Thoharoh

Hukum Mandi Junub Saat Puasa

Bagaimana hukum mandi junub saat puasa? Apakah puasanya sah? Junubnya seperti apa yang membuat puasa tidak sah?

 

 

Pengertian Junub

Junub secara bahasa berarti al-bu’du (jauh).

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ menyatakan bahwa janabah (junub) dimutlakkan pada dua hal yaitu: (1) keluarnya mani, (2) yang melakukan jimak (hubungan intim). Kedua keadaan ini disebut junub karena orang yang junub ini menjauhi shalat, masjid, dan membaca Al-Qur’an.

Dalam Nihayah Al-Muhtaj disebutkan bahwa junub secara syari adalah perkara maknawi yang menjelaskan keadaan badan yang menghalangi sahnya shalat, di mana tak ada keringanan.

Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah, 16:47.

 

Junub itu Karena Dua Sebab

  1. Hilangnya kepala dzakar lalu masuk pada qubul atau dubur wanita atau laki-laki, baik keluar mani ataukah tidak.
  2. Keluarnya mani dengan syahwat dari laki-laki atau perempuan, baik karena mimpi basah (ihtilam) atau onani (istimna’), karena memandang, memikirkan, mencium, atau selainnya.

Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah, 16:48-50.

 

Ciri-Ciri Mani

  • cairan putih
  • tebal (kental)
  • tadaffuq ketika keluar, yaitu keluar duf’atan bakda duf’atin, yaitu satu curahan dan satu curahan lagi
  • keluar dengan syahwat (yang kuat)
  • keluar dengan nikmat
  • membuat lemas ketika keluar
  • baunya khas, ketika basah seperti bau adonan tepung, ketika kering seperti bau putih telur ayam

Lihat Nail Ar-Raja’, hlm. 109-110.

 

Mani yang Menyebabkan Wajib Mandi

  1. keluar dengan syahwat dan membuat lemas di akhir;
  2. baunya menyerupai bau adonan tepung;
  3. keluar dengan tadaffuq, curahan demi curahan.

Lihat Nail Ar-Raja’, hlm. 110.

Dalil dalam bahasan ini adalah hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ

Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim, no. 343)

 

Yang Dilarang Bagi Orang Junub

  1. Shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah, termasuk pula sujud tilawah dan shalat jenazah.
  2. Thawaf, baik thawaf wajib maupun sunnah.
  3. Menyentuh mushaf dengan tangan ataukah bagian dari anggota tubuh.
  4. Membawa mushaf Al-Qur’an.
  5. Menulis ayat Al-Qur’an.
  6. Masuk masjid dan berdiam di dalamnya kecuali hanya sekadar lewat.
  7. Iktikaf

Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah, 16:52-54.

 

Yang Disunnahkan dan Dibolehkan Bagi Orang Junub

  1. Berdzikir, bertasbih, dan berdoa masih dibolehkan.
  2. Disunnahkan bagi orang junub ketika ingin tidur, makan, minum, atau berjimak kembali, hendaklah mencuci kemaluannya dan berwudhu seperti wudhu mau shalat.

Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah, 16:54-55.

Dimakruhkan bagi orang junub tidur, mengulangi jimak, makan, minum sebelum mencuci kemaluan dan berwudhu. Seperti itu pula untuk yang suci dari haidh dan nifas. Lihat Nail Ar-Raja’, hlm. 115.

 

Pengaruh Junub pada Puasa

  1. Junub jika karena hubungan intim secara sengaja di siang hari bulan Ramadhan, maka puasanya batal dan wajib qadha’ serta menunaikan kafarat.
  2. Junub dengan keluar mani tanpa jimak di siang hari Ramadhan, yaitu karena ihtilam (mimpi basah), puasa tidaklah batal.
  3. Junub dengan keluar mani tanpa jimak di siang hari Ramadhan, yaitu karena sengaja mubasyarah (bercumbu) selain pada kemaluan, mencium, menyentuh dengan syahwat, atau istimna’ (onani), puasanya batal.
  4. Junub dengan keluar mani karena memandang atau memikirkan, maka tidaklah membatalkan puasa. Ulama Syafiiyah mengatakan puasanya batal jika berulang memandang lantas keluar mani.

Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah, 16:56-57.

 

Cara Mengangkat Junub

  1. Mandi wajib.
  2. Tayamum, walau para ulama berselisih pendapat mengenai apakah dengan tayamum itu mengangkat hadats ataukah hanya sekadar membolehkan untuk shalat.

Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah, 16:50-52.

 

Sebab Mandi Wajib

Untuk laki-laki dan perempuan:

  1. Bertemunya dua khitan.
  2. Keluarnya mani.
  3. Kematian.

Khusus untuk perempuan:

  1. Haidh.
  2. Nifas.
  3. Melahirkan.

 

Cara Mandi Wajib yang Sempurna

  1. Berdiri,
  2. Menghadap kiblat,
  3. Berwudhu,
  4. Membaca BASMALAH,
  5. Memperhatikan bagian ma’athif (lipatan) seperti ketiak, dua telinga, dan lipatan perut,
  6. Menggosok-gosok,
  7. Tiga kali basuhan,
  8. Tidak israf (boros) dalam menggunakan air,
  9. Pada wanita, memakai wewangian seperti misk pada kemaluan setelah mandi karena mencuci bekas darah (haidh atau nifas),
  10. Berurutan dalam mengerjakan hal-hal berikut:

  1. mencuci kedua tangan,
  2. mencuci kemaluan (menghilangkan kotoran seperti mani dan madzi),
  3. bersiwak, madhmadhah (memasukkan air ke mulut), istinsyaq (menghirup air ke hidung),
  4. berwudhu sempurna, berniat untuk mengangkat hadats kecil walaupun tidak ada padanya,
  5. memperhatikan ma’athif (bagian lipatan),
  6. menyiram air pada kepala,
  7. menyiram bagian tubuh yang kanan,
  8. menyiram bagian belakang yang kanan,
  9. menyiram bagian tubuh yang kiri,
  10. menyiram bagian belakang yang kiri.

Lihat Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja, hlm. 151; Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 44; Khulaashah Al-Islaamiyyah ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, hlm. 33-34.

Sedangkan sekadar memenuhi rukun mandi adalah: (1) niat; (2) mengguyurkan air ke seluruh tubuh.

 

Jika Masuk Shubuh Belum Sempat Mandi Junub

Ingat mandi itu karena alasan shalat, bukan karena mau puasa. Sehingga jika junub ketika masuk Shubuh, dibolehkan mandi ketika Shubuh, lalu puasa boleh dilanjutkan.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu Shubuh di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Muslim, no. 1109)

Hadits di atas diperkuat lagi dengan ayat,

فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan mubasyaroh (basyiruhunna) dalam ayat di atas adalah jimak atau hubungan intim. Dalam lanjutan ayat disebutkan “ikutilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kalian”. Jika jimak itu dibolehkan hingga terbit fajar (waktu Shubuh), maka tentu diduga ketika masuk Shubuh masih dalam keadaan junub. Puasa ketika itu pun sah karena Allah perintahkan “sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam.” Itulah dalil Al-Qur’an dan juga didukung dengan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bolehnya masuk Shubuh dalam keadaan junub.” (Syarh Shahih Muslim, 7:195).

 

Hukum Mandi Junub Saat Puasa

  1. Karena mimpi basah lantas keluar mani, maka diwajibkan mandi, puasa tidaklah batal.
  2. Karena hubungan intim di siang hari Ramadhan, maka diwajibkan mandi, dihukumi berdosa, puasanya batal, wajib qadha’, dan tunaikan kafarat.
  3. Karena mubasyarah (bercumbu) dan onani lantas keluar mani, maka diwajibkan mandi dan puasanya batal, wajib qadha’.
  4. Karena memandang atau memikirkan lantas keluar mani, maka diwajibkan mandi, puasa tidaklah batal. Kecuali hal ini dilakukan berulang kali lantas keluar mani, maka puasa batal.
  5. Karena mimpi enak, tetapi tidak keluar mani, maka tidak wajib mandi, puasa tidaklah batal.

Semoga menjadi ilmu yang manfaat.

 

Baca juga:

 

Referensi:

  1. Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.
  2. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Terbitan Kementrian Agama Kuwait. 16:47-57.
  3. At-Tadzhiib fii Adillah Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib. Cetakan ke-11, Tahun 1428 H. Prof. Dr. Musthafa Diib Al-Bugha. Penerbit Daar Al-Musthafa.
  4. Fath Al-Qarib Al-Mujib. Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi. Penerbit Thaha Semarang.
  5. Khulaashah Al-Islaamiyyah ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Cetakan pertama, Tahun 1442 H. Syaikh ‘Abdurrahman Bawa Ibnu Muhammad Al-Malibari. Penerbit Daar Ash-Shaalih.
  6. Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan kedua, Tahun 1443 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Adh-Dhiyaa’.

 

 

Selesai disusun Pondok DS pada 6 Ramadhan 1444 H, 28 Maret 2023

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

89 Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button