Haji Umrah

Berbekam Saat Ihram untuk Haji dan Umrah Apakah Termasuk Larangan Ihram?

Berbekam saat ihram untuk haji dan umrah apakah termasuk larangan ihram sehingga nantinya dikenakan fidyah atau dam?

 

 

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

 

كِتَابُ اَلْحَجِّ

Kitab Haji

 

بَابُ اَلْإِحْرَامِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ

BAB SEPUTAR IHRAM DAN YANG TERKAIT DENGANNYA

 

Hadits #737

وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ ( { اِحْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam ketika beliau sedang ihram. (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 1835 dan Muslim, no. 1202]

 

Faedah hadits

  1. Orang yang berihram boleh untuk berbekam secara mutlak karena keadaan darurat atau alasan lainnya. Pembolehan ini berdasarkan zhahir hadits atau tekstual hadits. Demikianlah pendapat jumhur ulama, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Malik, Imam Ahmad, dan sebagian ulama salaf.
  2. Berbekam saat ihram dibolehkan asalkan tidak sampai membuat rambut kepala terpotong. Jika sampai memotong rambut, maka diperintahkan membayar fidyah.

Allah Ta’ala berfirman,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِۦٓ أَذًى مِّن رَّأْسِهِۦ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ

Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berqurban.” (QS. Al-Baqarah: 196).

Namun, Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah memberikan kritikan tentang masalah fidyah, “Adapun mewajibkan fidyah karena rambut terpotong saat bekam, maka penetapan ini butuh dalil. Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak menunaikan fidyah ketika berbekam atau memerintahkan untuk bayar fidyah, tak ada dalil yang menunjukkan hal ini. Padahal hadits yang membicarakan hal ini berisi penjelasan. Menunda penjelasan saat dibutuhkan tentu suatu hal yang tidak boleh, TA’KHIIRUL BAYAAN ‘AN WAQTIL HAAJAH LAA YAJUUZ.

Di samping itu, rambut yang terpotong karena bekam hanyalah sedikit dibandingkan dengan rambut kepala lainnya. Penetapan fidyah barulah ada jika seluruh rambut kepala dipotong. Adapun memotong sebagian rambut dalam keadaan berihram, maka tidak ada fidyah, lebih-lebih itu karena ada kebutuhan (hajat), seperti hajat untuk berbekam dan berbekam saat ihram tidaklah terlarang. Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Lihat Minhah Al-Allam, 5:234.

 

Hukum Menggaruk Kepala Saat Ihram

Tidak masalah menggaruk kepala, walaupun ada rambut yang rontok. Karena rambut yang rontok bukanlah hal yang dituju (tidak diniatkan), maka tidaklah masalah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dalam keadaan berihram. Beliau mencuci kepalanya, bisa jadi ada rambut yang rontok. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menegaskan bahwa sebagian jamaah haji saking khawatir rambut rontok, ia hanya menggaruk kepala dengan jarinya. Ini termasuk bentuk menyusahkan diri dalam beragama. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dengan kalimat yang diulang hingga tiga kali “HALAKAL MUTANATTHI’UUN”, celakalah mereka yang memberat-beratkan diri.

 

  1. Kaidah dalam madzhab Syafii mengenai masalah ihram: MENCUKUR, MENGENAKAN PAKAIAN, DAN BERBURU TERMASUK DALAM LARANGAN IHRAM KETIKA BERHAJI, SEMUANYA DIBOLEHKAN KETIKA ADA HAJAT (KEBUTUHAN), TETAPI DIKENAKAN FIDYAH. Semisal, ada yang butuh saat ihram untuk mencukur rambut, memakai baju karena sakit, keadaan panas, atau dingin, berburu karena kebutuhan (hajat), dan semisal itu. Alasannya, surah Al-Baqarah ayat 196 yang disebutkan sebelumnya.
  2. Hukum hijamah atau berbekam itu boleh. Penghasilan dari pekerjaan bekam juga halal karena ada riwayat dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma di mana ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan memberikan upah kepada tukang bekam.” (HR. Bukhari, no. 1997, 2159 dan Muslim, no. 1202). Seandainya penghasilan dari berbekam itu haram, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memberi upah pada orang yang membekam. Karena sesuatu yang dilarang diambil, tentu dilarang untuk diberi.

 

Baca juga:

 

Referensi:

  • Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 5:233-234.
  • Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. 2:614-615.

 

 

Diselesaikan di Makkah, 27 Dzulqa’dah 1444 H, 15 Juni 2023

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button