Hukum Shalat Jumat Jika Idulfitri atau Iduladha Jatuh pada Hari Jumat
Hari Idulfitri atau Iduladha yang jatuh tepat di hari Jumat adalah momen langka yang menarik perhatian para ulama. Sebab, dua ibadah besar—shalat Id dan shalat Jumat—berkumpul dalam satu hari. Apakah shalat Id bisa menggantikan Jumat? Tulisan ini mengulas dalil, praktik sahabat, serta perbedaan pendapat ulama tentang hukum dan pilihan ibadah di hari istimewa tersebut.
Dalil Sahih tentang Gugurnya Shalat Jumat karena Shalat Id
Ada beberapa hadits yang menunjukkan istimewanya hari Jumat jika bertemu dengan Idulfitri dan Iduladha, yaitu bisa mencukupkan dengan shalat Id dan tidak shalat Jumat, lalu shalat Jumat diganti dengan shalat Zhuhur.
Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Muawiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqam,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua Id (hari Idulfitri atau Iduladha bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Muawiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jumat, maka silakan.” (HR. Abu Daud, no. 1070; An-Nasai, no. 1592; Ibnu Majah, no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Dari seorang tabiin bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah, ia berkata,
صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.
“Ibnu Az-Zubair ketika hari Id jatuh pada hari Jumat pernah shalat Id bersama kami pada pagi hari. Kami keluar untuk shalat Jumat, kemudian ketika itu, Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan perbuatan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud, no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua Id (shalat Idulfitri dan Iduladha) dan dalam shalat Jumat “SABBIHISMA ROBBIKAL A’LA” (surah Al-A’laa) dan “HAL ATAKA HADITSUL GHOSIYAH” (surah Al-Ghasyiyah).” An-Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari Id bertepatan dengan hari Jumat, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat. (HR. Muslim, no. 878)
Apakah Shalat Jumat Tetap Wajib Setelah Shalat Id? Ini Penjelasan Lengkap Para Ulama
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat Jumat ketika hari raya (Id) jatuh bertepatan dengan hari Jumat. Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpandangan bahwa shalat Id dan shalat Jumat adalah dua ibadah yang terpisah. Maka, keduanya tetap harus dikerjakan dan tidak bisa saling menggantikan.
Demikian juga pendapat Imam Asy-Syafi’i. Namun, beliau memberikan keringanan bagi penduduk desa yang telah datang untuk shalat Id agar boleh tidak menghadiri shalat Jumat.
Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata:
إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ جُمُعَةٍ يَوْمَ عِيدٍ، وَحَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى الَّذِينَ تَلْزَمُهُمُ الْجُمُعَةُ لِبُلُوغِ نِدَاءِ الْبَلَدِ، فَصَلَّوُا الْعِيدَ، لَمْ تَسْقُطِ الْجُمُعَةُ بِلا خِلَافٍ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ، وَفِي أَهْلِ الْقُرَى وَجْهَانِ: الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ لِلشَّافِعِيِّ فِي الأُمِّ وَالْقَدِيمِ أَنَّهَا تَسْقُطُ، وَالثَّانِي لَا تَسْقُطُ.
“Jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya (Id), lalu penduduk desa yang sebenarnya terkena kewajiban shalat Jumat—karena mereka berada dalam jangkauan suara azan dari kota—datang untuk melaksanakan shalat Id, maka menurut kesepakatan para ulama, kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi penduduk kota.
Adapun untuk penduduk desa, ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i. Pendapat yang paling kuat dan merupakan pendapat yang ditegaskan langsung oleh Imam Asy-Syafi’i, baik dalam kitab Al-Umm maupun pendapat lamanya, menyatakan bahwa mereka tidak wajib lagi shalat Jumat setelah shalat Id. Namun, ada juga pendapat kedua yang menyatakan bahwa kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi mereka.”
Jadi, gugurnya kewajiban untuk shalat Jumat -menurut ulama Syafi’iyyah- hanya berlaku bagi mereka yang datang dari al-qura (kampung-kampung), dan sudah ikut melaksanakan shalat Id bersama imam. Untuk mereka diberikan pilihan, antara ikut shalat Jumat dengan imam dan masyarakat setempat (ahl al-hadhar) atau pulang kembali ke rumah mereka dan mengganti Jumat dengan shalat Zhuhur.
Pendapat ini didasarkan pada atsar Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu ketika serentak terjadi antara Id dan hari Jumat pada masanya, Utsman berkata:
إِنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ فَلْيَنْتَظِرْهَا وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ، فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
“Berhimpun di hari ini dua Id. Siapa yang datang dari al-‘aliyah (daerah di sudut Madinah yang berjarak lebih kurang 4 – 6 mil dari kota Madinah) kalau mau menunggu Jumat silakan, dan kalau mau pulang juga silahkan. Sudah saya izinkan.”
Dalam Al-Mughnī, Ibnu Qudamah menyebutkan,
إن اتَّفَقَ عِيدٌ في يَوْمِ جُمُعَةٍ، سَقَطَ حُضُورُ الجُمُعَةِ عَمَّنْ صَلَّى العِيدَ، إلَّا الإِمامَ، فإنَّها لا تَسْقُطُ عنه إلَّا أن لا يَجْتَمِعَ له من يُصَلِّي به الجُمُعَةَ. وقيل: في وُجُوبِها على الإِمامِ رِوَايَتَان
Jika hari raya jatuh pada hari Jumat, maka orang yang telah menunaikan shalat Id tidak wajib lagi menghadiri shalat Jumat. Namun, ini tidak berlaku bagi imam. Imam tetap berkewajiban menegakkan shalat Jumat untuk jamaah yang hadir, kecuali tidak ada cukup orang untuk berjamaah. Dalam hal ini, ada dua pendapat di kalangan ulama tentang apakah imam tetap wajib atau tidak.
Syaikh Majduddin Ibnu Taimiyyah berkata,
إِذَا اجْتَمَعَ عِيدٌ وَجُمُعَةٌ، سَقَطَتِ الْجُمُعَةُ عَمَّنْ حَضَرَ الْعِيدَ، إِلَّا الْإِمَامَ … وَحُضُورُهَا أَوْلَى.
“Jika hari raya dan hari Jumat jatuh pada hari yang sama, maka kewajiban shalat Jumat gugur bagi orang yang telah menghadiri shalat Id. Namun, hal ini tidak berlaku bagi imam—ia tetap wajib menyelenggarakan shalat Jumat. Meskipun demikian, tetap hadir shalat Jumat adalah pilihan yang lebih utama.”
Sementara itu, menurut pendapat Imam Ahmad yang lain, jika shalat Jumat dilakukan pada waktu shalat Id, maka itu sudah mencukupi—karena beliau berpendapat bahwa Jumat boleh dilakukan sebelum zawāl (matahari tergelincir).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa dalam kasus ini ada tiga pandangan ulama:
- Shalat Jumat tetap wajib bagi yang telah shalat Id, mengikuti keumuman dalil tentang kewajiban Jumat.
- Jumat gugur bagi penduduk yang jauh dari kota, sebagaimana keringanan yang pernah diberikan oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.
- Pendapat yang paling kuat adalah bahwa orang yang telah shalat Id tidak lagi wajib shalat Jumat. Namun, imam tetap harus melaksanakan Jumat bagi mereka yang belum shalat Id atau yang ingin tetap melaksanakannya.
Pendapat ini didukung oleh hadis Nabi ﷺ dan praktik para sahabat seperti Umar, Utsman, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ibnu Az-Zubair. Dalam hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّكُمْ قَدْ أَصَبْتُمْ خَيْرًا، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَشْهَدَ الْجُمُعَةَ فَلْيَشْهَدْ، فَإِنَّا مُجْتَمِعُونَ.
“Wahai manusia, kalian telah mendapatkan kebaikan. Siapa yang ingin tetap menghadiri shalat Jumat, silakan, karena kami tetap akan mengadakannya.”
Hal ini menunjukkan bahwa shalat Id sudah mencukupi tujuan dari berkumpulnya umat Islam, dan jika tidak menghadiri Jumat, seseorang tetap bisa menunaikan shalat Zhuhur. Membebani semua orang untuk tetap hadir Jumat akan mengganggu tujuan dari hari raya, yang merupakan waktu untuk bergembira dan bersantai.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah juga menjelaskan bahwa jika hari raya jatuh pada hari Jumat, maka bagi yang sudah shalat Id, dia boleh memilih: ingin tetap shalat Jumat atau cukup shalat Zhuhur. Namun, yang terbaik adalah tetap hadir Jumat. Adapun imam, dia tetap wajib mengadakan shalat Jumat jika ada tiga orang atau lebih yang hadir. Jika tidak, cukup dengan shalat Zhuhur.
Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jumat dan telah menghadiri shalat Id, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jumat, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (empat rakaat). (Lihat Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, 8:182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al-Ifta’)
Kesimpulannya, shalat Jumat tetap wajib dilakukan meskipun seseorang sudah ikut shalat Id di pagi harinya. Ini pendapat mayoritas ulama.
Bagi yang Menganggap Kalau Tidak Shalat Jumat Tak Perlu Shalat Zhuhur Lagi?
Pendapat ini memang dinisbahkan kepada Atha` sebagaimana yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’,
قال عطاء بن أبي رباح : إذا صلوا العيد لم تجب بعده في هذا اليوم صلاة الجمعة ولا الظهر ولا غيرهما إلا العصر ، لا على أهل القرى ولا أهل البلد
“‘Atha’ bin Abi Rabbah berkata, “Kalau mereka sudah shalat ied maka tidak wajib lagi shalat Jumat dan Zuhur, ataupun shalat lainnya kecuali Ashar, tidak untuk ahlu qura tidak pula untuk ahlu balad.”
Pendapat Atha ini didasarkannya pada apa yang dilihatnya dari Abdullah bin Zubair seperti yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Sunan,
صلى بنا ابن الزبير في يوم عيد في يوم جمعة أول النهار ثم رحنا إلى الجمعة فلم يخرج إلينا فصلينا وحدانا
“Ibnu Zubair mengimami kami shalat ied yang bertepatan dengan hari Jumat di pagi hari. Kemudian siang harinya kami datang untuk shalat Jumat, tapi ia tidak keluar (untuk mengimami kami). Akhirnya kami shalat sendiri-sendiri.”
Pendapat Atha ini di-munaqasyah oleh para ulama. Ada yang memahami bahwa sebenarnya Ibnu Zubair tidak menggugurkan kewajiban Zuhur. Boleh jadi saja ia shalat di rumahnya. Ada juga yang mengatakan, boleh jadi Ibnu Zubair melaksanakan shalat Jumat sebelum tergelincir matahari (zawal). Jadi ia telah menggabungkan antara shalat ied dan shalat Jumat.
Namun ada yang tegas mengatakan bahwa pendapat Atha ini pendapat yang munkar. Tak seorangpun ulama yang mengambilnya. Al-‘Allamah Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata,
وَقَدْ رُوِيَ في هذا الباب عن بن الزُّبَيْرِ وَعَطَاءٍ قَوْلٌ مُنْكَرٌ أَنْكَرَهُ فُقَهَاءُ الْأَمْصَارِ وَلَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ مِنْهُمْ
“Dalam masalah ini ada pendapat yang munkar yang diriwayatkan dari Ibnu Zubair dan ‘Atha; pendapat yang diinkari para fuqaha berbagai daerah dan tak satupun dari mereka yang mengambil pendapat ini.”
Namun, pendapat Atha’ ini menjadi bahan pembahasan (‘munaqasyah’) di kalangan ulama. Ada yang berpendapat bahwa Ibnu Az-Zubair tidak menggugurkan kewajiban shalat Zhuhur, hanya saja beliau mungkin melaksanakannya di rumah. Ada pula yang berpendapat bahwa bisa jadi Ibnu Az-Zubair telah melaksanakan shalat Jumat sebelum matahari tergelincir (zawāl), sehingga ia menggabungkan antara shalat Id dan Jumat dalam satu waktu yang berdekatan.
–
Disusun pada 10 Dzulhijjah 1446 H (6 Juni 2025)
@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Artikel Rumaysho.Com