Muamalah

Haji dan Shalat Tidaklah Diterima Karena Harta Haram?

Apakah haji dan shalat tidaklah diterima karena harta haram?

 

Bahasan ini disinggung oleh Ibnu Rajab Al-Hambali ketika membahas hadits kesepuluh dari Hadits Arbain karya Imam Nawawi. Beliau paparkan masalah ini dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam.

Baca juga: Hadits Arbain 10, Halal Berpengaruh pada Doa Kita

 

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Jika doa saja tidak dikabulkan, amalan lainnya pun demikian tidaklah diterima karena mengonsumsi yang haram.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:260).

 

Mengenai sedekah yang tidak diterima, ada riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram).” (HR. Muslim no. 224). Ghulul adalah harta rampasan perang yang dicuri dan diambil sebelum dibagi.

Ibnu Rajab mengatakan dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam (1:263), “Adapun sedekah dari harta haram tidaklah diterima.”

Mengenai shalat, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ امْرِئٍ فِي جَوْفِهِ حَرَامٌ

“Shalat seseorang tidak akan diterima ketika dalam perutnya terdapat yang haram.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:262. Ada catatan kaki dari Syaikh Syuaib Al-Arnauth dan Syaikh Ibrahim Yajis bahwa Abu Yahya Al-Qatat laynul hadits). Istilah laynul hadits menunjukkan bahwa riwayat ini dikritik.

Haji dan umrah dengan harta haram juga khawatir tidak diterima oleh Allah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا خرجَ الرجلُ حاجًّا بِنَفَقَةٍ طَيِّبَةٍ، ووضعَ رِجْلَهُ في الغَرْزِ، فَنادى: لَبَّيْكَ اللهمَّ لَبَّيْكَ، ناداهُ مُنادٍ مِنَ السَّماءِ: لَبَّيْكَ وسَعْدَيْكَ زادُكَ حَلالٌ، وراحِلَتُكَ حَلالٌ، وحَجُّكُ مَبْرُورٌ غيرُ مَأْزُورٍ، وإذا خرجَ بِالنَّفَقَةِ الخَبيثَةِ، فوضعَ رِجْلَهُ في الغَرْزِ، فَنادى: لَبَّيْكَ اللهمَّ لَبَّيْكَ، ناداهُ مُنادٍ مِنَ السَّماءِ: لا لَبَّيْكَ ولا سَعْدَيْكَ، زادُكَ حرامٌ، ونَفَقَتُكَ حرامٌ، وحَجُّكَ غيرُ مَبْرُورٍ.

Jika seseorang itu keluar berhaji dengan harta yang halal, saat dia menginjakkan kakinya ke atas kendaraan, ia menyeru, ‘Labbaik Allahumma labbaik.’ Kemudian ada yang menyeru dari langit, ‘Labbak wa sa’daik, diterima hajimu dan engkau berbahagia, bekalmu berasal dari harta halal, kendaraanmu dibeli dari harta halal, hajimu mabrur dan tidak berdosa.’ Jika seseorang itu keluar berhaji dengan harta yang haram, saat dia menginjakkan kakinya ke atas kendaraan, ia menyeru, ‘Labbaik Allahumma labbaik.’ Kemudian ada yang menyeru dari langit, ‘Laa labbaik wa laa sa’daik, tidak diterima kedatanganmu, dan engkau tidak mendapatkan kebahagiaan, bekalmu berasal dari harta haram, biaya hajimu dari harta haram dan hajimu tidak mabrur.” (HR. Thabrani dengan sanad dhaif menurut Ibnu Rajab Al-Hambali dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:261, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Dalam Jaami’ Al-Ulum wa Al-Hikam (1:262), Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menyebutkan, “Para ulama berselisih pendapat mengenai haji dengan harta haram dan shalat dengan pakaian haram, apakah gugur kewajiban shalat dan haji.”

 

Pendapat terkuat mengenai shalat dan haji dengan harta haram itu sah (tidak perlu diulang), tetapi tidak diterima.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ (7:62) berkata bahwa jika seseorang berhaji dengan harta haram, hajinya tetap sah. Demikian pendapat kebanyakan para ulama.

Dalam Ensiklopedia Fikih, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (17:131) disebutkan bahwa berhaji dengan harta syubhat atau dengan harta hasil curian, tetap sah hajinya menurut pendapat para ulama yang ada. Namun, yang berhaji dengan cara seperti itu disebut bermaksiat dan hajinya tidaklah mabrur. Inilah pendapat dalam madzhab Imam Syafi’i dan Imam Malik. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan kebanyakan ulama salaf dan khalaf (dulu dan belakangan) berpandangan berbeda, sebagaimana pula Imam Ahmad. Imam Ahmad berkata bahwa berhaji dengan harta haram tidaklah sah. Namun, Imam Ahmad dalam pendapat lainnya menyatakan bahwa hajinya sah, tetapi tetap diharamkan. Dalam hadits sahih disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ada seseorang yang melakukan safar yang jauh, dalam keadaan badan berdebu, lantas ia menengadahkan tangannya ke langit dengan menyebut, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal makanan dia dari yang haram, minumnya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan ia diberi dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.

Baca juga: Pinjam Bank dan Dana Talangan Haji

Kaidah yang patut diingat

Jika keharaman tidak kembali pada zat ibadah dan tidak kembali pada syarat, maka ibadah tersebut sah walaupun melakukan keharaman (dosa).

Baca juga: Pengharaman dalam Zat dan Syarat Ibadah

 

Referensi:

  1. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
  2. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy. Cetakan kedua, Tahun 1427 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.
  3. Harta Haram Muamalat Kontemporer. Cetakan ke-23, Tahun 2020. Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. Penerbit Berkat Mulia Insani.
  4. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam fii Syarh Khamsiina Haditsan min Jawaami’ Al-Kalim. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

 


 

@ Darush Sholihin, 8 Muharram 1442 H (27 Agustus 2020)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button