Apakah Boleh Memfoto Orang Lain Diam-Diam, Tanpa Izin?
Apakah boleh memfoto orang lain diam-diam tanpa izin?
Menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
Kesimpulan dari perkataan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, memfoto orang lain itu tidak dibolehkan secara diam-diam dengan syarat:
- memfotonya diam-diam,
- menyebarkan foto tersebut hingga timbul kerusakan,
- tanpa izin atau rida yang difoto.
Jika memang yang difoto menyatakan tidak ridanya, maka sudah sepantasnya tidak dilakukan.
Kalimat dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Rujukan Dalilnya
Perkataan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fath Dzi Al-Jalaal wa Al-Ikram (15:329):
وهل مثل ذلك أن يلتقط صورتهم وهم جلوس؟ نعم وهذا أيضا قد يكون من باب أولى. لأن الصورة تحفظ وتنشر فيكون البلاء والفتنة أعظم وأكبر، وعلى هذا فلا يجوز للإنسان أن يلتقط صورة أحد إلا بإذنه، حتى لو كان يعرف أن هذا الرجل يقول بجواز التقاط للصور فإنه لا يجوز أن يلتقطه إلا بأذنه، لاسيما إذا كان يعلم أنه يكره أن تلتقط صورته.
Pembahasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin adalah faedah dari hadits:
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنِ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ ، صُبَّ فِى أُذُنِهِ الآنُكُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa menguping omongan orang lain, sedangkan mereka tidak suka (kalau didengarkan selain mereka), maka pada telinganya akan dituangkan cairan tembaga pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, no. 7042).
Imam Adz Dzahabi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-aanuk adalah tembaga cair.
Baca juga: Tajassus, Mencari-Cari Kesalahan Orang Lain
Ada orang yang difoto biasa-biasa saja keadaannya walau diam-diam dan tak ada kerusakan setelah itu, bahkan ia termasuk orang yang senang difoto, maka tak ada problem untuk kasus semacam ini.
Kaidah “Harus Meminta Izin”
Ada kaidah dari Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
وَكُلُّ مَا دَلَّ عَلَى الْإِذْنِ فَهُوَ إذْنٌ وأما إذا لم يأذن أو أذن إذنا غير جائز
“Segala sesuatu yang bermakna izin maka dihukumi sebagai izin. Adapun jika tidak ia izinkan atau tidak dijadikan izin, maka tidaklah dibolehkan.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:272).
Baca juga: Memanfaatkan Milik Orang Lain Harus dengan Izin
Referensi:
- Fath Dzi Al-Jalaali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram Kitaab Al-Jaami’. Cetakan pertama, Tahun 1435 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Madar Al-Wathn.
- Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyyah Al-Harrani. Penerbit Dar Al-Wafa’ & Dar Ibn Al-Jauzi.
—
Darush Sholihin, 15 Safar 1444 H, 11 September 2022
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com