Umum

Berpakaian yang Bagus dan Sederhana

Kita diperintahkan berpakaian sederhana, namun bukan berarti sengaja menampakkan diri miskin seperti tak punya apa-apa. Tetap menampakkan nikmat Allah yang telah diberikan, itu lebih baik dan Allah sangat suka dengan hal itu.

Meninggalkan Pakaian Bagus dalam Rangka Tawadhu’

Itu judul bab yang dibawakan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin ketika membawakan hadits berikut ini.

Dari Mu’adz bin Anas, ia berkata,

مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسِ تَوَاضُعًا لِلَّهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَىِّ حُلَلِ الإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا

Barangsiapa yang meninggalkan pakaian (yang bagus) disebabkan tawadhu’ (merendahkan diri) di hadapan Allah, sedangkan ia sebenarnya mampu, niscaya Allah memanggilnya pada hari kiamat di hadapan segenap makhluk dan ia disuruh memilih jenis pakaian mana saja yang ia kehendaki untuk dikenakan.” (HR. Tirmidzi no. 2481 dan Ahmad 3: 439. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah ketika menerangkan hadits di atas dalam penjelasan kitab Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, beliau berkata:

Jika seseorang berada di tengah-tengah orang yang hidupnya sederhana, maka janganlah ia berpenampilan terlalu mewah. Kalau ia mau mengambil sikap tawadhu’ (rendah diri), maka berpakaianlah seperti pakaian mereka. Biar hati mereka tidak merasa kerdil dan juga bukan tanda sombong. Inilah membuat seseorang mendapatkan pahala yang besar.

Namun jika seseorang berada di sekitar orang yang berpakaian bagus, maka lebih pantas ia memakai pakaian semisal mereka, karena Allah itu jamil (indah) dan menyukai suatu yang indah. Karena kalau seseorang berpakaian sederhana di tengah-tengah orang-orang yang berpakaian bagus, maka ia akan tampil beda. Jadi seseorang dalam berpakaian bisa menyesuaikan kondisi.

Intinya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin merinci menjadi dua:
1- Jika seseorang melihat di sekelilingnya berpakaian sederhana, padahal ia mampu mengenakan pakaian yang bagus, maka berpakaian seperti itu adalah pahala yang besar.
2- Jika seseorang melihat di sekitarnya berpakaian yang bagus, maka tidak mengapa ia memakai semisal itu pula.

Maksud Syaikh rahimahullah, berarti tidak selamanya memakai pakaian yang sederhana, namun melihat pada kondisi kapan dan di mana berpakaian. Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 4: 317-318.

Tidak Mesti Berpakaian Hina

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ

Sesungguhnya Allah suka melihat tampaknya bekas nikmat Allah kepada hamba-Nya.” (HR. Tirmidzi no. 2819 dan An Nasai no. 3605. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Syaikh Muhammad Al Utsaimin menerangkan bahwa hendaklah setiap orang bersederhana dalam setiap aktivitasnya. Hendaklah ia bersederhana dalam pakaian, makan, dan minum. Namun jangan sampai ia menyembunyikan nikmat Allah. Karena Allah amatlah suka jika melihat bekas nikmat pada hamba-Nya.

Jika nikmat tersebut berupa harta, maka Allah sangat senang jika hamba memanfaatkan nikmat tersebut untuk berinfak, bersedekah, dan menolong dalam kebaikan.

Jika nikmat tersebut berupa ilmu, maka Allah sangat senang jika ilmu tersebut diamalkan sehingga baik ibadah dan muamalahnya, juga ilmu tersebut disebar dengan dakwah dan mengajari orang lain.

Jika malah sebaliknya, saat Allah sudah memberikan nikmat harta sehingga mampu sebenarnya membeli pakaian, kok malah ia keluar di hadapan orang lain dalam keadaan fakir (seakan tak punya apa-apa). Ini hakekatnya menolak atau menentang nikmat Allah. Sama halnya jika orang diberi harta, lantas ia tidak memanfaatkannya untuk infak atau memenuhi kewajiban dari harta.

Begitu pula dengan nikmat ilmu, kalau tidak dimanfaatkan untuk menambah ibadah, khusu’ dalam ibadah atau baik dalam muamalah, atau tidak dimanfaatkan untuk mengajarkan orang lain, maka ini pun tanda menyembunyikan nikmat Allah. Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 4: 318-319.

Semoga bermanfaat, hanya Allah yang memberi taufik.

@ Disusun di malam hari, 26 Jumadal Ula 1435 H di Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh TuasikalFans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom

Alhamdulillah, sudah hadir di tengah-tengah Anda buku Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal terbaru: “Kenapa Masih Enggan Shalat?” seharga Rp.16.000,-. Silakan lakukan order dengan format: Buku enggan shalat# nama pemesan# alamat# no HP# jumlah buku, lalu kirim sms ke 0852 00 171 222.

Artikel yang Terkait

4 Komentar

  1. Assalamualaikum warahmatullah
    Kalau anak remaja di kampus kan sering pakai celana denim, kaos oblong dirangkap dengan baju hem, pakai sepatu, ya kayak Justin Bieber gitu lah modelnya, apa jika kita sekampus dengan mereka harus menyesuaikan gaya mereka atau gaya berpakaian seorang Muslim yang syar’i ustadz?

    1. Lho memangnya pakaian muslim yang syar’i itu apakah harus baju koko ya? Atau harus gamis gitu? Kalau misalnya pakai celana denim kaos oblong dengan pakai baju hem dan sepatu dengan kriteria yang memenuhi pakaian Islam gimana?

      (Islam mengajarkan kriteria pakaian Islami, bukan menentukan pakaian tertentu sebagai pakaian yang harus dipakai orang Islam)

      Misalnya, celana denimnya gak isbal, gak ketat, kemudian kaos osblong (T-shirt maksud saya) nya gak transparan dan gak ketat. Apa karena pakaian seperti itu tidak dipakai para thullabul-ilm lantas jadi gak islami?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button