Thoharoh

Manhajus Salikin: Segala Sesuatu itu Mubah dan Hukum Bejana

Segala sesuatu itu hukumnya mubah. Bejana atau wadah jenis apa pun asalnya mubah dan suci.

 

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menyatakan dalam Manhajus Salikin:

Hukum asal segala sesuatu adalah suci dan mubah.

Jika seorang muslim ragu mengenai najisnya sesuatu misal pada air, pakaian, tempat, atau lainnya, maka asalnya hukumnya adalah suci. Begitu pula ketika seseorang itu yakin suci dan ragu-ragu apakah berhadats ataukah tidak, maka hukum asalnya adalah suci.

Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada seseorang yang biasa merasakan sesuatu dalam shalatnya,

لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Janganlah berpaling hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” (HR. Bukhari no. 177 dan Muslim no. 361).

 

Semua bejana (wadah) itu mubah (boleh digunakan) kecuali:

1- Bejana emas dan perak.

2- Bejana yang terdapat emas atau perak yang sedikit kecuali jika ada sedikit dari perak karena dalam keadaan butuh.

Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلاَ تَشْرَبُوا فِى آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ ، وَلاَ تَأْكُلُوا فِى صِحَافِهَا ، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِى الدُّنْيَا وَلَنَا فِى الآخِرَةِ

Janganlah kalian minum dari wadah emas dan perak. Janganlah pula makan dari wadah tersebut. Karena emas dan perak adalah untuk mereka (orang kafir) di dunia dan bagi kita (orang beriman) di akhirat kelak.” (HR. Bukhari, no. 5426 dan Muslim, no. 2067)

 

Penjelasan:

  • Hukum segala sesuatu adalah suci dan mubah, tidak boleh beralih dari yang yakin ini sampai adanya dalil.
  • Jika seseorang yakin bahwa ia berada dalam keadaan suci. Kemudian datang keragu-raguan kalau ia berhadats, maka hukum asalnya dia itu suci. Keragu-raguan itu tidak membahayakan dikarenakan ada kaedah ‘al-yaqin laa yazuulu bisy syakk’ (keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keragu-raguan).
  • Hukum asal bejana atau wadah adalah suci dari bahan apa pun, seperti besi, tembaga, batu, kayu dan lainnya. Karena kaedah menyatakan ‘al-ashlu fi al-asy-yaa’ ath-thaharah wa al-ibahah’ (hukum asal segala sesuatu adalah suci dan mubah).
  • Tidak dibolehkan menggunakan wadah berbahan emas dan perak.
  • Tidak dibolehkan pula jika ada campuran emas dan perak pada wadah walaupun sedikit kecuali untuk tujuan menempel wadah yang pecah dengan perak dan ketika ada hajat. Disebutkan dalam hadits Anas bahwa gelas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pecah, lalu bagian yang pecah tadi ditempel dengan potongan perak. (HR. Bukhari, no. 3109)
  • Masih boleh menggunakan wadah orang kafir selama tidak diketahui najisnya. Jika diketahui najisnya, wadah tersebut dicuci lalu boleh digunakan setelah itu. Dalam hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu, Rasul ditanya mengenai panci ahli kitab yang digunakan untuk memasak babi dan meminum khamar, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lantas bersabda, ‘Jika kalian dapatkan selainnya maka gunakanlah (wadah itu) untuk makan dan minum. Jika kalian tidak mendapatkan selainnya, maka cucilah wadah (mereka) dengan air, lalu makan dan minumlah (dengan wadah tersebut).’” (HR. Abu Daud, no. 3839; Al-Baihaqi, 1: 33. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

 

Kaedah Fikih: Yakin Tidak Bisa Dihilangkan dengan Keraguan

  • Siapa yang yakin dalam keadaan suci, kemudian dalam keadaan ragu-ragu datang hadats, maka ia tetap dalam keadaan suci, baik hal ini didapati ketika shalat atau di luar shalat.
  • Siapa yang berhadats di shubuh hari, kemudian ia ragu-ragu setelah itu apakah ia sudah bersuci ataukah belum, maka ia dihukumi seperti keadaan pertama yaitu ia dalam keadaan hadats. Karenanya, ia harus berwudhu.
  • Seseorang membeli air dan mengklaim setelah itu bahwa air tersebut najis. Lalu si penjual mengingkarinya. Maka yang jadi pegangan adalah perkataan si penjual. Karena hukum asal air -inilah hukum yakinnya- adalah suci, tidak bisa dihilangkan dengan ragu-ragu.
  • Tidak wajib bagi pembeli menanyakan kepada penjual mengenai barang dagangannya apakah barang tersebut miliknya atau bukan, atau barang tersebut barang curian ataukah bukan. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hukum asal segala sesuatu di tangan seorang muslim adalah miliknya.”
  • Jika diyakini punya utang, lalu meninggal dunia. Ada keraguan apakah utangnya sudah lunas apa belum, maka diyakini utangnya masih tetap ada.

Semoga bermanfaat. Tunggu lanjutannya.

 

Referensi:

  1.  Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm. 4: 49;
  2. Al-Mufasshal fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Dr. Ya’qub ‘Abdul Wahab Al-Bahisin. Penerbit Dar At Tadmuriyah. hlm. 282-283;
  3. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Al-Kubra wa Maa Tafarra’a Minha. Shalih bin Ghanim As-Sadlan. hlm. 106;
  4. Majmu’ah Al Fatawa. Ibnu Taimiyah. Penerbit Darul Wafa’. 29: 323;
  5. Syarh Manhaj As-Salikin. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj. hlm. 30-31.
  6. Syarh Al-Manzhumah As-Sa’diyah fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy-Syatsri. Penerbit Dar Kanuz Isybiliya. hlm. 77.

 

—-

Disusun @ Perpus Rumaysho Darush Sholihin, 2 Dzulqa’dah 1438 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button