Waktu Penyembelihan Qurban
Masalah ini perlu dipahami agar qurban seorang muslim bisa sah. Karena tanpa mengetahui waktu penyembelihan qurban, seseorang akan menyembelih lebih awal atau malah terlambat. Serial kali ini adalah serial keenam dari pembahasan fikih qurban.
Waktu Awal Penyembelihan Qurban
Mengenai waktu penyembelihan qurban dijelaskan dalam hadits berikut,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.”[1]
عَنْ جُنْدَبٍ أَنَّهُ شَهِدَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ النَّحْرِ صَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ « مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى ، وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ »
Dari Jundab, ia menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau berkhutbah dan bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘ied, hendaklah ia mengulanginya. Dan yang belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih dengan menyebut ‘bismillah’.”[2]
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (13: 110) berkata, “Adapun waktu berqurban, hendaklah qurban itu disembelih setelah shalat bersama imam. Demikian qurban tersebut dikatakan sah. Sebagaimana kata Ibnul Mundzir, “Para ulama sepakat bahwa udhiyah (qurban) tidaklah boleh disembelih sebelum terbit fajar pada hari Idul Adha.” Sedangkan waktu setelah itu (setelah terbit fajar), para ulama berselisih pendapat. Imam Syafi’i, Daud (Azh Zhohiriy), Ibnul Mundzir dan selain mereka berpendapat bahwa waktu penyembelihan qurban itu masuk jika matahari telah terbit dan lewat sekitar shalat ‘ied dan dua khutbah dilaksanakan. Jika qurban disembelih setelah waktu itu, sahlah qurbannya, baik imam melaksanakan shalat ‘ied ataukah tidak, baik imam melaksanakan shalat Dhuha ataukah tidak, begitu pula baik yang melaksanakan qurban adalah penduduk negeri atau kampung atau bawadi atau musafir, juga baik imam telah menyembelih qurbannya ataukah belum. …”
Adapun hadits,
فَأَمَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ كَانَ نَحَرَ قَبْلَهُ أَنْ يُعِيدَ بِنَحْرٍ آخَرَ وَلاَ يَنْحَرُوا حَتَّى يَنْحَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan barangsiapa yang berqurban sebelum beliau berqurban, maka hendaklah ia mengulangi qurbannya. Janganlah berqurban sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban.”[3] Hadits ini menjadi alasan bagi Imam Malik bahwa tidak sah qurban kecuali setelah imam menyembelih qurbannya. Imam Nawawi menyanggah alasan ini dengan perkataan, “Jumhur (mayoritas) ulama memahami hadits tersebut bahwa maksudnya adalah larangan keras bagi orang yang terburu-buru menyembelih qurban sebelum waktunya. Karena dalam hadits lainnya dikaitkan hal tersebut dengan shalat. Yaitu siapa yang menyembelih setelah shalat ‘ied, maka sah. Siapa yang menyembelih sebelumnya, maka tidaklah sah.”[4]
Bolehnya Menyembelih Qurban di Siang atau pun Malam Hari
Menyembelih qurban dibolehkan di siang atau malam hari. Akan tetapi, disunnahkan menyembelihnya di siang hari agar lebih baik dalam penyembelihan dan orang-orang miskin pun bisa hadir.[5]
Imam Nawawi berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai bolehnya berqurban di malam hari dari malam-malam qurban (hari Idul Adha dan hari tasyriq). Imam Syafi’i sendiri membolehkan namun menilainya makruh. Demikian pula dikatakan oleh Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan jumhur. Imam Malik pun berpendapat demikian dalam pendapat yang masyhur dari beliau dan para pengikutnya. Sedangkan salah satu pendapat dari Imam Ahmad menyatakan tidak sahnya penyembelihan di malam hari bahkan dianggap seperti daging biasa (bukan qurban).”[6]
Yang benar adalah masih bolehnya penyembelihan di malam hari. Alasan ulama yang tidak membolehkan,
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj: 28).
Dalam hadits juga disebutkan,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ كُلُّهَا ذَبْحٌ
“Hari-hari tasyriq semuanya adalah waktu penyembelihan.”[7] Dalam ayat dan hadits digunakan kata “yaum” yang berarti siang. Jadi penyembelihan qurban mesti di waktu siang.
Sanggahan: Adapun jawaban untuk ayat, yang namanya malam sudah mengikuti “yaum” (siang). Demikian kata Al Mawardi dalam Al Haawi (19: 136). Sedangkan beralasan dengan hadits di atas, maka hadits itu adalah hadits yang dho’if karena dalam perowinya terdapat Sulaiman bin Musa. Ia dikritik dan ia tidak pernah berjumpa Jubair bin Muth’im. Hadits tersebut adalah hadits mudhthorib.[8]
Mengenai beralasan dengan ayat di atas, juga telah disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah, beliau berkata, “Dalam ayat tersebut sebenarnya tidak disebutkan penyembelihan, udhiyah maupun nahr, tidak disebutkan di siang atau malam hari. Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah perintah Allah untuk berdzikir pada hari-hari tersebut. Jika yang dimaksud adalah haram melakukan dzikir tersebut di malam, maka itu sungguh aneh. Dalil tersebut bukanlah dalil untuk melarang dzikir dan memuji Allah atas rizki berupa hewan qurban yang diberikan dan bukan menunjukkan larangan untuk melakukannya di malam hari.”[9]
Adapun hadits,
عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يضحى ليلاً
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menyembelih qurban di malam hari.[10] Dalam sanad hadits ini terdapat Sulaiman bin Salamah Al Khobai-ri dan ia termasuk perowi matruk. Berarti hadits tersebut dho’if.[11]
Akhir Waktu Penyembelihan Qurban
Sebagaimana keterangan dari Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah, “Adapun waktu akhir dari penyembelihan qurban, maka tidak ada hadits yang shahih dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal itu. Oleh karena itu, para ulama berselisih pendapat mengenai akhir waktunya. Ada 4 pendapat dalam masalah ini:
Pertama: Waktu penyembelihan qurban hanya pada hari Idul Adha saja (10 Dzulhijjah). Pendapat ini jelas alasannya. Dan tidak ada khilaf jika waktu penyembelihannya pada 10 Dzulhijjah setelah shalat ‘ied menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Sedangkan menurut pendapat lainnya, penyembelihan pada hari tersebut dilakukan setelah imam menyembelih qurban.
Kedua: Waktu penyembelihannya pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah) dan 2 hari setelahnya (11 dan 12 Dzulhijjah). Tidak ada dalil shahih yang marfu’ (sampai pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-) selain atsar dari Ibnu ‘Umar yang mauquf (hanya perkataan Ibnu ‘Umar) yang menyatakan bolehnya sampai dua hari setelah Idul Adha. Ada atsar dari beliau yang menjelaskan tafsiran ‘ayyam ma’lumaat’ (hari tertentu sebagaimana disebut dalam surat Al Hajj ayat 28) dan termasuk di dalamnya hari ke-11 dan 12 Dzulhijjah. Akan tetapi atsar ini dho’if.
Ketiga:Waktu penyembelihan qurban pada hari Idul Adha dan 3 hari tasyriq setelahnya (11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Dasar pendapat ini adalah hadits dho’if dan mereka qiyaskan dengan hadyu.
Keempat: Waktu penyembelihan qurban adalah sampai akhir Dzulhijjah. Inilah pendapat Ibnu Hazm, namun dasar yang digunakan adalah hadits dho’if. Ada pendapat demikian pula mengenai hadyu, namun pendalilannya dho’if.
Yang hati-hati bagi seseorang muslim bagi agamanya adalah melaksanakan penyembelihan qurban pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah) sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan hal ini lebih selamat dari perselisihan para ulama yang ada. Jika sulit melakukan pada waktu tersebut, maka boleh melakukannya pada 11 dan 12 Dzulhijjah sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Wallahu a’lam.”[12]
Moga sajian ini bermanfaat bagi mereka yang ingin menjalani ibadah qurban. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSA, 26 Syawal 1433 H
Baca Juga:
- Sedekah dan Qurban Pasti Akan Mendapat Rezeki Pengganti
- Mana yang Didahulukan Nafkah ataukah Qurban?
[1] HR. Bukhari no. 5546.
[2] HR. Bukhari no. 7400 dan Muslim no. 1960.
[3] HR. Muslim no. 1964.
[4] Syarh Muslim, 13: 118.
[5] Lihat Fiqhul Udhiyah, hal. 107.
[6] Syarh Muslim, 13: 111.
[7] HR. Al Baihaqi 5: 239.
[8] Lihat Fiqhul Udhiyah, hal. 113-114.
[9] Al Muhalla, 7: 379.
[10] HR. Thobroni dalam Al Kabir, 11: 190
[11] Lihat Fiqhul Udhiyah, hal. 109.
[12] Lihat Fiqhul Udhiyah, hal. 119.
alhamdulillah, skrng sdh jelas BAROKALLAHU FIIK..,,
Assalamu’alaykum, bagaimana jika kita menjalankan haji namun berqurban di kampung halaman, apa ada tuntunan syari’atnya, mengingat ditempat tinggal/kampung halaman banyak yg lebih memerlukan daging qurban daripada di Mekkah, sedangkan berqurban di Mekkah lebih utama dilakukan saat berhaji, Syukron Katsir Ustadz
Wa’alaikumussalam. Kalau namanya hadyu tetap harus ditunaikan di Mekkah. Namun jika berhaji sudah berhadyu dan ingin berqurban lagi di tanah air, maka boleh. Tetapi sekali lagi, hadyu harus tetap di Mekkah tdk bisa ditransport (dipindahkan) ke tanah air.
2012/9/15 Disqus