Thoharoh

Problema Air Dua Qullah

Sebagian ulama memiliki pendapat bahwa jika air kurang dari dua qullah dan kemasukan najis sedikit ataupun banyak, baik airnya berubah atau tidak, maka air tersebut menjadi najis. Misalnya airnya adalah 5 liter, kemasukan satu tetes kencing walaupun tidak merubah bau, rasa dan warnanya, maka air tersebut tetap najis karena air lima liter masih kurang dari dua qullah.

Air dua qullah adalah air seukuran 500 rothl ‘Iraqi yang seukuran 90 mitsqol. Jika disetarakan dengan ukuran sho’, dua qullah sama dengan 93,75 sho’[1]. Sedangkan 1 sho’ seukuran 2,5 atau 3 kg. Jika massa jenis air adalah 1 kg/liter dan 1 sho’ kira-kira seukuran 2,5 kg; berarti ukuran dua qullah adalah 93,75 x 2,5 = 234,375 liter. Jadi, ukuran air dua qullah adalah ukuran sekitar 200 liter. Gambaran riilnya adalah air yang terisi penuh pada bak yang berukuran 1 m x 1 m x 0,2 m.

Alangkah bagusnya jika kita dapat melihat pembahasan berikut ini.

Hadits Air Dua Qullah

Adapun hadits mengenai air dua qullah adalah sebagai berikut.

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ

Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Ad Daruquthni)

Dalam riwayat lain disebutkan,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ

Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak ada sesuatupun yang menajiskannya. ” (HR. Ibnu Majah dan Ad Darimi)[2]

Jika Air Lebih Dari Dua Qullah

Dari hadits dua qullah ini, secara mantuq (tekstual), apabila air telah mencapai dua qullah maka ia sulit dipengaruhi oleh najis. Namun, jika air tersebut berubah rasa, bau atau warnanya karena najis, maka dia menjadi najis berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).

Misalnya: air bak kamar mandi (jumlahnya kira-kira 300 liter –berarti lebih dari dua qullah-) kena percikan air kencing, maka air bak tersebut tetap dikatakan suci karena air dua qullah sulit dipengaruhi oleh najis. Namun, jika kencingnya itu banyak sehingga merubah warna air atau baunya, maka pada saat ini air tersebut najis.

Inilah mantuq (makna tekstual) dari hadits di atas. Namun secara mafhum dari hadits ini (makna inplisit yaitu bagaimana jika air tersebut kurang dari dua qullah lalu kemasukan najis), para ulama berselisih pendapat. Perhatikan penjelasan selanjutnya.

Jika Air Kurang Dari Dua Qullah

Sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad dan pengikut mereka menyatakan bahwa jika air kurang dari dua qullah, air tersebut menjadi najis dengan hanya sekedar kemasukan najis walaupun tidak berubah rasa, warna atau baunya.

Jadi menurut pendapat ini, jika air lima liter (ini relatif sedikit) kemasukan najis (misalnya percikan air kencing), walaupun tidak berubah rasa, bau atau warnanya; air tersebut tetap dinilai najis. Alasan mereka adalah berdasarkan mafhum (makna inplisit) dari hadits dua qullah ini yaitu jika air telah mencapai dua qullah tidak dipengaruhi najis maka kebalikannya jika air tersebut kurang dari dua qullah, jadilah najis.

Namun ulama lainnya seperti Imam Malik, ulama Zhohiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahb dan ulama Najd menyatakan bahwa air tidaklah menjadi najis dengan hanya sekedar kemasukan najis. Air tersebut bisa menjadi najis apabila berubah salah satu dari tiga sifat yaitu rasa, warna atau baunya.

Alasan pendapat pertama tadi kurang tepat. Karena ada sebuah hadits yang menyebutkan,

إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ

“Sesungguhnya air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”[3]

Hadits ini secara mantuq (makna tekstual), air asalnya adalah suci sampai berubah rasa, bau atau warnanya. Sedangkan pendapat pertama di atas berargumen dengan mafhum (makna inplisit). Padahal para ulama telah menggariskan suatu kaedah, “Makna mantuq lebih didahulukan daripada mafhum.” Maksudnya, makna yang dapat kita simpulkan secara tekstual (mantuq) lebih utama untuk diamalkan daripada makna yang kita simpulkan secara inplisit (mafhum). Inilah kaedah yang biasa digunakan oleh para ulama.

Alasan lainnya, hukum itu ada selama terdapat ‘illah (sebab). Jadi kalau ditemukan sesuatu benda suci berubah rasa, warna dan baunya karena benda najis, barulah benda suci tersebut menjadi najis. Jika tidak berubah salah satu dari tiga sifat ini, maka benda suci tersebut tidaklah menjadi najis. Oleh karena itu, dengan alasan inilah pendapat kedua lebih layak untuk dipilih dengan kita tetap menghormati pendapat ulama lainnya. Wallahu a’lam bish showab.[4]

Kesimpulannya: Najis atau tidaknya air bukanlah dilihat dari ukuran (sudah mencapai dua qullah ataukah belum). Jika air lebih dari dua qullah kemasukan najis, lalu berubah salah satu dari tiga sifat tadi, maka air tersebut dihukumi najis. Begitu pula jika air kurang dari dua qullah. Jika salah satu dari tiga sifat tadi berubah, maka air tersebut dihukumi najis. Jika tidak demikian, maka tetap dihukumi sebagaimana asalnya yaitu suci.

Imam Asy Syaukani mengatakan, “Tidak perlu kita perhatikan air tersebut banyak atau sedikit, dua qullah atau kurang.” –Demikian perkataan beliau dalam matan Ad Durorul Bahiyah-. Sehingga yang jadi patokan ketika air kemasukan najis adalah air tersebut berubah bau, rasa, warnanya atau tidak. Jika berubah karena kemasukan najis, maka air tersebut menjadi najis. Begitulah ringkasnya.

Semoga Allah selalu memberikan kita ilmu yang bermanfaat.

Penulis: Muhammad  Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com

Baca Juga:


[1] Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Ali Basam, 1/116, Darul Atsar, cetakan pertama, 1425 H.

[2] Para ulama berselisih mengenai keshahihan hadits air dua qullah. Sebagian ulama menilai bahwa hadits tersebut mudhthorib (termasuk dalam golongan hadits dho’if/lemah) baik secara sanad maupun matan (isi hadits).
Namun ulama hadits abad ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini shahih. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ad Darimi, Ath Thohawiy, Ad Daruquthniy, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisiy dengan sanad yang shohih. Hadits ini juga telah dishohihkan oleh Ath Thohawiy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabiy, An Nawawiy dan Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mayoritas pakar hadits menyatakan bahwa hadits ini hasan dan berhujah dengan hadits ini. Mereka telah memberikan sanggahan kepada orang yang mencela (melemahkan) hadits ini.” (Disarikan dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 1/116)

[3] HR. Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i, Ahmad. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 478

[4] Pembahasan ini disarikan dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 1/118 dan Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 1/33-34, Dar Ibnil Haitsam.

Artikel yang Terkait

18 Komentar

  1. gimana dengan air sungai yang jumlah nya berkullah kullah tiba tiba ikan mati mendadak. jadi air nya berubah bau nya.
    bagaimana pula dengan peristiwa laut merah dan laut hitam… dimana air nya berubah warna… karena ulah manusia

  2. Jika air kurang 2qullah, Jgn bingung ibarat kotoran, tulang d darah didalam ikan teri yg kecil insya Allah, klo dimakan: Halal.

  3. bukan menurut saya…. tapisepengetahuan saya saat ngaji di pondok pesantren dulu…..
    makanya saya kanminta pendapat… apakah betul tidaknya…..
    karena dulu pernah di ajari mengenai jenis-jenis air,ada yang suci dan esucikan, ada yang suci dan tidak mensucikan, ada yang najis dan ada yang mutanajis….. begitu kok…makanya pengin tak konfirmasi bagaimana sepengetahuan saya ini apakah bisa dibenarkan… mekaten

    1. Sudah ada jawabannya di atas. Jd silakan disimak ulang. Yg sy baca dr fiqh syafi’I berbeda dgn keterangan antum. Intinya, yg tepat air kurang dr dua qullah ketika kemasukan najis, mk mesti dilihat apakah ada perubahan bau, rasa, atau warnanya atau tdk. Jd ukuran bukan jd patokan.
      Semoga Allah beri taufik.

  4. setau ana air yang kurang dari 2 kullah jika kena najis namun tidak berubah 3hal tersebut, maka air itu suci, namun disebut mutanajis. sehingga air tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci (wudhu, mandi besar)..sedangkan secara dzatnya tetep suci…..
    bagaimana pendapat antm?

    1. Antum bukan ulama jadi tdk etis mengeluarkan pendapat antum sendiri karena antum bukan mujtahid, tidk etis denagn kalimat setau ana, menurut ana. sebutkan dengan jelas mana sumber dalilnya, dari kitab mana? dan shahih apa tdk?

    2. dalam fathul qariib itu ada, istilah yang dipakai maa-un najas (air yg najis), yg dimaksud itu air mutanajis, air yang kejatuhan najis, sbgaimana yg disepakati, dlm masalah thoharoh untuk bersuci haruslah air suci yang mensucikan (air muthlaq). jadi kalo air kurang dr dua kulah dan kejatuhan najis, ya dia disebut mutanajis, dan air mutanajis gak bisa dipakai untuk bersuci.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button