Akibat Tak Peduli Covid, Orang Tua yang Sudah Berumur Akan Jadi Korban
Kami sebut saja Hani (bukan nama asli), ini masih kerabat dekat kami. Hani pada hari Sabtu kemarin berkunjung ke Gunungkidul dan sempat pergi ke tempat wisata yang lagi “hits”, spot terbaik untuk menikmati pemandangan laut.
Kebetulan tempat wisata tersebut berjarak hanya 8 km dari pesantren kami. Tempat wisata ini setiap Sabtu dan Ahad selalu penuh dengan pengunjung. Tempat wisata ini dibuka di masa pandemi di bulan Januari. Tempat ini tak kalah ramai dari wisata ke Puncak bagi orang Jabodetabek. Keramaiannya silakan Anda tanyakan ke orang-orang sekitar yang berada di desa-desa. Orang desa yang mau pergi ke sawah (untuk mengurus ternak) bisa menempuh perjalanan berjam-jam dengan jalan kaki atau naik motor karena jalan yang sudah penuh kendaraan terutama pada hari Sabtu dan Ahad. Orang sekitar tempat wisata tersebut malah mungkin tidak pernah ke sana. Antusias wisatawan begitu luar biasa karena promo di media sosial hingga “pencarian mbah google” begitu gencar dengan menampilkan foto pemandangan dan spot apik yang begitu asyik untuk dijadikan tempat berswafoto. Bus-bus luar kota sudah sering jadi tontonan kami saat keluar rumah. Wisatawan yang ada mayoritasnya berasal dari luar Gunungkidul.
Balik ke cerita Hani tadi, ketika ia sudah menikmati wisata di Gunungkidul, ia balik ke rumahnya di Sleman. Ternyata beberapa hari kemudian ada gejala seperti sakit kepala, batuk, dan radang tenggorokan. Ibunya pun yang serumah dengannya memiliki gejala yang hampir sama, di samping ibunya demam. Pada hari Rabu, Hani dan ibunya dibawa oleh ayahnya ke rumah sakit untuk tes swab.
Ketika di rumah sakit, adik kami bertemu dan berbicara dengan ayahnya dengan logat Ambon, “Bagaimana Om?” Bapak Hani menjawab, “Ini anak lagi sakit, ada gejala sakit kapala (pusing), batuk, dan radang tenggorokan.” Adik kami mulai curiga karena ia pun termasuk penyintas covid-19. Adik kami berkata, “Hmmm .. itu hampir sama deng beta dulu, Om.” Adik kami menambahkan lagi pertanyaan, “Itu ada hilang alat perasa atau penciuman kah seng (tidak)? Beta waktu positif, minyak kayu putih saja tidak bisa tercium” Bapak Hani menjawab lagi, “Iyo, ada gejala seperti itu.” Lalu adik kami membalas, “Itu hampir sama deng beta (dengan saya). Coba tes sudah … itu mungkin saja positif, seng parcaya (tidak percaya), tes sudah?” Adik kami membuat Bapak Hani menjadi ketakutan.
Akhirnya, malamnya Bapak Hani telepon adik kami karena Bapak Hani dan ibu kandung kami itu berteman sejak kecil, berasal dari satu kampung yang sama. Bapak Hani ternyata bercerita, “Ya Allah, ini beta pung anak (anak saya) tadi sama ibunya itu positif.” Akhirnya, adik kami memberikan saran untuk periksa saja ke Puskesmas, Insya-Allah tes dan perawatan gratis, penanganannya juga sangat baik. Adik kami bisa memberi saran seperti itu karena mengetahui bahwa kami yang juga pernah positif covid-19 (walaupun termasuk OTG), dilayani dengan sangat baik oleh petugas puskesmas selama sepuluh hari karantina di rumah.
Bapak Hani tadi sempat berujar, “Iya, ini anak-anak seng kasihan katong di rumah (anak-anak tidak kasihan dengan orang tua di rumah), katong su tua-tua baru (padahal kami sudah berumur tua). Dong pi bajalan, seng mikir katong yang su berumur (Mereka malah senang jalan-jalan, tidak memikirkan kami yang sudah berumur).”
Kalau dari kami, pelajaran dari cerita di atas adalah:
- Anda wahai anak muda, pedulilah sedikit saja kepada orang tua Anda di rumah. Apa tidak kasihan kalau Anda jadi OTG (orang tanpa gejala) yang positif covid-19, lalu Anda membuat orang-orang dalam rumah itu yang kena covid bergejala dan Anda terlihat sehat-sehat saja.
- Kurangi bepergian ke tempat wisata saat melonjak covid-19 walaupun pemerintah tidak memutuskan untuk menutupnya karena berbagai pertimbangan.
- Jika terpaksa keluar rumah, patuhilah protokoler kesehatan dengan melakukan 5M (memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan membatasi mobilitas dan interaksi).
- Jangan jadi “‘Covidiots Warriors’ (Prajurit Covidiot)—mengambil istilah Pak Ridwal Kamil (Gubernur Jawa Barat)—. Covidiot itu tidak menganggap Covid-19 dan risiko virus corona sebagai sesuatu yang serius, bahkan menganggap covid-19 itu hanyalah hasil konspirasi, tipuan, dan berlebihan. Orang-orang seperti ini kalau di Indonesia Timur diistilahkan oleh aparat dengan “Orang Kapala Batu (OKB), bahasa kita adalah orang keras kepala atau “ngeyelan”.
- Para prajurit covidiot Insya-Allah bisa sadar akan kesalahannya kalau ia terjangkit sendiri covid-19 lalu bergejala parah, atau ia terkena covid-19 dan butuh perawatan di Rumah Sakit lantas tidak terurus karena banyak pasien yang tidak bisa tertangani. Ia akan tahu kesalahannya pula kalau melihat orang terdekatnya bergejala berat karena covid-19, bahkan sampai meninggal dunia.
Hadits ini bagus untuk menjadi renungan kita semua.
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja atau pun disengaja.” (Hadits hasan, HR. Ibnu Majah, no. 2340; Ad-Daraquthni no. 4540, dan selain keduanya dengan sanadnya, serta diriwayatkan pula oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 31 secara mursal dari Amr bin Yahya dari ayahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebutkan Abu Sa’id, tetapi ia memiliki banyak jalan periwayatan yang saling menguatkan satu sama lain) [Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 250]
Baca juga: Tidak Boleh Memberikan Mudarat Sengaja atau Tidak
Maksud hadits di atas adalah jangan sampai kita mencelakakan orang lain karena kelengahan kita sendiri yang tak peduli pada virus covid-19 yang kasusnya saat ini sudah menjadi angka 2 juta di negeri kita tercinta. Kasus baru pada 23 Juni 2021 adalah 15.308 kasus.
Semoga Allah beri hidayah kepada kita semua. Jangan menganggap remeh covid-19. Bagi Anda yang belum vaksin, monggo ikuti program pemerintah ini agar negeri kita selamat dari covid-19.
—
Pengasuh Rumaysho dan Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Artikel Rumaysho.Com