai haji dan sai umrah. Stlh thawaf ifadhoh mesti ada sai haji. Namun tdk demikian untuk thawaf wada’.
      Muhammad Abduh Tuasikal
      Rumaysho.com via Iphone 4

      في ٢٩‏/١٠‏/٢٠١٢، الساعة ١١:٥٩ ص، كتب “Disqus” :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button