Haji Umrah

Berburu Termasuk Larangan Ihram Saat Umrah dan Haji, Inilah Penjelasan Dalilnya

Inilah dalil lengkap mengenai larangan berburu saat ihram ketika umrah dan haji. Perhatikan dalilnya.

 

 

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

 

كِتَابُ اَلْحَجِّ

Kitab Haji

 

بَابُ اَلْإِحْرَامِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ

BAB SEPUTAR IHRAM DAN YANG TERKAIT DENGANNYA

 

Hadits #734

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ اَلْأَنْصَارِيِّ ( { فِي قِصَّةِ صَيْدِهِ اَلْحِمَارَ اَلْوَحْشِيَّ, وَهُوَ غَيْرُ مُحْرِمٍ, قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ ( لِأَصْحَابِهِ, وَكَانُوا مُحْرِمِينَ: ” هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ أَمَرَهُ أَوْ أَشَارَ إِلَيْهِ بِشَيْءٍ ? ” قَالُوا: لَا. قَالَ: ” فَكُلُوا مَا بَقِيَ مِنْ لَحْمِهِ ” } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu tentang kisahnya memburu zebra (al-himaar al-wahsyi) di saat tidak berihram. Ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya ketika mereka berihram, ‘Apakah ada seseorang di antara kalian yang menyuruhnya atau memberikan isyarat kepadanya untuk berburu?’ Mereka menjawab, “Tidak. Beliau bersabda, ‘Makanlah sisa daging yang masih ada.’” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 1842 dan Muslim, no. 1196]

 

Faedah hadits

  1. Orang yang berihram boleh memakan hasil buruan darat asalkan orang lain yang tidak berihram yang berburu. Hal ini dengan catatan, yang berihram tidaklah membantu sama sekali dalam perburuan. Itulah pendapat jumhur ulama.
  2. Orang yang berihram diharamkan memakan hewan yang buruan yang ia buru.
  3. Orang yang berihram tidaklah boleh menolong membunuh hewan hasil buruan baik dengan memberi petunjuk atau meminjamkan alat. Karena sesuatu yang haram dibunuh, maka diharamkan pula menolong dalam membunuhnya. Namun, jika hanya sekadar menolong atau memberi petunjuk atau meminjamkan alat, tidaklah ada dhaman (ganti rugi) bagi orang yang berihram.
  4. Hasil buruan laut tetap halal berdasarkan firman Allah Ta’ala,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ ٱلْبَحْرِ وَطَعَامُهُۥ مَتَٰعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ ٱلْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِىٓ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Maidah: 96). Yang dimaksud “shoidal bahri” adalah yang ditangkap dalam keadaan hidup. Sedangkan makna “tho’amahu” adalah yang ditangkap dalam keadaan sudah mati.

 

Hadits #735

وَعَنْ اَلصَّعْبِ بْنِ جَثَّامَةَ اَللَّيْثِيِّ ( { أَنَّهُ أَهْدَى لِرَسُولِ اَللَّهِ ( حِمَارًا وَحْشِيًّا, وَهُوَ بِالْأَبْوَاءِ, أَوْ بِوَدَّانَ، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ, وَقَالَ: ” إِنَّا لَمْ نَرُدَّهُ عَلَيْكَ إِلَّا أَنَّا حُرُمٌ ” } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ash-Sha’b bin Ja’tsamah Al-Laitsy radhiyallahu ‘anhu, ia pernah menghadiahkan seekor zebra kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berada di Abwa’ atau Waddan. Lalu beliau mengembalikan padanya dan bersabda, “Sebenarnya kami tidak mengembalikannya kepadamu kecuali karena aku sedang ihram.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 1825 dan Muslim, no. 1193]

 

Faedah hadits

  1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi hadiah sebagian daging hewan yang diburu, bukan seluruhnya.
  2. Para ulama sepakat, orang yang berihram tidak boleh berburu. Ia juga diharamkan memiliki hewan buruan yang dibeli atau diberi sebagai hadiah di mana hewan tersebut ditujukan pada orang yang berburu.
  3. Jika ada yang berburu yang halal untuk dirinya, tidak ditujukan untuk orang yang berihram, lantas hasil buruan tersebut dihadiahkan pada orang yang berihram atau ia menjualnya pada orang yang berihram, maka tidaklah haram hasil buruan tadi.

KAIDAH TERKAIT BERBURU SAAT IHRAM: JIKA HEWAN BURUAN DIPEROLEH UNTUK MAKSUD BERBURU, MAKA DIHARAMKAN. ADAPUN JIKA HEWAN BURUAN DIPEROLEH BUKAN KARENA MAKSUD BERBURU, BUKAN DALAM RANGKA MENOLONG DALAM HAL BERBURU, MAKA BOLEH DIMAKAN.

Inilah kompromi dari dua hadits yaitu dari hadits Abu Qatadah (#734) dan hadits Ash-Sha’b (#735).

  1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih boleh menerima hadiah, tetapi tidak boleh menerima sedekah.
  2. Hadiah baru dianggap dimiliki jika diterima, tandanya adalah adanya qabdh (serah terima).
  3. Orang yang berihram diharamkan hewan liar maupun burung yang diburu dan boleh dimakan. Allah Ta’ala berfirman,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ ٱلْبَحْرِ وَطَعَامُهُۥ مَتَٰعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ ٱلْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِىٓ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Maidah: 96)

  1. Hadits ini menjadi dalil wajib mengembalikan hadiah jika hadiah tersebut tidak halal bagi orang yang diberi. Namun, jika memungkinkan hadiah tersebut diberikan kepada yang lain dengan cara mubah, maka halal. Contoh: Memberikan hadiah sutra pada pria masih dibolehkan karena hadiah tersebut masih bisa diberikan kepada istrinya.
  2. Boleh saja menjelaskan sebab ditolaknya hadiah pada orang yang memberi agar menghilangkan pemikiran yang bukan-bukan, serta menghilangkan keraguan padanya. Ini jika hadiah tersebut tidak ada risiko, tetapi tidak layak untuk yang diberi. Adapun jika hadiah tersebut ada risiko, seperti seorang hakim mengembalikan hadiah, begitu pula pegawai dan guru, hendaklah memberikan penjelasan yang bertujuan agar orang yang memberi menjadi baik dan sebagai bentuk mengingatkan kemungkaran. Begitu pula bila hadiahnya adalah masih hak orang lain seperti harta rampasan dan harta curian.

 

Baca juga: Larangan Saat Ihram

 

Hadits #736

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ ( { خَمْسٌ مِنَ اَلدَّوَابِّ كُلُّهُنَّ فَاسِقٌ, يُقْتَلْنَ فِي [ اَلْحِلِّ وَ ] اَلْحَرَمِ: اَلْغُرَابُ, وَالْحِدَأَةُ, وَالْعَقْرَبُ, وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ اَلْعَقُورُ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada lima hewan yang semuanya disebut fasik yang boleh dibunuh di tanah halal mapun tanah haram: (1) burung gagak, (2) burung elang, (3) kalajengking, (4) tikus, dan (5) hewan galak (singa, harimau, serigala, anjing).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 1829 dan Muslim, no. 1198]

 

Faedah hadits

  1. Hewan fasik ini jika dibunuh oleh orang yang sedang berihram tidaklah berdosa, walaupun membununya di tanah haram, lebih-lebih lagi tanah halal.
  2. Hewan yang dianjurkan untuk dibunuh dihukumi haram untuk dimakan.
  3. Hewan-hewan ini disebut fasik karena hewan ini keluar dari keumuman hewan yang boleh disakiti dan boleh dibunuh.

Fasik sendiri secara bahasa berarti durhaka dan keluar dari ketaatan.

  1. Hewan-hewan yang segolongan atau bahkan lebih tinggi dari ini juga sama diperintahkan boleh dibunuh di tanah halal maupun haram seperti:

– burung gagak dan burung elang, diingatkan pula al-baazi (burung pemangsa).

– tikus (hewan pengerat), diingatkan pula hasyaroot (hewan-hewan kecil).

– kalajengking, diingatkan pada ular.

– kalbul ‘aquur, yang lebih tinggi darinya adalah binatang buas.

  1. Termasuk larangan adalah berburu hewan darat yang liar bagi orang yang berihram di tanah halal, juga bagi yang berihram atau tidak di tanah haram. Haramnya membunuh hewan buruan di tanah haram karena tanah haram dijadikan tempat yang penuh rasa aman.

 

Baca juga: Hewan Fasik yang Diharamkan dalam Hadits

 

Referensi:

  • Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 5:224-232.
  • Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. 2:608-613.

 

 

Diselesaikan di Madinah, 25 Dzulqa’dah 1444 H, 14 Juni 2023

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button