Akhlaq

Bulughul Maram – Akhlak: Apa itu Zuhud dan Wara’?

Zuhud dan wara’ adalah sifat yang mulia yang harus dimiliki tiap muslim.

Kitabul Jaami’ dari Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqalani 

بَابُ الزُّهْدِ وَالوَرَعِ

Bab Zuhud dan Wara’

Apa yang dimaksud zuhud?

Zuhud secara bahasa berarti meninggalkan. Dan kata zahada itu berarti sedikit pada segala sesuatu. Zahid adalah sesuatu yang sedikit.

Hakikat zuhud telah diungkap oleh para ulama salaf dengan berbagai macam tafsiran.

Dari berbagai perkataan ulama salaf dapat disimpulkan bahwa, zuhud adalah berpindah dari tergila-gila pada sesuatu beralih kepada sesuatu yang lebih baik.

Berarti zuhud adalah meninggalkan hal-hal yang melalaikan dari dari akhirat, beralih pada meninggalkan kesenangan duniawai dan sibuk pada dunia, lalu semangat menggapai akhirat serta mempersiapkan diri menuju negeri masa depan.

Termasuk dalam zuhud ini adalah meninggalkan yang haram dan makruh, juga meninggalkan hal mubah yang dapat melalaikan dari akhirat dan melalaikan dari melakukan amalan saleh.

Catatan: Zuhud ini bukan berarti kita tidak boleh mengurus dunia yang bisa mengantarkan untuk taat kepada Allah. Zuhud bukan berarti kita harus tinggalkan kebiasaan dunia secara umum, seperti meninggalkan jual beli, bertani, dan bekerja. Boleh saja kita mencari dunia asalkan tidak melalaikan dari persiapan akhirat, hati tetap tidak penuh pada dunia, dan mengharap apa yang ada di sisi Allah.

Ibnul Jalaa’ mengatakan, “Zuhud adalah memandang dunia itu akan fana, dunia itu kecil di matamu, sehingga jika di dunia itu ditinggalkan begitu mudah.” (Bashair Dzawi At-Tamyiz, 3:139, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3:137).

Sebagian ulama salaf berkata, “Zuhud adalah ‘azuful qalb ‘anid dunya bi laa takalluf, yaitu hati tidak selamanya bersahabat dengan dunia tanpa ada rasa beban.” (Madarij As-Salikin, 2:11, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3:137)

Imam Ahmad pernah ditanya mengenai seseorang yang memiliki uang 1000 dinar. Apakah ia bisa disebut sebagai orang yang zuhud? Jawab beliau, “Iya, bisa saja asalkan ia tidaklah terlalu berbangga bertambahnya harta dan tidaklah terlalu bersedih harta yang berkurang.” .” (Madarij As-Salikin, 2:11, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3:138)

Baca Juga: Seorang Milyarder Bisakah Disebut Zuhud?

Ibnul Qayyim mendengar gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

الزُّهْدُ تَرْكُ مَالاَ يَنْفَعُ فِي الآخِرَةِ وَالوَرَعُ : تَرْكُ مَا تَخَافُ ضَرَرَهُ فِي الآخِرَةِ

“Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang membawa mudarat di akhirat.”

Ibnul Qayyim lantas berkata, “Itulah pengertian zuhud dan wara’ yang paling bagus dan paling mencakup.” (Madarij As-Salikin, 2:10, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3:138)

Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata bahwa yang dimaksud zuhud oleh Ibnu Taimiyah di atas adalah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan yang tidak membantu dalam ketaatan kepada Allah.

Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan melanjutkan, adapun jika perkara mubah tersebut bermanfaat untuk negeri akhirat, lalu ada yang meninggalkannya (zuhud pada hal tersebut), maka tidak dinilai sebagai suatu ibadah (bukan bagian dari agama)—seperti meninggalkan berpakaian bagus padahal mampu dan ia anggap sebagai suatu ibadah, pen–. Melakukan seperti ini termasuk dalam ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Maidah: 87). Yang meninggalkan hal mubah yang bermanfaat untuk akhirat tadi adalah orang jahlun wa dhalalun, yaitu bodoh dan sesat. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

فَأَمَّا الزُّهْدُ فِي النَّافِعِ فَجَهْلٌ وَضَلَالٌ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” { احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُك وَاسْتَعِنْ بِاَللَّهِ وَلَا تَعْجِزَنَّ }

“Adapun zuhud dalam hal yang bermanfaat, maka itu termasuk kebodohan dan kesesatan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat untukmu, minta tolonglah kepada Allah, dan janganlah malas.” (HR. Muslim, no. 2664). (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:511)

 

Apa yang dimaksud wara’?

Wara’ berarti menahan diri, yaitu ‘iffah, menahan diri dari suatu yang tidak pantas.

Ada beberapa ungkapan para ulama salaf tentang wara’.

Dari berbagai perkataan dapat disimpulkan, wara’ adalah menahan diri dari hal syubhat yang bisa jadi haram atau makruh. Orang yang wara’ meninggalkan perkara tadi agar tidak terjerumus dalam perkara yang dilarang. Ia hanya mau berpegang dengan sesuatu yang sudah jelas agar agamanya selamat.

Sufyan Ats-Tsaury berkata, “Aku tidaklah pernah memandang sesuatu yang lebih mudah dari wara’ yaitu apa saja yang meragukan, maka tinggalkanlah.” (Madarij As-Salikin, 2:22, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 10:138-139).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَالْوَرَعُ الْمَشْرُوعُ هُوَ تَرْكُ مَا قَدْ يَضُرُّ فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ

“Wara’ yang disyariatkan adalah meninggalkan sesuatu yang mendatangkan mudarat untuk negeri akhirat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 21:305, 10:21)

Maka yang dimaksud dengan wara’ ini adalah meninggalkan hal haram dan syubhat karena dapat mendatangkan mudarat. Hal ini akan dibahas dalam hadits Nu’man yang akan disebut kali ini.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

أَنَّ الْوَاجِبَاتِ وَالْمُسْتَحَبَّات لَا يَصْلُحُ فِيهَا زُهْدٌ وَلَا وَرَعٌ ؛ وَأَمَّا الْمُحَرَّمَاتُ وَالْمَكْرُوهَاتُ فَيَصْلُحُ فِيهَا الزُّهْدُ وَالْوَرَعُ . وَأَمَّا الْمُبَاحَاتُ فَيَصْلُحُ فِيهَا الزُّهْدُ دُونَ الْوَرَعِ

“Perkara wajib dan sunnah tidak boleh di dalamnya ada zuhud dan wara’. Adapun perkara haram dan makruh, itulah baru ada zuhud dan wara’. Sedangkan perkara mubah hanya ada zuhud, tidak ada wara’.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:619)

Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata, “Dari sini dapat kita simpulkan bahwa zuhud itu lebih tinggi dari wara’. Wara’ itu meninggalkan hal yang berdampak mudarat. Sedangkan zuhud adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat. Karena sesuatu yang ditinggalkan demi akhirat itu ada tiga macam yaitu sesuatu yang membawa mudarat di akhirat, sesuatu yang tidak bermanfaat, sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak membawa mudarat. Wara’ berarti meninggalkan sesuatu yang membawa mudarat di akhirat. Zuhud berarti meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat, maka tentu sesuatu yang mudarat untuk akhirat pasti ditinggalkan oleh orang yang zuhud. Maka setiap orang yang zuhud termasuk dalam wara’. Namun tidak setiap orang yang wara’ itu termasuk zuhud.” Lihat Minhah Al-‘Allam, 10:140.

 

Hadits An-Nu’man bin Basyir tentang wara’ dan meninggalkan syubhat yang dimaksud adalah hadits berikut ini.

عَنْ اَلنُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ- وَأَهْوَى اَلنُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ: – إِنَّ اَلْحَلَالَ بَيِّنٌ, وَإِنَّ اَلْحَرَامَ بَيِّنٌ, وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ, لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ اَلنَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى اَلشُّبُهَاتِ, فَقَدِ اِسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ, وَمَنْ وَقَعَ فِي اَلشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي اَلْحَرَامِِ, كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ اَلْحِمَى, يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيهِ, أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى, أَلَا وَإِنَّ حِمَى اَللَّهِ مَحَارِمُهُ, أَلَا وَإِنَّ فِي اَلْجَسَدِ مُضْغَةً, إِذَا صَلَحَتْ, صَلَحَ اَلْجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ اَلْجَسَدُ كُلُّهُ, أَلَا وَهِيَ اَلْقَلْبُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dan Nu’man memasukkan jarinya ke dalam dua telinganya, ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat–yang masih samar–yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati (jantung).’” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599]

Penjelasan hadits ini insya Allah akan dibahas lengkap dalam serial selanjutnya.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

 

Baca Juga:

Referensi:

  1. Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Ahmad bin Taimiyyah Al-Harrani. Penerbit Darul Wafa’.
  2. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid kesepuluh.

 

 

 


 

Disusun malam Ahad Legi, 20 Rabiul Awwal 1441 H (17 November 2019) di #DarushSholihin

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button