Berpuasa Karena Ru’yah Hilal Bukan dengan Hisab
Dalam Islam, memulai dan mengakhiri bulan Ramadhan dilakukan dengan melihat hilal. Inilah yang disepakati oleh para ulama. Jika pada malam 30 Sya’ban tidak nampak hilal, maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Dan asalnya hari yang tidak nampak hilal tersebut masih termasuk bulan Sya’ban sehingga belum disyari’atkan puasa. Adapun cara hisab yang biasa dipakai sebagian ormasbahkan dijadikan patokan walau bertentangan dengan cara ru’yah hilal, ketahuilah cara hisab ini bukan cara Islam dan tidak pernah diajarkan oleh Islam.
Ibnu Hajar kembali menyebutkan hadits dalam Bulughul Marom, yaitu hadits no. 652 dan 653. Haditsnya adalah sebagai berikut:
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا [ قَالَ ]: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: – إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
وَلِمُسْلِمٍ: – فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا [ لَهُ ] . ثَلَاثِينَ .
وَلِلْبُخَارِيِّ: – فَأَكْمِلُوا اَلْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ.
وَلَهُ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – – فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, makaberhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih).
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Jika hilal tertutup bagi kalian, maka genapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Dalam riwayat Bukhari disebutkan, “Genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”
Dalam shahih Bukhari pada hadits Abu Hurairah disebutkan, “Genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.“
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Hadits di atas menunjukkan wajibnya berpuasa Ramadhan jika sudah nampak hilal. Dan wajibnya berhari raya Idul Fithri ketika nampak hilal yang menandakan masuknya bulan Syawal.
2- Hukum memulai puasa dan berhari raya berkaitan dengan penglihatan hilal walaupun dengan menggunakan teropong atau alat yang bisa memaksimalkan pandangan. Cara terakhir ini dianggap seperti melihat dengan mata telanjang secara langsung.
3- Hadits ini merupakan dalil kelirunya cara hisab dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama lainnya telah menukil adanya ijma’ (konsensus ulama) dalam hal ini. Karena Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengaitkan hukum dengan melihat hilal, bukan dengan cara hisab. Cara ru’yah atau melihat hilal bisa dilakukan oleh orang tertentu dan orang awam sekaligus, orang bodoh dan alim sekali pun. Inilah cara yang diberikan oleh Allah untuk kemudahan seluruh hamba-Nya. Namun beda halnya dengan cara hisab yang hanya segelintir orang yang menguasainya.
4- Hadits ini menunjukkan jika hilal tertutup pada malam ke-30 karena adanya mendung atau debu, maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Pada hari ke-30 tidak dibolehkan untuk puasa. Karena dalam hadits secara jelas menyebutkan demikian, yaitu genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari ketika hilal tertutupi oleh mendung. Inilah dalil tegas yang tidak perlu ada pentakwilan (penyelewengan makna).
5- Puasa tidak diwajibkan ketika belum terlihat hilal. Dan tidak diwajibkan puasa dalam kondisi meragukan sebagaimana dijelaskan dalam hadits sebelumnya dalam Bulughul Marom.
6- Hadits berikut,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Jika hilal tertutupi bagi kalian, maka hitunglah.” Maksudnya adalah bukan perintah lakukan “hisab“. Karena hadits yang satu bisa diterangkan dengan hadits lainnya, itu yang mesti dilakukan. Dalam riwayatlain disebutkan,
فَأَكْمِلُوا اَلْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Itulah maksudnya. Sehingga bagi para pendukung hisab, dalil di atas bukanlah untuk mendukung kalian.
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Fathu Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, 7: 39–59.
Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 11–13.
—
@ Karawaci, Tangerang, Jl Imam Bonjol 115, 18 Sya’ban 1434 H di pagi hari penuh berkah
Artikel Rumaysho.Com
Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat
Ustadz, jika ada waktu mohon bahas juga mengapa untuk menentukan jadwal shalat diperbolehkan menggunakan hisab sebagai acuan (utama)?
Barakallahu fiikum
Ustadz, melihat hilal itu bagian dari ibadah shiyam ramadhan atau hanya cara menentukan awal bulan ramadhan ?
Itu cara menentukan awal bulan Ramadhan.
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Rumaysho.com via My Ipad
Apabila hanya cara penentuan awal bulan, mestinya apabila ada cara penentuan awal bulan qomariyah yang lebih mudah dan tepat apakah dimungkinkan penggunaan cara selain ru’yah ?.
Pada setiap tanggal 29 bulan Sya’ban, Ramadhan dan Dzulqaidah biasanya dilakukan ru’yah, namun posisi ketinggian hilal pasti tidak sama pada setiap tempat, misalnya ketika matahari terbenam di indonesia hilal belum nampak, namun ketika matahari terbenam di Arab saudi hilal sudah nampak, bagaimana penetapan bulan barunya, mengikuti ru’yah yang dimana ?
terimakasih dan salam
Nabi memerintahkan ikuti ruyah di tempat masing2, bukan ikuti saudi.
Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.com via my Iphone
في ٠٣/٠٧/٢٠١٣، الساعة ١١:٢٠ ص، كتب “Disqus” :
Assalamu’alaikum, ustadz, berarti metode ru’yah digunakan utk penentuan awal bulan (Tahun Hijriyah). Ana pengen tau ustadz, apakah di arab saudi melakukan ini untuk penentuan setiap awal bulan? jazakallahu khoiron
Waalaikumussalam. Saudi melakukan ru’yatul hilal setiap penentuan awal bulan, walhamdulillah.
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Rumaysho.com via My Ipad
wah, Alhamdulillah, senang krn ada negara yang berusaha menjalankan sunnah.
assalamualaikum, maknanya kita mesti mengikuti ketetapan oleh pemerintah kita ya ustadz?
Waalaikumussalam. Iya, itu yg selamat.
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Rumaysho.com via My Ipad
Assalam Mu’alaikum Ustadz, Mohon masukan bagaimana kalau kita mengikuti acara megengan yang biasa di lakukan saat menjelang bulan Ramadhan karena terus terang di keluarga saya masih melestarikan itu. sementara dalam aqidah saya, saya tidak meyakini itu. Karena bagi saya itu tidak ada landasan dalil dan tuntunannya, selama ini setiap itu saya sampaikan kepada keluarga dan istri saya saya selalu mendapat tentangan dan dianggap orang yang tidak punya toleransi. Demikan Ustadz mohon petunjuk serta sarannya semoga nantinya menjadi manfaat bagi saya dan keluarga. Amin
Wassalam mu’alaikum
Mas ibrahim, saya juga prnh mengalami seperti anda. Di keluarga pihak istri sering melakukan kegiatan2 yg tdk sesuai sunnah. Setiap ada kegitan tsb sy selalu menghindar. Di lingkungan tetangga juga demikian sampai2 ada yg bertanya lewat teman saya bhw saya itu islam aliran apa. Saya hanya menyampaikan kpd org2 yg tdk sepaham dgn sy bhw amalan yg tdk sesuai dgn perintah nabi adalah tertolak dan itu adalah hadis shahih. Awalnya berat utk menyampaikannya. Tapi saya ingat pesan Rasulullah kepada
Abu Dzar Al Ghifari “… dan supaya
mengatakan yang benar meskipun pahit”(H.R. Imam Baihaqi). Sekarang saya sdh terbiasa utk tdk menghadiri acara peringatan kematian, maulidan, ruwahan, dll. Merekapun sdh maklum. Wassalaamu’alaikum.