Tiga Syarat Meraih Surga: Cinta, Khawatir, dan Amal
Setiap Muslim yang menginginkan Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut.
Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga
Sebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi.
Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan.
Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya.
Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut.
Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan.
Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.”
Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh
Sebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman:
“Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61)
Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan.
Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa.
Contoh Rasa Takut Para Sahabat
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab.
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan.
Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran.
Kekhawatiran Menjadi Munafik
Ibnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya.
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat.
Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam.
–
Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com