Khutbah Jumat: Berhajilah dan Berqurbanlah Sebagai Bukti Cinta kepada Allah
Hari-hari mulia ini adalah saat terbaik untuk membuktikan cinta kita kepada Allah. Berqurbanlah sebagai wujud ketaatan, dan berhajilah bila telah mampu. Sebab haji dan qurban bukan sekadar ibadah ritual, melainkan tanda kepasrahan dan pengorbanan sejati. Maka jawablah panggilan-Nya dengan amal nyata, bukan hanya dengan harapan semata.
Khutbah Pertama
الْـحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي شَرَعَ لَنَا نُسُكَ الذَّبْحِ، وَجَعَلَهُ مِنْ أَعْظَمِ الْقُرُبَاتِ، وَدَلَّنَا عَلَى سُنَّةِ خَلِيلِهِ إِبْرَاهِيمَ فِي التَّقَرُّبِ بِالذَّبْحِ وَالطَّاعَةِ، وَنَحْمَدُهُ أَنْ بَلَّغَنَا هَذِهِ الْأَيَّامَ الْمُبَارَكَةَ الَّتِي يُحَبُّ فِيهَا الْعَمَلُ الصَّالِحُ.
نَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، شَرَعَ لِعِبَادِهِ الذَّبْحَ لِلتَّقَرُّبِ، وَدَعَاهُمْ لِيَذْكُرُوا اسْمَهُ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ.
وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، بَيَّنَ شُرُوطَ الْأُضْحِيَةِ، وَحَثَّ أُمَّتَهُ عَلَى إِرْوَاءِ دَمِهَا، وَقَالَ: «مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ».
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوصِيكُمْ وَنَفْسِيَ الْمُقَصِّرَةَ بِتَقْوَى اللهِ، وَبِالْمُسَارَعَةِ إِلَى إِقَامَةِ هَذِهِ السُّنَّةِ الْعَظِيمَةِ، سُنَّةِ الْأُضْحِيَةِ، بِنِيَّةٍ خَالِصَةٍ، وَرُوحِ تَضْحِيَةٍ صَادِقَةٍ، مُسْتَشْعِرِينَ مَعَ ذٰلِكَ قَوْلَ اللهِ سُبْحَانَهُ:
﴿ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٍۢ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ ﴾
(QS. الحَجّ: ٢٨)
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …
Hari Jumat ini begitu istimewa karena bertemunya dua hari raya, yaitu hari istimewa pertama “Hari Jumat” dan haris istimewa kedua “Hari Iduladha”.
Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Muawiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqam,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua Id (hari Idulfitri atau Iduladha bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Muawiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jumat, maka silakan.” (HR. Abu Daud, no. 1070; An-Nasai, no. 1592; Ibnu Majah, no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Dari seorang tabiin bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah, ia berkata,
صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.
“Ibnu Az-Zubair ketika hari Id jatuh pada hari Jumat pernah shalat Id bersama kami pada pagi hari. Kami keluar untuk shalat Jumat, kemudian ketika itu, Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan perbuatan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud, no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata:
إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ جُمُعَةٍ يَوْمَ عِيدٍ، وَحَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى الَّذِينَ تَلْزَمُهُمُ الْجُمُعَةُ لِبُلُوغِ نِدَاءِ الْبَلَدِ، فَصَلَّوُا الْعِيدَ، لَمْ تَسْقُطِ الْجُمُعَةُ بِلا خِلَافٍ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ، وَفِي أَهْلِ الْقُرَى وَجْهَانِ: الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ لِلشَّافِعِيِّ فِي الأُمِّ وَالْقَدِيمِ أَنَّهَا تَسْقُطُ، وَالثَّانِي لَا تَسْقُطُ.
“Jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya (Id), lalu penduduk desa yang sebenarnya terkena kewajiban shalat Jumat—karena mereka berada dalam jangkauan suara azan dari kota—datang untuk melaksanakan shalat Id, maka menurut kesepakatan para ulama, kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi penduduk kota.
Adapun untuk penduduk desa, ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i. Pendapat yang paling kuat dan merupakan pendapat yang ditegaskan langsung oleh Imam Asy-Syafi’i, baik dalam kitab Al-Umm maupun pendapat lamanya, menyatakan bahwa mereka tidak wajib lagi shalat Jumat setelah shalat Id. Namun, ada juga pendapat kedua yang menyatakan bahwa kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi mereka.”
Jadi, gugurnya kewajiban untuk shalat Jumat -menurut ulama Syafi’iyyah- hanya berlaku bagi mereka yang datang dari al-qura (kampung-kampung), dan sudah ikut melaksanakan shalat Id bersama imam. Untuk mereka diberikan pilihan, antara ikut shalat Jumat dengan imam dan masyarakat setempat (ahl al-hadhar) atau pulang kembali ke rumah mereka dan mengganti Jumat dengan shalat Zhuhur.
Berarti untuk kita saat ini yang mudah mendapatkan masjid, baiknya tetap melaksanakan shalat Jumat di masjid terdekat daripada menggantinya dengan shalat Zhuhur.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)
Ibnu ‘Abbas berkata mengenai maksud ayat, “Supaya mereka menyaksikan manfaat di dunia maupun di akhirat. Di akhirat, amalan haji akan mendatangkan ridha Allah. Sedangkan di dunia, akan mendapatkan manfaat dari hewan qurban, keuntungan, dan perdagangan.” Demikian pula dikatakan oleh Mujahid dan ulama lainnya. Yang dimaksud sekali lagi adalah kemanfaatan dunia maupun akhirat.
Yang dimaksud ‘ayyam ma’lumaat’ (hari-hari yang tertentu) terdapat beberapa pendapat di antara para ulama seperti pendapat Imam Asy-Syafi’i. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sembilan hari pertama Dzulhijjah seperti pendapat Abu Musa Al-Asy’ari. Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Dari ‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari-hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah). Dari Abu Sholih dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lima hari, dimulai dari yaumut tarwiyah (8 Dzulhijjah). Ada pula yang memaksudkan tiga hari dimulai dari hari Arafah (9 Dzulhijjah) seperti pendapat Imam Malik bin Anas.
Adapun yang dimaksud dzikir di sini adalah tasmiyah (membaca bismillah) ketika melakukan penyembelihan qurban. Karena dalam ayat disebutkan “supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak”.
Adapun Al-Qadhi Abu Ya’la menyatakan bahwa yang dimaksud dzikir di sini adalah dzikir ketika penyembelihan hadyu yang wajib seperti damm wajib untuk manasik tamattu’ dan qiran. Begitu pula bisa dimaksudkan adalah dzikir ketika melempar jumrah dan takbir pada hari tasyrik karena ayat tersebut sifatnya umum.
Lalu Allah perintahkan makanlah dari hasil qurban.
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir”, bahwa memakan hasil sembelihan qurban itu wajib. Namun kata Ibnu Katsir, ini adalah pendapat yang tidak biasa (gharib). Kebanyakan ulama menganggap bahwa memakan hasil sembelihan termasuk rukhsah (keringanan) atau istihbab (anjuran atau sunnah). Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih hadyu beliau memerintahkan untuk setiap unta diambil beberapa bagian, lalu dimasak, kemudian dagingnya dimakan dan kuahnya dicicipi.
Lalu hasil qurban disedekahkan. Allah Ta’ala berfirman,
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS. Al-Hajj: 36). Qoni’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah yang tidak meminta-minta. Sedangkan mu’tarr adalah yang meminta-minta. Demikian kata Ibnu ‘Abbas sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.
Sebagian ulama berdalil bahwa hendaknya hasil qurban dibagi separuh untuk shahibul qurban dan separuhnya lagi untuk orang fakir. Namun ada ulama membaginya menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga untuk shahibul qurban, sepertiga sebagai hadiah dan sepertiganya lagi untuk sedekah.
Lalu Allah berfirman,
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)
Yang dimaksud dengan ayat,
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka”, yaitu menyelesaikan ihram lalu mencukur rambut kepala dan mengenakan baju, kemudian memotong kuku dan lainnya. Demikian tafsiran Ibnu ‘Abbas. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir, 5:406, takhrij: Abu Ishaq Al-Huwainiy)
Ibnul Jauzi dalam Zaad Al-Masiir (5:426-237) menjelaskan ada empat penafsiran, yaitu: (1) mencukur rambut kepala, memotong kumis, mencabut bulu ketika, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, melempar jumrah dan wukuf di Arafah; (2) menyelesaikan manasik haji; (3) mencukur rambut kepala; (4) mencukur bulu (rambut) dan memotong kuku. Sedangkan menurut beliau, yang lebih bagus adalah tafsiran pertama. Jadi “tafats” dalam ayat di atas bermakna ‘kotor’.
Lalu tunaikanlah nadzar.
Nadzar termasuk amalan yang mesti ditunaikan. Para ulama mengatakan bahwa siapa yang punya nadzar untuk menunaikan amalan kebajikan pada hari-hari haji, bisa jadi ia bernadzar jika ia dapat melihat Ka’bah atau ia punya nadzar mutlak, maka lebih afdhol ditunaikan di Makkah (Zaad Al-Masiir, 5:427). Dalam ayat yang kita kaji disebutkan,
وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
“Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al-Hajj: 29). Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah nadzar untuk menyembelih unta. Sedangkan ulama lain semacam ‘Ikrimah menyatakan bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah nadzar haji.
Lalu lakukanlah thawaf keliling Kabah sebanyak tujuh kali.
Dalam ayat selanjutnya disebutkan,
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj: 29). Yang dimaksud ayat ini adalah thawaf yang wajib yaitu thawaf ifadhah. Bahkan thawaf tersebut termasuk rukun haji. Karena perintah dalam ayat ini disebutkan setelah perintah menyembelih. Dan penyembelih baru dilaksanakan pada hari Idul Adha.
Ka’bah disebut ‘atiiq karena beberapa maksud. ‘Atiiq bisa bermakna rumah tua. Al Hasan Al Bashri mengatakan bahwa disebut demikian karena Ka’bah adalah rumah pertama yang diletakkan untuk manusia. ‘Ikrimah mengatakan bahwa disebut demikian karena Ka’bah pertama kali dibebaskan ketika zaman tenggelamnya kaum Nuh. Khofish mengatakan bahwa karena Ka’bah tidak pernah bisa ditaklukkan. Ulama lain menambahkan, bahkan jika ada yang ingin menghancurkan Ka’bah malah dia yang akan binasa. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:407 dan Zaad Al-Masiir, 5:427-428).
Thawaf ifadhah ini dilakukan setelah melakukan manasik haji secara umum, yaitu setelah wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, melempar jumrah di Mina. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ini menunjukkan akan keutamaan ibadah thawaf tersebut dan bahwasanya ibadah sebelumnya adalah perantara menuju thawaf ini.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mememrintahkan untuk menjadikan ibadah terakhir untuk ibadah haji di Makkah dnegan thawaf wadak. Hadits yang membicarakan tentang thawaf wadak adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, di mana ia berkata,
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ
“Manusia itu diperintah supaya akhir manasik mereka adalah thawaf (wada’). Namun thawaf ini diberi keringanan bagi wanita haidh.” (HR. Bukhari, no. 1755 dan Muslim, no. 1328).
Ma’asyiral muslimin rahimaniyallahu wa iyyakum…
Di tengah berkah hari Jumat dan keagungan hari-hari Dzulhijjah, marilah kita renungkan…
Apakah hati ini benar-benar telah terpanggil? Apakah kita siap menjawab seruan-Nya?
Maka berhajilah dan berqurbanlah,
sebagai bukti cinta kepada Allah,
bukan sekadar menggugurkan kewajiban,
tetapi sebagai tanda tunduk, taat, dan rindu kepada-Nya.
“Labbaik Allahumma Labbaik”—jawaban yang hanya mampu diucapkan oleh hati yang hidup.
Semoga Allah jadikan kita hamba yang merespons panggilan-Nya dengan amal, bukan sekadar harapan.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ،
عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ،
اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ
اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ،
اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.
عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
–
Naskah Khutbah Jumat pada 10 Dzulhijjah 1446 H (6 Juni 2025)
@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Artikel Rumaysho.Com