Keluarga

Hukum Poligami: Ketentuan Menikah dengan Empat Istri dalam Islam

Poligami dan hukum menikahi budak wanita muslimah adalah bagian dari syariat Islam yang memiliki aturan jelas berdasarkan Al-Quran dan hadits. Islam menetapkan batasan dan syarat yang harus dipenuhi, termasuk keadilan dalam poligami serta kondisi tertentu untuk menikahi budak wanita. Artikel ini membahas secara ringkas dalil dan penjelasan terkait kedua topik tersebut untuk memberikan pemahaman yang mendalam sesuai ajaran Islam.

 

Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata:

النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ.

Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.

 

Penjelasan:

Tujuan Menikah

Disebutkan dalam kitab ulama Syafiiyah,

قال الأطباء ومقاصد النكاح ثلاثة: حفظ النسل وإخراج الماء الذي يضر احتباسه بالبدن ونيل اللذة، وهذه الثالثة هي التي في الجنة إذ لا تناسل هناك ولا احتباس.

Para dokter berkata bahwa tujuan utama pernikahan ada tiga:

1. Melestarikan keturunan,

2. Mengeluarkan air (mani) yang dapat membahayakan tubuh jika ditahan terlalu lama,

3. Memperoleh kenikmatan (dengan berjimak).

Tujuan yang ketiga di atas adalah kenikmatan yang didapati lagi di surga, karena di sana tidak ada reproduksi dan penumpukan air mani. (Asna al-Mathalib Syarh Raudh ath-Thalib li Zakariyya al-Anshariy, 3:98)

 

Dalil Syariat Poligami

Allah Ta’ala berfirman,

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisa’: 3)

Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuri rahimahullah berkata, “Nikahilah dua, tiga, atau empat dari wanita yang kau sukai, tidak boleh lebih dari empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Ghilan di mana ketika masuk Islam, ia memiliki sepuluh istri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan,

َّأَمسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُن

Tahan empat, ceraikan sisanya.” (HR. Al-Hakim, 2:192; Ibnu Hibban, 4157 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma). Jika Ghilan diperintahkan mempertahankan empat, maka yang menikahi empat wanita sedari awal tentu dibolehkan. (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 3:319)

Al-Harits bin Qais berkata, “Aku berislam dan saat itu aku memiliki delapan istri, maka aku menyebutkan hal itu pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian beliau bersabda,

اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا

Pilihlah empat di antara mereka.” (HR. Abu Daud no. 2241 dan Ibnu Majah no. 1953, shahih)

Baca juga: 

 

Disunnahkan Satu Istri Saja

Madzhab kebanyakan ulama adalah disunnahkan cukup satu istri saja.

Abul Husain Al-‘Imrani mengatakan bahwa Imam Syafii rahimahullah berkata, “Aku suka pada laki-laki yang mencukupkan pada satu istri saja, walaupun memiliki istri lebih dari satu diperbolehkan karena Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3).”

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata bahwa tidak tepat berdalil dengan ayat berikut untuk menyatakan sunnahnya poligami,

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3)

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata: Karena ayat di atas menunjukkan makna DIBOLEHKAN, bukan anjuran harus berpoligami.

Sebab turunnya ayat di atas juga menunjukkan bahwa poligami itu mubah bagi yang menginginkannya, bukan menunjukkan hukum asal menikah adalah harus berpoligami.

Sebab turunnya ayat ini adalah: Mereka ingin menikahi wanita yatim tetapi meremehkan hak wanita tersebut atas mahar yang layak. Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk memberikan mahar kepada wanita yatim sebagaimana yang diberikan kepada wanita lain. Jika tidak mampu berlaku adil, mereka diperintahkan untuk menikahi wanita lain yang masih banyak tersedia.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Mumti’ (12:12) menjelaskan, “Membatasi diri pada satu istri lebih aman. Namun, jika seseorang merasa bahwa satu istri tidak mencukupinya dan ia khawatir terjerumus ke dalam zina, maka kami anjurkan untuk menikahi istri kedua, ketiga, hingga keempat. Dengan demikian, ia dapat mencapai ketenangan jiwa, menjaga pandangan, dan menenangkan hatinya.”

Baca juga: Anjuran Para Ulama Cukup Satu Istri Saja

 

Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1949).

Hadits ini memberikan peringatan tegas kepada suami yang tidak berlaku adil kepada istri-istrinya. Ketidakadilan ini digambarkan dengan kondisi fisik yang miring pada hari kiamat, sebagai hukuman atas sikap condongnya kepada salah satu istri.

Al-‘Azhim Abadi menjelaskan bahwa makna hadits ini merujuk pada ketidakadilan seorang suami terhadap istri-istrinya, baik dalam pembagian malam maupun nafkah. Jika seorang suami hanya memperhatikan satu istri sementara mengabaikan yang lain, maka kelak di akhirat, salah satu sisi tubuhnya akan mengalami kelumpuhan. Ini adalah simbol dari ketimpangan yang dilakukannya selama di dunia (‘Aunul Ma’bud, 6:124).

Beliau juga menegaskan bahwa keadilan dalam poligami wajib dilakukan dalam aspek-aspek yang mampu diusahakan oleh suami, seperti pembagian waktu malam dan nafkah. Namun, keadilan dalam hal perasaan, seperti cinta dan kecenderungan hati, tidak menjadi tuntutan karena manusia tidak dapat mengendalikan sepenuhnya hal tersebut.

Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As-Sa’di menjelaskan makna ayat yang terkait dengan keadilan dalam poligami. Allah memaklumi bahwa suami tidak mampu berlaku adil secara sempurna, terutama dalam hal cinta dan perasaan. Namun, dalam aspek yang dapat diusahakan seperti nafkah, pakaian, dan pembagian malam, Allah menuntut suami untuk berbuat adil.

Syaikh As-Sa’di menambahkan, “Adil dalam masalah nafkah, pakaian, pembagian malam, dan hal-hal serupa wajib dilakukan. Namun, kecintaan hati dan kenikmatan hubungan intim tidak termasuk dalam kewajiban untuk disamakan, karena hal ini di luar kendali manusia.”

Hadits dan penjelasan ulama di atas memberikan panduan bagi suami yang menjalani poligami. Keadilan dalam aspek-aspek yang dapat diusahakan, seperti nafkah dan pembagian waktu, adalah kewajiban syari yang harus dijalankan. Namun, Allah memberikan keringanan dalam hal yang di luar kendali manusia, seperti perasaan cinta. Ketidakadilan yang disengaja akan membawa konsekuensi berat di akhirat.

Poligami dalam Islam bukanlah tentang mengejar keinginan semata, tetapi memikul tanggung jawab besar untuk berbuat adil sesuai tuntunan syariat. Suami yang berlaku adil tidak hanya menjalankan kewajiban duniawi, tetapi juga meraih rida Allah di akhirat.

Baca juga: Poligami, Bisakah Adil?

 

Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil

Islam memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri, hingga maksimal empat istri, dengan syarat ia memiliki kemampuan finansial dan fisik yang memadai. Selain itu, syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya kekhawatiran bahwa ia akan berlaku tidak adil jika menikahi lebih dari satu istri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa: 3).

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Barang siapa khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukuplah baginya menikahi satu istri.”

Sementara itu, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitab Ahkamul Qur’an menyatakan, “Jika seorang laki-laki memiliki kemampuan finansial dan fisik untuk menikahi empat istri, maka silakan ia melakukannya. Namun, jika ia tidak mampu secara finansial maupun fisik, maka cukuplah baginya satu istri.”

Berdasarkan penjelasan ini, setiap laki-laki yang merasa memiliki kemampuan finansial, fisik, serta kepercayaan diri untuk berlaku adil, tidak ada larangan baginya untuk menikahi lebih dari satu istri. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi kebaikan baginya.

 

Catatan dalam Pembagian Malam

Para ulama fikih telah menetapkan bahwa dasar pembagian giliran antara istri adalah malam hari, sedangkan siang hari mengikuti malam hari dalam hal ini.

Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni ketika menjelaskan pernyataan Al-Khiraqi “dan dasar pembagian giliran adalah malam hari” mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena malam hari adalah waktu untuk beristirahat dan tempat tinggal. Pada malam hari, seseorang kembali ke rumahnya, merasa tenang bersama keluarganya, dan tidur di ranjang bersama istrinya sebagaimana kebiasaan. Adapun siang hari adalah waktu untuk bekerja, keluar rumah, mencari penghasilan, dan melakukan aktivitas lainnya. Siang hari masuk dalam pembagian giliran mengikuti malam hari.”

Para ulama juga menyebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan masuk ke rumah istri yang bukan gilirannya pada siang hari jika ada kebutuhan tertentu, tetapi tidak diperbolehkan berhubungan badan dengannya.

Ibnu Qudamah juga mengatakan: “Adapun masuk ke rumah istri di hari yang bukan gilirannya, hal itu diperbolehkan jika ada kebutuhan, seperti memberikan nafkah, menjenguknya, menanyakan sesuatu yang penting untuk diketahui, atau mengunjunginya karena sudah lama tidak bertemu, dan hal serupa. Namun, jika ia masuk, ia tidak boleh berhubungan badan dengannya dan tidak boleh berlama-lama di sana, karena hal itu memberikan rasa ketenangan, sementara ia tidak berhak mendapatkannya.”

Kami tidak menemukan pendapat dari seorang pun ulama yang membolehkan seorang suami berhubungan badan dengan istri lain di siang hari hanya karena istri yang mendapat giliran sedang bekerja. Maka, hukum asalnya tetap, yaitu larangan.

 

Menikahi Budak Wanita

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.”

Ada dua syarat lagi yang tidak disebutkan oleh Abu Syuja’ lalu dijelaskan di Fath Al-Qarib: (3) tidak ada lagi wanita muslimah atau wanita ahli kitab yang merdeka yang nantinya digauli dan (4) budak wanita tadi beragama Islam karena seorang pria muslim tidak boleh menikahi wanita budah yang ahli kitab. Jika seorang pria merdeka telah menikahi seorang budak lantas ia mendapatkan kemudahan menikahi wanita merdeka, maka pernikahan dengan budak tadi tidaklah batal.

Dalil boleh menikahi budak muslimah adalah,

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 25)

Baca juga: Hukum Menikah

Catatan: Budak di masa silam adalah individu yang tidak memiliki kebebasan pribadi karena menjadi milik orang lain. Mereka didapatkan melalui perang, pembelian, atau warisan, sesuai dengan aturan yang berlaku pada masa itu. Sedangkan pembantu pada zaman ini adalah pekerja yang bekerja secara sukarela berdasarkan kontrak atau kesepakatan, memiliki hak penuh atas kebebasannya, dan tidak dimiliki oleh majikan. Islam mengatur perbudakan dengan sangat manusiawi di zamannya, bahkan mendorong pembebasan budak sebagai amalan mulia.

Baca juga: Berbagai Pembahasan Poligami di Rumaysho.Com

 

Referensi:

    1. Al-Ashfahaniy, A. b. A. H. (1428 H). Mukhtashor Abi Syuja’ (Matan Al Ghoyah wat Taqrib atau Ghoyah Al Ikhtishor)(Cetakan pertama). Darul Minhaj.
    2. Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (1441 H). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’(Cetakan kedua). Dar Al-Minhaj.
    3. Al-Bugho, M. (1428 H). At Tadzhib fii Adillati Matn Al Ghoyah wat Taqrib (Cetakan kesebelas). Darul Musthofa.
    4. Al-Ghozzi, M. b. Q. b. M. (1425 H). Fathul Qorib Al Mujiib fii Syarh Alfazhit Taqriib (Al Qoul Al Mukhtaar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor) (Cetakan pertama). Dar Ibnu Hazm.
    5. Al-Hushoini, T. A. B. b. M. (n.d.). Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor.
    6. Al-Kaamil Haamid, H. (1432 H). Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii (Cetakan pertama). Dar Al-Manar.

 

Referensi web:

  • https://www.islamweb.net/ar/fatwa/484900/حكم-وطء-الزوجة-نهارا-في-بيتها-في-دور-ضرتها-التي-في-العمل
  • https://www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/7844/

 

 

Ditulis pada 7 Rajab 1446 H, 7 Januari 2025 di Darush Sholihin Gunungkidul

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button