Penerima Zakat untuk Fii Sabilillah, Apakah Terbatas Hanya pada Jihad?
Siapakah fii sabilillah sebagai penerima zakat (mustahiq), apakah terbatas hanya pada jihad saja ataukah lebih umum? Berbagai pendapat ulama akan dikaji dalam tulisan ini.
Penerima Zakat (Mustahiq)
Kita tahu bahwa penerima zakat sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanya untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah (fii sabilillah), dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama” yang memberi makna hashr (pembatasan). Ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya. Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 23:312.
Fii Sabilillah adalah Jihad di Jalan Allah (Ini Sudah Disepakati)
Untuk pengertian fii sabilillah adalah JIHAD di jalan Allah. Rinciannya adalah.
Pertama: Berperang di jalan Allah.
Menurut mayoritas ulama, dalam hal ini tidak dipersyaratkan bahwa penerima zakat mesti orang miskin. Orang kaya pun bisa diberi zakat dalam hal ini, karena orang yang berperang di jalan Allah tidak berjuang untuk kemaslahatan dirinya saja, namun juga untuk kemaslahatan seluruh kaum muslimin, sehingga tidak perlu disyaratkan fakir atau miskin.
Kedua: Untuk kemaslahatan perang.
Seperti untuk pembangunan benteng pertahanan, penyediaan kendaraan perang, penyediaan persenjataan, pemberian upah pada mata-mata–baik muslim atau kafir–yang bertugas untuk memata-matai musuh. (Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 23:322-323)
Menurut Imam Nawawi rahimahullah, keutamaan yang didapat oleh orang-orang yang berjihad di jalan Allah, walau secara tekstual hanya didapat oleh orang yang memerangi orang-orang kafir, tetapi secara makna mencakup semua orang yang berjuang di jalan Allah dengan memerangi para pemberontak (al-bughat), perampok, dan yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan yang serupa dengan mereka. (Syarh Shahih Muslim oleh Imam Nawawi, 13:22)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengamini penjelasan Imam Nawawi di atas, beliau berkata, “Yang dimaksud dengan kalimatullah adalah berita dan perintah-Nya, dengan demikian perintah-Nya dipatuhi di atas perintah selain-Nya, dan berita-Nya dipercayai melebihi berita selain-Nya…Bila ibadah, ketaatan, dan merendahkan diri hanya diperuntukkan Allah semata, maka Allah Ta’ala menjadi Dzat yang paling mulia/tinggi di dalam jiwa hamba, sebagaimana Dzat Allah memang benar benar tinggi. Demikian pula halnya dengan kalimatullah, juga menjadi mulia di dalam jiwa mereka sebagaimana ia juga mulia juga memang benar-benar mulia.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 5:238-239)
Sebagian ulama berpandangan bahwa fii sabilillah adalah jihad yang meliputi jihad dengan jiwa, jihad dengan senjata, dan jihad dengan ilmu. Jihad dengan ilmu ini dengan melawan syubhatnya orang musyrik, membantah penyimpangan kaum musyrikin, menerangkan kebaikan Islam, dan dakwah ilallah.
Berbagai Pendapat Mengenai Makna Fii Sabilillah
Di antara kriteria golongan penerima zakat yang diperselisihkan ialah golongan fii sabilillah (di jalan Allah). Walau berbeda, tetapi ada titik temu antara semua pendapat yang ada, yaitu jihad dengan angkat senjata melawan orang-orang kafir benar- benar masuk dalam golongan fi sabilillah. Selanjutnya mereka bersilang pendapat, apakah sebutan fii sabilillah pada ayat di atas mencakup makna lain selain berperang melawan orang kafir.
Pendapat pertama: Fii sabilillah hanya mencakup arti jihad dengan angkat senjata melawan orang kafir, dengan syarat mujahid tersebut tidak mendapatkan gaji tetap dari pemerintah. Ini adalah jumhur ulama, di antaranya adalah pendapat Abu Yusuf, madzhab Malikiyyah, Syafiiyyah, dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad, serta menjadi keputusan Hay’ah Kibaril ‘Ulama Saudi Arabia. Imam Abu Yusuf sendiri membatasi pendapat ini pada para pejuang yang miskin, adapun pejuang yang kaya maka ia tidak berhak menerima zakat.
Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadits,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِىِّ
“Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, amil zakat, orang yang terlilit utang, seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki tetangga yang miskin kemudian orang miskin tersebut diberi zakat lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.” (HR. Abu Daud, no. 1635. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini sahih).
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan di antara kelima orang kaya yang berhak menerima zakat adalah mujahid, dan di antara ashnaf tsamaniyah tidak ada yang diberi zakat karena statusnya sebagai pejuang, selain yang kita beri dari jatah fi sabilillah Ta’ala.”
Pendapat kedua: Fii sabilillah mencakup jihad dengan berperang di jalan Allah, ibadah haji dan umrah. Ini adalah pendapat dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhum. Para sahabat berpendapat demikian dan tidak ada yang menyelisihinya. Inilah pendapat Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam, Al-Hasan Al-Bashri, Ishaq bin Rahuyah, dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Pendapat ketiga: Fii sabilillah adalah menuntut ilmu. Ini ada dalam fatawa Zhahiriyyah, juga di Hasyiyah Ibni ‘Abidin, dan Al-Marghinani.
Pendapat keempat: Fii sabilillah adalah jihad fii sabilillah dalam makna yang lebih umum, sehingga mencakup segala upaya untuk memperjuangkan Islam, menegakkan Islam di muka bumi, baik dengan angkat senjata, atau dengan tulisan, atau lisan. Hal ini mencakup segala bentuk jihad, yaitu jihad lewat pemikiran, pendidikan, hingga strategi.
Pendapat ini menjadi pendapat dalam keputusan Al-Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami dan An-Nadwah Al-‘Ula li Qadhaya Az-Zakah Al-Mu’ashirah. Ulama yang berpandangan seperti ini pula adalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh (mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam).
Pendapat kelima: Fii sabilillah mencakup semua bentuk amal kebajikan yang mendekatkan diri kepada Allah. Di dalamnya termasuk untuk perang, haji, umrah, membangun masjid, jembatan, panti asuhan anak yatim, mengafani jenazah, mencetak mushaf, mencetak kitab hadits, mencetak buku-buku ilmu agama, memperbanyak rekaman kaset untuk disebar, membiayai para dai ilallah yang sibuk berdakwah, lembaga tahfizh Al-Qur’an. Pendapat terakhir adalah pendapat kebanyakan ulama saat ini.
Makna Fii Sabilillah dari Hadits Nabi, Jelas Sekali
Pendapat pertama adalah pendapat jumhur ulama yang sudah biasa ditemukan dalam kitab fikih klasik. Pendapat kedua adalah pendapat sebagian pakar fikih. Pendapat ketiga sudah termasuk pada pendapat kelima. Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah fii sabilillah yaitu segala cara untuk menegakkan kalimatullah, yaitu membuat dakwah Islam terjaga.
Definisi fii sabilillah sangat jelas diterangkan pada hadits berikut ini.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Ada seseorang yang berperang karena alasan fanatisme kelompok, ada juga yang karena riyak (ingin mendapatkan pujian). Lalu apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan fii sabilillah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ العُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Siapa pun yang berperang agar kalimatullah menjadi tinggi atau mulia, maka ia berperang di jalan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 123 dan Muslim, no. 1904).
Jihad Bisa dengan Apa Saja
Di antara dalil lainnya yang mendukung bahwa jihad itu bisa dengan berbagai macam cara, bisa dengan senjata, lisan, dan tulisan.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
“Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, jiwa, dan lisan kalian.” (HR. Abu Daud, no. 2504; Ahmad, 12268; An-Nasai, no. 3096. Hadits ini sahih menurut Syaikh Al-Albani).
Para ulama menyatakan bahwa seorang yang berperang diberi bagian dari zakat untuk mencukupi kebutuhan dirinya dan kebutuhan keluarganya selama ia pergi berjihad hingga ia kembali ke keluarganya. Berarti segala yang mendukung jihad termasuk pula dalam penyaluran zakat untuk fii sabilillah.
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا أَوْ جَهَّزَ حَاجًّا أَوْ خَلَفَهُ فِي أَهْلِهِ ، أَوْ أَفْطَرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أُجُوْرِهِمْ ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْء
“Barang siapa yang menyediakan bekal bagi mujahid, menyediakan bekal untuk jamaah haji, atau bersikap baik kepada keluarga yang ditinggalkan, atau memberi makan buka puasa bagi orang yang berpuasa, maka ia akan menerima pahala sebagaimana pahala mereka, tanpa dikurangi sedikit pun dari pahalanya.” (Dikeluarkan oleh Al-Mundziri dalam At-Targhib wa At-Tarhib, 1:152, sanad hadits ini sahih atau hasan atau mendekati antara sahih atau hasan).
Dari sini, kita dapat lihat bahwa model perang dari zaman ke zaman itu berbeda-beda. Media untuk mengalahkan musuh atau model serangan musuh juga berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Alat berperang saat ini juga telah berkembang, ada senjata biologi, senjata pemusnah massal, dan dengan berbagai teknologi pendukung semisal teknologi jaringan internet, alat komunikasi, satelit, dan lainnya.
Di masa silam, kita dapat melihat dari usulan strategi perang dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu saat perang Khandaq atau Ahzab. Usulannya ketika itu adalah mengenai penggalian parit. Penguasaan pada strategi peperangan dan pertahanan, terlebih di era modern seperti ini yang sarat dengan teknologi modern, tentu sangat diperlukan oleh umat Islam. Hal inilah yang disebut dengan i’dadul quwwah, persiapan kekuatan. Untuk berperang tidaklah mungkin tanpa persiapan strategi dan semacamnya seperti ini.
Kesimpulan
Kesimpulannya, fii sabilillah adalah segala cara untuk menolong agama Allah melalui jihad dengan jiwa, harta, dan lisan. Hal ini mencakup dakwah ilallah. Dari sini dirinci penyaluran zakat untuk fii sabilillah sebagai berikut:
- Membiayai perang di jalan Allah dan turunannya.
- Membiayai semua bentuk jalan-jalan kebaikan yang bertujuan agar dakwah Islam terus tegak dan menyebar, seperti: (a) pengiriman dai ke berbagai pelosok negeri, (b) memenuhi kesejahteraan hidup para dai, (c) membiayai media dakwah seperti televisi, radio, website Islam, dan studio dakwah, (d) mencetak buku Islam atau majalah lalu disebarkan, (e) mendirikan pondok pesantren, (f) menyantuni para santri, (g) menyantuni para kyai, guru, ustadz di pondok pesantren atau Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), (h) mendukung biaya operasional pondok pesantren atau TPA, (i) mendirikan muallaf center untuk memperkenalkan Islam pada non-muslim atau pada yang baru belajar Islam.
Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi
- Kitab Nawazil Az-Zakah karya Syaikh ‘Abdullah bin Manshur Al-Ghafili, 449 – 451, Maktabah Syamilah.
- Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad, no. 037/DFPA/V/1445 tentang Aktualisasi Makna Fii Sabilillah dalam Penyaluran Zakat
- Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 121551 tertanggal 04-08-2008 oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid
- Zakat untuk Santri (Penuntut Ilmu Agama)
- Fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, penyaluran zakat untuk pembangunan masjid
- Golongan Penerima Zakat untuk Fii Sabilillah
- Pendapat Ulama Mengenai Pengertian Fii Sabilillah oleh Mabarrah Al-Aal wa Al-Ash-haab dari Kuwait
–
Selesai ditulis pada malam Jumat, malam ke-18 Ramadhan 1445 H, 29 Maret 2024
di Pondok Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com