Khutbah Jumat: Syukur atas Kemerdekaan dengan Ibadah, Taat, dan Persatuan
Nikmat kemerdekaan adalah karunia besar dari Allah yang tidak boleh disia-siakan. Di tengah bangsa yang merdeka, kita bisa beribadah dengan leluasa, menuntut ilmu dengan tenang, dan membangun masa depan dengan penuh harapan. Namun, nikmat ini bisa menjadi azab jika tidak disyukuri. Berikut ini beberapa langkah nyata untuk mensyukuri nikmat kemerdekaan menurut pandangan Islam:
1. Mensyukuri dengan Menegakkan Tauhid dan Ibadah
Kemerdekaan sejati adalah ketika hati terlepas dari penghambaan kepada selain Allah.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
— (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Tujuan utama hidup manusia adalah beribadah kepada Allah. Maka, kemerdekaan hakiki bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi bebas dari perbudakan hawa nafsu, dunia, dan sesembahan selain Allah.
Bentuk syukur tertinggi atas kemerdekaan adalah menggunakan kebebasan ini untuk beribadah kepada Allah. Jangan sampai kita lalai dan justru menggunakan kemerdekaan untuk bermaksiat. Karena kemerdekaan sejatinya bukan hanya bebas dari penjajahan lahiriah, tetapi juga kesempatan untuk menunaikan ketaatan dengan lebih leluasa. Maka, nikmat ini semestinya mendorong kita untuk menjadi pribadi yang taat dan penuh rasa syukur, sebagaimana diilustrasikan dalam doa seorang mukmin yang telah mencapai usia kematangan:
حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَـٰلِحًۭا تَرْضَىٰهُ وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِىٓ ۖ إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ
“Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa: ‘Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Al-Ahqaf: 15)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa syukur yang sejati bukan sekadar ungkapan lisan, melainkan dorongan kuat untuk beramal saleh yang diridhai Allah. Inilah bentuk syukur yang hidup—syukur yang menuntun pada ketaatan, dan bukan syukur yang berhenti pada retorika atau seremoni tahunan.
Menariknya, semangat yang sama juga diajarkan langsung oleh Rasulullah ﷺ kepada sahabat tercinta beliau, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebuah hadits yang sangat menyentuh, Nabi ﷺ bersabda:
يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ
“Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu, sungguh aku mencintaimu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya bersabda, “Aku memberikanmu nasihat, wahai Mu’adz. Janganlah engkau tinggalkan saat di penghujung shalat bacaan doa:
اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
ALLOOHUMMA A’INNII ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK (Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir, bersyukur, dan beribadah yang baik kepada-Mu).”
Disebutkan di akhir hadits, “Mu’adz mewasiatkan seperti itu kepada Ash-Shunabihi. Lalu Ash-Shunabihi mewasiatkannya lagi kepada Abu ‘Abdirrahman.” (HR. Abu Daud, no. 1522; An-Nasa’i, no. 1304. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).
Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
كُلُّ نِعْمَةٍ عَلَى الْعَبْدِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى فِي دِينٍ أَوْ دُنْيَا، تَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ عَلَيْهَا، ثُمَّ التَّوْفِيقُ لِلشُّكْرِ عَلَيْهَا نِعْمَةٌ أُخْرَى، تَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ ثَانٍ، ثُمَّ التَّوْفِيقُ لِلشُّكْرِ الثَّانِي نِعْمَةٌ أُخْرَى يَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ آخَرَ، وَهَكَذَا أَبَدًا، فَلَا يَقْدِرُ الْعَبْدُ عَلَى الْقِيَامِ بِشُكْرِ النِّعَمِ،
وَحَقِيقَةُ الشُّكْرِ: الِاعْتِرَافُ بِالْعَجْزِ فِي الشُّكْرِ.
“Setiap nikmat yang Allah berikan kepada hamba, baik dalam urusan agama maupun dunia, itu butuh disyukuri. Kemudian ketika seseorang diberi taufik untuk bersyukur, maka itu juga merupakan nikmat lain yang butuh disyukuri lagi. Lalu jika diberi taufik lagi untuk bersyukur yang kedua, itu pun nikmat baru yang juga butuh syukur. Begitu seterusnya tanpa henti. Maka, tidak ada seorang hamba pun yang bisa benar-benar menunaikan syukur secara sempurna. Hakikat syukur adalah menyadari bahwa kita tidak mampu bersyukur dengan sempurna.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 301)
2. Bertaubat dan Meninggalkan Maksiat
Nikmat tak akan bertahan jika maksiat dibiarkan.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ.
Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa. Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata, “Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.”
Taubat adalah tanda kesadaran bahwa kita masih sering menyia-nyiakan nikmat Allah. Kemerdekaan harus menjadi momentum untuk membersihkan diri dan masyarakat dari dosa yang tersembunyi maupun terang-terangan.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim: 8)
Ulama besar seperti Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa taubat yang tulus itu mengandung empat unsur penting:
- Berhenti dari dosa seketika itu juga — tidak menundanya lagi.
- Menyesali dosa yang telah dilakukan, dengan penyesalan yang lahir dari kesadaran akan kesalahan.
- Berjanji kepada diri sendiri untuk tidak mengulanginya di masa depan.
- Dan jika dosa itu menyangkut hak orang lain, maka wajib diselesaikan atau dikembalikan haknya.
Dengan kata lain, taubat yang sejati bukan hanya ucapan di lisan, tapi sikap total dalam hati, tindakan nyata dalam perbaikan diri, dan keberanian untuk bertanggung jawab.
Dalam sebuah hadits dari Abu Musa radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam agar orang yang berbuat dosa di siang hari bertaubat, dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang agar orang yang berbuat dosa di malam hari bertaubat, hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim, no. 2759)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ
“Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-Nya selama nyawanya belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi, no. 3537)
3. Menjadi Muslim yang Menjalankan Syariat Islam dengan Benar
Kemerdekaan memberi ruang bagi kita untuk hidup sesuai tuntunan agama. Di negeri ini, kita bebas untuk menegakkan salat, menutup aurat, mendidik anak dengan nilai Islam, dan berdakwah tanpa harus bersembunyi. Maka, tidak ada alasan untuk tidak menjalani hidup sebagai Muslim yang taat.
Justru inilah saatnya menjadikan kemerdekaan sebagai peluang untuk menghidupkan syariat dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Inilah bentuk syukur yang konkret dan berkelanjutan. Karena iman bukan hanya di hati, tapi juga harus nampak dalam tindakan nyata.
Namun kita juga tak menutup mata. Di tengah zaman yang penuh ujian iman, menjalani hidup sesuai syariat tidak selalu mudah. Godaan dunia, tekanan sosial, bahkan cibiran terhadap ajaran Islam bisa datang dari berbagai arah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi isyarat tentang kondisi ini dalam sabdanya:
يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Bayangkan menggenggam bara api—perih, panas, dan menyakitkan. Tapi ia tetap menggenggam, karena ia tahu itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya.
Di tengah zaman seperti inilah, umat Islam dituntut untuk tetap berpegang teguh pada petunjuk yang tak akan pernah menyesatkan, sebagaimana wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik; Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam At-Ta’zhim wa Al-Minnah fi Al-Intishar As-Sunnah, hlm. 12-13).
4. Taat kepada Pemimpin dalam Perkara yang Makruf
Taat kepada pemimpin adalah bagian dari menjaga stabilitas negeri.
Dalam Islam, ketaatan kepada pemimpin—selama tidak memerintahkan maksiat—adalah bagian dari menjaga keamanan dan kemaslahatan umat.
Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,
وَالطَّاعَةُ لِأُوْلِي الأَمْرِ فِيْمَا كَانَ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مَرْضِيًّا وَاجْتِنَابِ مَا كَانَ عِنْدَ اللهِ مُسْخِطًا
وَتَرْكُ الخُرُوْجِ عِنْدَ تَعَدِّيْهِمْ وَجَوْرِهِمْ وَالتَّوْبَةُ عِنْدَ اللهِ كَيْمَا يَعْطِفُ بِهِمْ عَلَى رَعِيَّتِهِمْ
“Taatlah kepada para pemimpin dalam hal-hal yang diridai oleh Allah ‘azza wa jalla, dan tinggalkan ketaatan jika mereka memerintahkan sesuatu yang dimurkai oleh Allah.
Jika para pemimpin berlaku zalim atau melampaui batas, janganlah memberontak. Sebaliknya, bertaubatlah kepada Allah dan perbaiki diri, agar Allah melembutkan hati para pemimpin dan menjadikan mereka lebih sayang kepada rakyatnya.”
Dari Abu Umamah Shuday bin ‘Ajlan Al Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah saat haji wada’ dan mengucapkan,
اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ
“Bertakwalah pada Allah Rabb kalian, laksanakanlah shalat limat waktu, berpuasalah di bulan Ramadhan, tunaikanlah zakat dari harta kalian, taatilah penguasa yang mengatur urusan kalian, maka kalian akan memasuki surga Rabb kalian.” (HR. Tirmidzi no. 616 dan Ahmad 5: 262. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).
Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu—sahabat mulia sekaligus khalifah keempat—pernah menyampaikan sebuah perkataan yang sangat dalam tentang pentingnya kehadiran seorang pemimpin dalam kehidupan masyarakat. Beliau berkata:
لَا يَصْلُحُ لِلنَّاسِ إِلَّا أَمِيرٌ عَادِلٌ أَوْ جَائِرٌ
“Masyarakat tidak akan menjadi baik kecuali dengan adanya pemimpin—baik pemimpin yang adil maupun yang zalim.”
Sebagian orang saat itu merasa keberatan dengan pernyataan beliau tentang “pemimpin yang zalim”. Namun Ali menjelaskan maksudnya:
نَعَمْ، يُؤْمِنُ السَّبِيلَ، وَيُمَكِّنُ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَوَاتِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Benar. Karena bahkan dengan adanya pemimpin yang zalim, jalan-jalan bisa aman, masyarakat tetap bisa melaksanakan salat, dan pergi haji ke Baitullah dengan tenang.”
Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya Mafātīḥ al-Ghayb (13:204), dan menjadi pelajaran besar bahwa keberadaan pemimpin, bagaimana pun keadaannya, jauh lebih baik daripada hidup tanpa pemerintahan yang sah. Sebab, kekacauan dan kerusuhan justru akan lebih merusak tatanan masyarakat.
Imam Fakhruddin Ar-Razi juga menambahkan nasihat yang tak kalah penting:
“Jika rakyat ingin terbebas dari penguasa yang zalim, maka hendaklah mereka terlebih dahulu meninggalkan kezaliman yang mereka lakukan sendiri.”
— (Tafsir At-Taḥrīr wa At-Tanwīr karya Ibnu ‘Āsyūr, 8:74)
Pesan ini menyadarkan kita bahwa keadilan tidak hanya dituntut dari atas (pemimpin), tetapi juga harus dimulai dari bawah—dari masyarakat. Ketika rakyat meninggalkan kezaliman, Allah akan memperbaiki keadaan penguasanya. Tapi jika rakyat terus dalam maksiat dan kezaliman, jangan heran jika Allah memberi pemimpin yang menjadi cerminan mereka sendiri.
5. Mendoakan Pemimpin agar Diberi Hidayah dan Keadilan
Doa adalah senjata orang beriman. Jangan biarkan pemimpin berjalan sendiri tanpa kita iringi dengan doa agar mereka mampu memimpin dengan amanah.
Dari ‘Abdush Shomad bin Yazid Al Baghdadiy, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
لَوْ أَنَّ لِي دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً مَا صَيَّرْتُهَا إِلَّا فِي الْإِمَامِ
“Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.”
Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy)
6. Mendoakan Negeri-Negeri yang Belum Merdeka
Kemerdekaan adalah nikmat besar yang tidak dimiliki semua umat Islam di dunia. Di saat kita bisa hidup dengan tenang, salat dengan bebas, dan mendidik anak-anak dalam suasana damai, saudara-saudara kita di Palestina masih hidup dalam penjajahan, ketakutan, dan ancaman bom di atas kepala mereka setiap hari.
Mensyukuri kemerdekaan bukan hanya dengan berpesta atau mengikuti upacara, tapi dengan menumbuhkan empati dan kepedulian terhadap mereka yang belum merasakan nikmat yang sama. Karena itulah Rasulullah ﷺ bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah salah seorang dari kalian benar-benar beriman, sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari, no. 13 dan Muslim, no. 45)
Kalau kita mencintai keamanan, kita harus ikut peduli pada mereka yang kehilangan rumah dan keluarga. Kalau kita mencintai ketenangan, kita tidak boleh tutup mata saat anak-anak Palestina kehilangan masa depannya. Inilah wujud iman yang hidup—iman yang tidak egois.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِى يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
“Barang siapa ingin dijauhkan dari neraka dan masuk surga, hendaknya ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan hendaknya ia memperlakukan manusia sebagaimana ia senang diperlakukan oleh mereka.” (HR. Muslim, no. 1844)
7. Mengisi Kemerdekaan dengan Ilmu dan Karya
Syukur itu bukan hanya diam, tapi bergerak dan memberi manfaat.
Kemerdekaan bukan hanya soal bebas bicara, tapi juga bebas berkarya. Jadikan setiap potensi yang Allah berikan sebagai kontribusi nyata untuk bangsa dan umat.
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ibn Hibban dalam al-Majruhin [2/1], al-Qudha‘i dalam Musnad al-Shihab no. 1234, dan al-Ṭabarani dalam al-Mu‘jam al-Awsaṭ no. 5787).
Hadits ini sangat tepat untuk mendasari bahwa mengisi kemerdekaan dengan ilmu dan karya yang bermanfaat adalah bentuk amal terbaik dan bentuk syukur yang nyata.
8. Menjaga Persatuan dan Tidak Memecah Belah Bangsa
Setan senang melihat umat Islam terpecah.
Salah satu nikmat besar pascakemerdekaan adalah persatuan. Jangan hancurkan dengan fanatisme golongan, politik, atau kepentingan pribadi.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (QS. Ali Imran: 103)
Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallāhu ‘anhu, Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk selalu bertakwa kepada Allah. Dengarkan dan taatilah pemimpin kalian, sekalipun yang memimpin kalian adalah seorang hamba sahaya.
Karena siapa yang hidup sepeninggalku nanti, ia akan melihat banyak sekali perpecahan.
Maka tetaplah berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khalifah sepeninggalku yang mendapat petunjuk. Gigitlah kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham kalian.
Dan jauhilah hal-hal baru yang diada-adakan dalam agama, karena setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676; dinyatakan hasan sahih oleh Imam Tirmidzi, dan sanadnya sahih menurut Al-Hafizh Abu Thahir).
Sebab, nikmat kemerdekaan bisa hilang jika umat terpecah oleh fanatisme golongan, kebencian, atau bid’ah yang mengaburkan jalan kebenaran. Maka, menjaga ukhuwah dan arah perjuangan umat adalah bagian penting dari rasa syukur yang sejati.
9. Menjaga Akhlak dan Nilai-Nilai Moral dalam Kehidupan Bermasyarakat
Membangun masyarakat yang beradab bukan cukup dengan merdeka secara politik, tetapi harus ditopang oleh akhlak yang kokoh. Karena hanya dengan akhlak, kemerdekaan akan membawa berkah—bukan kehancuran.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad no. 8729, dinilai sahih oleh Al-Albani)
10. Mengisi Hari Kemerdekaan dengan Aktivitas Bermanfaat
Jangan habiskan peringatan kemerdekaan hanya dengan lomba tanpa makna, apalagi lomba yang mengandung unsur perjudian.
Dalam Islam, suatu aktivitas disebut judi (maysir) jika memenuhi empat syarat: (1) adanya dua pihak atau lebih yang saling bertaruh; (2) masing-masing mempertaruhkan harta atau barang bernilai; (3) terdapat pihak yang menang dan kalah di akhir permainan; (4) serta pihak yang kalah harus rela kehilangan hartanya tanpa ada timbal balik yang setara. Maka, jika perlombaan dalam rangka hari kemerdekaan melibatkan taruhan uang atau barang berharga dengan hasil menang-kalah yang menyebabkan salah satu pihak kehilangan miliknya, hal itu termasuk bentuk perjudian yang diharamkan. Sebaliknya, isi kemerdekaan dengan kegiatan yang menguatkan nilai kebersamaan, menambah ilmu, atau amal sosial yang bermanfaat bagi masyarakat.