Artikel Terhangat 2Teladan

Faedah Sirah Nabi: Pembelahan Dada Nabi

Ada satu peristiwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih kecil, yaitu pembelahan dada beliau.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menggembalakan kambing milik keluarga Halimah binti Abi Dzuaib dari Kabilah As-Sa’diyah, tiba-tiba beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi dua malaikat, lalu keduanya membelah dada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengeluarkan bagian yang kotor dari hatinya. Peristiwa ini telah dijelaskan oleh Anas bin Malik dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ جِبْرِيلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ فَأَخَذَهُ فَصَرَعَهُ فَشَقَّ عَنْ قَلْبِهِ فَاسْتَخْرَجَ الْقَلْبَ فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ عَلَقَةً فَقَالَ هَذَا حَظُّ الشَّيْطَانِ مِنْكَ ثُمَّ غَسَلَهُ فِي طَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ بِمَاءِ زَمْزَمَ ثُمَّ لَأَمَهُ ثُمَّ أَعَادَهُ فِي مَكَانِهِ وَجَاءَ الْغِلْمَانُ يَسْعَوْنَ إِلَى أُمِّهِ يَعْنِي ظِئْرَهُ فَقَالُوا إِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ قُتِلَ فَاسْتَقْبَلُوهُ وَهُوَ مُنْتَقِعُ اللَّوْنِ

قَالَ أَنَسٌ وَقَدْ كُنْتُ أَرْئِي أَثَرَ ذَلِكَ الْمِخْيَطِ فِي صَدْرِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi Malaikat Jibril ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bermain dengan beberapa anak. Jibril kemudian menangkapnya, menelentangkannya, lalu Jibril membelah dada beliau. Jibril mengeluarkan hatinya, dan mengeluarkan dari hati beliau segumpal darah beku sambil mengatakan “Ini adalah bagian setan darimu”. Jibril kemudian mencucinya dalam wadah yang terbuat dari emas dengan air zam-zam, lalu ditumpuk, kemudian dikembalikan ke tempatnya. Sementara teman-temannya menjumpai ibunya (maksudnya orang yang menyusuinya) dengan berlari-lari sembari mengatakan, “Sesungguhnya Muhammad telah dibunuh”. Kemudian mereka bersama-bersama menjumpainya, sedangkan dia dalam keadaan berubah rona kulitnya (pucat). Anas mengatakan, “Saya pernah diperlihatkan bekas jahitan di dadanya.” (HR. Muslim, no. 162)

Sebagian ulama menjadikan ayat,

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu.” (QS. Asy-Syarh: 1), sebagai dalil pembelahan dada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat kecil.

Pembelahan dada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat kecil menurut pendapat para peneliti terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia empat tahun. (Lihat Ar-Rahiq Al-Makhtum, hlm. 74; Fikih Sirah Nabawiyah, hlm. 69)

Menurut Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafizahullah, pembelahan dada yang kedua adalah saat malam Mi’raj. Ketika itu Jibril mendatangi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu membelas dada beliau dan mencucinya dengan air zam-zam. (HR. Bukhari, no. 349 dan Muslim, no. 163).

Peristiwa pembelahan dada lainnya terjadi ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia sepuluh tahun lebih beberapa bulan. (Lihat Shahih As-Sirah An-Nabawiyah, hlm. 54)

 

Faedah yang Bisa Dipetik

1- Apa yang dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dibelahnya dada beliau  lalu dibersihkan dengan air zam-zam menunjukkan bahwa beliau sudah dipersiapkan untuk menerima amanat yang berat.

2- Pembedahan dada ini untuk menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbeda dengan lainnya.

3- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah maksum sejak kecil karena bagian dari setan telah dihilangkan dari beliau. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tumbuh besar dalam keadaan tidak terdapat jatah setan dalam kehidupannya.

Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan, “Pembelahan dada ini terjadi pada masa kecil. hingga beliau tumbuh dalam kondisi yang sempurna karena terlindung dari godaan setan.” (Fath Al-Bari, 7:205)

4- Akal itu sangat terbatas. Kala memahami peristiwa ini, akal tidak bisa menjangkau, maka akal harus ditundukkan dibanding dalil.

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Perisitiwa pembedahan dada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peristiwa luar biasa lainnya yang di luar jangkauan akal, tugas kita adalah taslim (menerima) tanpa menentangnya karena peristiwa semacam itu mungkin terjadi.” (Fath Al-Bari, 7:205)

Jika ada yang melakukan takwil (memalingkan ke makna lain) dan mengingkari hakikatnya, itu tanda lemahnya iman pada Allah, juga lemah keyakinannya pada nubuwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan benarnya risalah beliau. Karena tugas kita adalah meyakini semua berita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik yang kita ketahui hikmah dan sebabnya ataukah tidak. (Fiqh As-Sirah An-Nabawiyyah, hlm. 47)

 

Jika Wahyu Bertentangan dengan Akal

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika seseorang mengetahui dengan akalnya bahwa ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ada berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ternyata berita tersebut menyelisihi akalnya. Pada saat ini, akal harus pasrah dan patuh mengikuti dalil. Akal harus menyelesaikan perselisihan ini dengan menyerahkan pada orang yang lebih tahu darinya yaitu dari berita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat ini, akal tidaklah boleh mendahulukan hasil pemikirannya dari berita Rasul. Karena sebagaimana diketahui bahwa akal manusia itu memiliki kekurangan dibandingan dengan berita Rasul. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu saja lebih mengerti mengenai Allah Ta’ala, nama dan sifat-sifat-Nya, serta lebih mengetahui tentang berita hari akhir daripada akal.” (Dar At-Ta’arudh, 1:80)

 

Referensi:

  • Ar-Rahiq Al-Makhtum. Cetakan kesepuluh, Tahun 1420 H. Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri. Penerbit Darul Wafa’ dan Dar At-Tadmuriyah.
  • As-Sirah An-Nabawiyah fi Dhau’ Al-Mashadir Al-Ashliyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1424 H. Prof. Dr. Hadyu Rizqullah Ahmad. Penerbit Dar Zidni.
  • At-Tashil li Ta’wil At-Tanzil Tafsir Juz Amma (Jilid ke-30). Cetakan kedua, Tahun 1424 H. Syaikh Abu ‘Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
  • Dar At-Ta’aarudh Al-‘Aqli wa An-Naqli. Ahmad bin Abdul Halim Al-Harrani. Dar Al-Kunuz Al Adabiyah Riyadh.
  • Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Thiybah.
  • Fiqh As-Sirah An-Nabawiyyah. Cetakan ke-24, Tahun 1436 H. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi. Penerbit Darus Salam.
  • Shahih As-Sirah An-Nabawiyah. Cetakan kesembilah, Tahun 1430 H. Ibrahim Al-‘Ali. Penerbit Dar An-Nafais.

Referensi Terjemahan:

Fikih Sirah Nabawiyah. Cetakan kelima, 2016. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Zaid. Penerbit Darus Sunnah.

—-

Selesai disusun @ Perpus Rumaysho Darush Sholihin, 16 Dzulhijjah 1438 H menjelang Ashar

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button