Shalat

Bulughul Maram – Shalat: Hadits Penting tentang Syarat dan Rukun Shalat

Hadits ini penting sekali dalam memahami cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena diterangkan beliau langsung lewat lisan dalam rangka membenarkan orang yang jelek shalatnya (musii’ fii shalatihi).

Baca juga: Hadits Musii’ fii Shalatihi

 

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

Kitab Shalat

بَابُ صِفَةِ الصَّلاَةِ

Tata Cara Shalat Lewat Lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Hadits #267

عَنْ أَبي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبيَّ صلّى الله عليه وسلّم قَالَ: «إِذَا قُمْتَ إلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ، ثمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ، فَكَبِّرْ، ثمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ، ثُم ارْكَعْ حَتَّى تَطمَئِنَّ رَاكِعاً، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِماً، ثمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِن َّ سَاجِداً، ثمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِساً، ثمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِداً، ثمَّ افْعَلْ ذلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا». أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ، وَاللّفْظُ لِلْبُخَاريِّ.

وَلاِبنِ مَاجَهْ بِإِسْنَادِ مُسْلِمٍ: «حَتَّى تَطْمَئِنَّ قَائِماً».

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (mengajari orang yang jelek shalatnya), “Jika engkau hendak shalat, maka sempurnakanlah wudhu. Kemudian hadaplah kiblat. Lalu bertakbirlah. Lalu bacalah ayat Al-Qur’an yang mudah bagimu. Lalu rukuklah hingga thumakninah ketika rukuk. Lalu bangkitlah hingga engkau tegak berdiri. Lalu sujudlah hingga engkau thumakninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah hingga engkau thumakninah ketika duduk. Kemudian sujud kembali hingga engkau thumakninah ketika sujud. Kemudian lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (Dikeluarkan oleh yang tujuh, lafaznya adalah lafaz Bukhari. Menurut Ibnu Majah dengan sanad Muslim, “Sampai engkau tenang berdiri”). [HR. Bukhari, no. 757, 793; Muslim, no. 397; Abu Daud, no. 856; Tirmidzi, no. 303; An-Nasai, no. 2:124; Ibnu Majah, no. 1060; Ahmad, 2:437]

 

Hadits #268

ـ وَمِثْلُهُ فِي حَدِيثِ رِفَاعَةَ عِنْدَ أَحْمَدَ وَابْنِ حِبَّانَ.

وَفي لفظٍ لأحْمَدَ: «فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعِظَامُ».

وَلِلنَّسَائِيِّ، وَأَبي دَاوُدَ مِنْ حَدِيثِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ: «إنَّهَا لَنْ تَتِمَّ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يُسْبغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللهُ، ثمَّ يُكَبِّرَ اللهَ، وَيَحْمَدَهُ، وَيُثْنِيَ عَلَيْهِ».

وَفِيهَا: «فَإنْ كَانَ مَعَكَ قُرْآنٌ فَاقْرَأْ وَإلاَّ فَاحْمَدِ اللهَ، وَكَبِّرهُ، وَهَلِّلْهُ».

وَ لأبي دَاوُدَ: «ثمَّ اقْرَأْ بِأُمِّ الْقرآن وَبِمَا شَاءَ اللهُ».

وَ لاِبْنِ حِبَّانَ: «ثمَّ بِمَا شِئْتَ».

Hal yang serupa didapatkan dalam hadits Rifa’ah bin Raafi’. Menurut Imam Ahmad dan Ibnu Hibban, “Hingga engkau merasa tenang berdiri.

Menurut Imam Ahmad disebutkan. “Maka tegakkanlah tulang punggungmu hingga tulang-tulang itu kembali seperti semula.”

Menurut riwayat Imam An-Nasa’i dan Abu Daud dari hadits Rifa’ah bin Raafi’ disebutkan, “Sungguh tidak sempurna shalat seseorang di antara kalian kecuali dia menyempurnakan wudhu sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, kemudian ia takbir dan memuji Allah.” Dalam hadits itu disebutkan, “Jika engkau hafal Al-Qur’an bacalah. Jika tidak, maka bacalah tahmid (alhamdulillah), takbir (Allahu Akbar), dan tahlil (laa ilaha illallah).”

Menurut riwayat Abu Daud disebutkan, “Kemudian bacalah Al-Fatihah dan apa yang dikehendaki oleh Allah.”

Menurut Ibnu Hibban disebutkan, “Kemudian bacalah sekehendakmu.” [HR. Abu Daud, no. 859; An-Nasai, 2:226; Ahmad, 4:340; Ibnu Majah, no. 1787. Hadits Rifa’ah ini hadits penting karena ia hadir di dalam kisah secara langsung karena orang yang jelek shalatnya adalah Khalad bin Raafi’ merupakan saudara Rifa’ah bin Raafi’. Hadits ini memiliki sisi keunggulan karena adanya tambahan dhabth dan itqan].

 

Keterangan hadits

Hadits ini adalah hadits yang agung. Para ulama menyebutnya dengan hadits musii’ fii shalatihi (orang yang jelek shalatnya). Di dalamnya berisi banyak hukum mengenai tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterangkan secara lisan. Sebagaimana diketahui dalam ilmu ushul bahwa hadits berupa ucapan lebih didahulukan daripada perbuatan. Hadits ini menerangkan ayat yang sifatnya global, yaitu:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ

Dan dirikanlah shalat.” (QS. Al-Baqarah: 43)

Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي

Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari, no. 196; Ahmad, 34:157-158)

Hadits ini memiliki banyak riwayat dan lafaz. Ada dua sahabat yang meriwayatkan hadits ini yaitu:

  1. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
  2. Rifaa’ah bin Raafi’ radhiyallahu ‘anhu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mengulangi shalat hingga tiga kali untuk mengingatkannya barangkali ia lupa, atau memantapkan ilmunya jika ia tidak tahu. Seperti ini akan mudah diterima. Ini bukan karena ingin mentakzir yaitu mengingatkan keras orang yang salah. Namun, ini dalam rangka meluruskan.

Dalam riwayat ada tambahan untuk isbaaghul wudhu’ yaitu menyempurnakan wudhu.

Kemudian membaca Al-Qur’an yang mudah bagimu” dalam riwayat Abu Hurairah tidak ada perbedaan. Namun, dalam hadits dari Rifa’ah ada perbedaan sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram.

Thumakninah yang dimaksud adalah as-sukuun (tenang) walaupun hanya sebentar. Sedangkan yang dimaksud secara istilah adalah diamnya anggota tubuh beberapa saat.

 

Faedah hadits

  1. Hadits ini jadi dalil akan wajibnya wudhu untuk shalat dan diperintahkan untuk isbagh yaitu menyempurnakan wudhu.
  2. Hadits ini jadi dalil wajibnya menghadap kiblat.
  3. Hadits ini jadi dalil akan wajibnya takbiratul ihram dengan lafazh “Allahu akbar”. Takbiratul ihram ini termasuk rukun shalat, shalat tidaklah sah tanpa takbiratul ihram. Lafazh takbiratul ihram ini tidak bisa digantikan dengan lafazh Allahu Ajall, Allahu A’zhom, seperti itu tidaklah sah.
  4. Doa istiftah tidaklah wajib karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan dalam hadits ini.
  5. Wajib membaca apa yang mudah dibaca dari Al-Qur’an, dan yang dimaksud adalah membaca Al-Fatihah bagi yang bisa membacanya. Al-Fatihah dikatakan sebagai bacaan yang mudah dibaca dari Al-Qur’an karena kaum muslimin mudah menghafalkannya.
  6. Jika tidak mampu membaca Al-Fatihah berarti membaca ayat lain yang mudah dibaca. Jika tidak bisa pula, maka beralih pada membaca dzikir (yaitu bisa dengan bacaan tahmid, takbir, dan tahlil).
  7. Yang termasuk rukun shalat pula adalah rukuk, berdiri dari rukuk (iktidal), sujud dua kali, dan duduk antara dua sujud. Karena dalam hadits ini Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya.
  8. Wajib thumakninah dalam setiap rukun seluruhnya. Rukun shalat tidaklah sah jika tidak ada thumakninah, sebagaimana pendapat jumhur ulama (Syafiiyyah, Hambali, Malikiyyah, Zhahiriyyah). Karena dalam hadits ini Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan thumakninah dalam rukuk, bangkit dari rukuk, sujud, dan duduk antara dua sujud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mengulangi shalat karena tidak memenuhi rukun ini. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan bahwa ia tidak shalat, padahal ia dalam keadaan tidak tahu (jahil). Hal ini menunjukkan bahwa siapa saja yang meninggalkan thumakninah, ia tidak dikatakan shalat. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa (22:569) menyebutkan bahwa sukun (tenang) dan thumakninah dalam shalat dihukumi wajib berdasarkan ijmak sahabat.

Dasar yang menunjukkan bahwa thumakninah termasuk wajib dalam shalat adalah hadits dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوْعُهَا وَلاَ سُجُوْدُهَا.أَوْ قَالَ : لاَ يُقِيْمُ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوْعِ وَ السُّجُودِ

Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari shalatnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” Atau beliau bersabda, “Ia tidak menegakkan punggungnya ketika rukuk dan sujud.” (HR. Ahmad, 22:569. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan dalam Minhah Al-‘Allam, 3:12, bahwa sanad hadits ini sahih).

Mengenai kadar thumakninah ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang menyatakan bahwa thumakninah adalah sukun (tenang) walaupun sebentar. Ini seperti pengertian secara bahasa dari thumakninah. Sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa thumakninah adalah sekadar dzikir yang dibaca tanpa tergesa-gesa.

  1. Wajib tartib (berurutan) dalam melakukan rukun-rukun yang ada sebagaiman disebutkan dalam hadits karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkannya berurutan dengan kata “tsumma”. Berurutan ini termasuk rukun shalat yang harus ada dalam shalat.
  2. Segala yang disebutkan dalam hadits ini dihukumi wajib. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang jelek shalatnya dengan cara seperti yang beliau sebutkan. Adapun yang tidak disebutkan dalam hadits musii’ fii shalatihi apakah masuk pula dalam wajib ataukah tidak, ada perbedaan pendapat di antara para ulama.

 

Dalam Safinatun An-Naja disebutkan mengenai syarat shalat, rukun shalat, dan kadar thumakninah sebagai berikut.

شُرُوْطُ الصَّلاَةِ ثَمَانِيَةٌ:

1- طَهَارَةُ الْحَدَثَيْنِ.

وَ2- الطَّهَارَةُ عَنِ النَّجَاسَةِ فِيْ الثَّوْبِ وَالْبَدَنِ وَالْمَكَانِ.

وَ3- سَتْرُ الْعَوْرَةِ.

وَ4- اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ.

وَ5- دُخُوْلُ الْوَقْتِ.

وَ6- الْعِلْمُ بِفَرْضِيَّتِهَا.

وَ7- أَنْ لاَ يَعْتَقِدَ فَرْضَاً مِنْ فُرُوْضِهَا سُنَّةً.

وَ8- اجْتِنَابُ الْمُبْطِلاَتِ.

Syarat shalat ada 8, yaitu [1] suci dari dua hadats (besar dan kecil), [2] suci dari najis pada pakaian, badan, dan tempat, [3] menutup aurat, [4] menghadap kiblat, [5] masuk waktu, [6] mengetahui bahwa shalat itu fardhu, [7] tidak meyakini fardhu shalat sebagai sunnah, dan [8] menjauhi pembatal-pembatalnya.

أَرْكَانُ الصَّلاَةِ سَبْعَةَ عَشَرَ:

الأَوَّلُ: النِّيَّةُ.

الثَّانِيْ: تَكْبِيْرةُ الإِحْرَامِ.

الثَّالِثُ: الْقِيَامُ عَلَى القَادِرِ فِيْ الْفَرْضِ.

الرَّابعُ: قِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ.

الْخَامِسُ: الرُّكُوْعُ.

السَّادِسُ: الطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ.

السَّابعُ: الاعْتِدَالُ.

الثَّامِنُ: الطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ.

التَّاسِعُ: السُّجُوْدُ مَرَّتَيْنِ.

الْعَاشِرُ: الطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ.

الْحَادِيْ عَشَرَ: الْجُلُوْسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ.

الثَّانِيْ عَشَرَ: الطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ.

الثَّالِثَ عَشَرَ: التَّشَهُّدُ الأَخِيْرُ.

الرَّابِعَ عَشَرَ: الْقُعُوْدُ فِيْهِ.

الْخَامِسَ عَشَرَ: الصَّلاَةُ عَلَىَ النَّبِيِّ فِيْهِ.

السَّادِسَ عَشَرَ: السَّلاَمُ.

السَّاِبَعَ عَشَرَ: التَّرْتِيْبُ.

Rukun shalat ada 17, yaitu [1] niat, [2] takbiratul ihram, [3] berdiri bagi yang mampu dalam shalat wajib, [4] membaca surah Al-Fatihah, [5] rukuk, [6] thumakninah ketika rukuk, [7] iktidal, [8] thumakninah saat iktidal, [9] sujud dua kali, [10] thumakninah saat sujud, [11] duduk antara dua sujud, [12] thumakninah saat duduk antara dua sujud, [13] tasyahhud akhir, [14] duduk saat tasyahud akhir, [15] shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahhud akhir, [16] salam, dan [17] tartib (berurutan).

الظُّمَأْنِيْنَةُ هِيَ: سُكُوْنٌ بَعْدَ حَرَكَةٍ؛ بِحَيْثُ يَسْتَقِرُّ كُلُ عُضْوٍ مَحَلَّهُ بِقَدْرِ » سُبْحَانَ اللهِ «

Thumakninah adalah berdiam setelah bergerak di mana tiap anggota badan tenang di tempatnya, lamanya sekitar ucapan SUBHANALLAH.

Baca Juga:

Referensi:

  • Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:6-13.
  • Berbagai kitab fikih Syafiiyah.

Selasa pagi, 3 Rabiul Akhir 1443 H, 9 November 2021

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button