Risalah Talak (8), Talak dan Kembali Rujuk
Suami kadang terlalu terburu-buru dalam memutuskan cerai. Padahal masih cinta dan ingin kembali atau rujuk. Lalu bagaimana cara untuk rujuk, apakah mesti dengan ucapan atau bisa dengan cuma berhubungan intim dengan istri? Dan perlu diketahui bahwa talak itu ada dua macam yaitu talak roj’iy, talak yang bisa kembali rujuk ketika masa ‘iddah dan talak ba-in, talak yang tidak bisa kembali rujuk kecuali dengan akad yang baru atau setelah menikah dahulu dengan laki-laki lain pada wanita yang ditalak tiga. Kesempatan kali ini kita akan mengulas masalah rujuk dan talak yang bisa kembali rujuk.
Pengertian Talak Roj’iy
Talak roj’iy adalah talak yang membolehkan suami untuk rujuk ketika masih dalam masa ‘iddah tanpa didahului dengan akad nikah yang baru, walau istri tidak ridho kala itu. Talak roj’i ada ketika talak pertama dan talak kedua. Jika ‘iddah telah selesai pada talak pertama dan kedua, maka jadilah talak ba-in (talak yang tidak bisa kembali rujuk). Jika masih talak pertama dan kedua kala itu suami masih ingin kembali pada istri yang dicerai, maka harus dengan akad nikah baru.
Disyari’atkannya Rujuk
Dalil-dalil yang menyatakan bolehnya rujuk:
Allah Ta’ala berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (QS. Al Baqarah: 229). Yang dimaksud “imsak dengan cara yang ma’ruf” dalam ayat tersebut adalah rujuk dan kembali menjalin pernikahan serta mempergauli istri dengan cara yang baik.
Begitu juga dalam ayat,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (masa ‘iddah). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa suami yang mentalak istrinya berhak untuk rujuk kepada istrinya selama masa ‘iddahnya dengan syarat ia benar-benar memaksudkan untuk rujuk dan tidak memberi dhoror (bahaya) kepada istri.[1]
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa talak dibolehkan untuk rujuk. Sedangkan untuk talak ketiga (talak ba-in) tidak ada rujuk sebagaimana diterangkan dalam ayat lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya” (QS. Al Ahzab: 49). Talak sebelum disetubuhi dianggap talak ba-in dan tidak ada masa ‘iddah bagi laki-laki kala itu. Rujuk hanya berlaku jika masa ‘iddah itu ada.[2]
Dalil hadits yang menunjukkan boleh adanya rujuk sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar ketika ia mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kala itu ‘Umar mengadukan kasus anaknya lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا
“Hendaklah ia meruju’ istrinya kembali”[3]
Begitu pula ada ijma’ (kata sepakat) dari para ulama bahwa seorang pria merdeka ketika ia mentalak istrinya kurang dari tiga kali talak dan seorang budak pria kurang dari dua talak, maka mereka boleh rujuk selama masa ‘iddah.[4]
Hikmah di Balik Disyari’atkannya Rujuk
Rujuk sangat dibutuhkan karena barangkali suami menyesal telah mentalak istrinya. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,
لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
“Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” (QS. Ath Tholaq: 1). Yang dimaksud dalam ayat ini adalah rujuk. Sebagaimana pendapat Fathimah binti Qois, begitu pula pendapat Asy Sya’bi, ‘Atho’, Qotadah, Adh Dhohak, Maqotil bin Hayan, dan Ats Tsauri.[5]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Istri yang dicerai tetap diperintahkan untuk tinggal di rumah suami selama masa ‘iddahnya. Karena bisa jadi suami itu menyesali talak pada istrinya. Lalu Allah membuat hatinya untuk kembali rujuk. Jadilah hal itu mudah”.[6]
Ketika Istri Sudah Ditalak Tiga Kali
Ketika istri sudah ditalak tiga kali, maka haram bagi suaminya untuk rujuk kembali sampai mantan istrinya menikah dengan pria lain dengan nikah yang sah. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia nikah dengan suami yang lain” (QS. Al Baqarah: 230).
Pernikahan yang kedua disyaratkan agar suami kedua menyetubuhi istrinya sehingga dikatakan sah. Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah disebutkan,
أَنَّ امْرَأَةَ رِفَاعَةَ الْقُرَظِىِّ جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِى فَبَتَّ طَلاَقِى ، وَإِنِّى نَكَحْتُ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ الْقُرَظِىَّ ، وَإِنَّمَا مَعَهُ مِثْلُ الْهُدْبَةِ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِى إِلَى رِفَاعَةَ ، لاَ ، حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ وَتَذُوقِى عُسَيْلَتَهُ »
“Suatu ketika istri Rifaa’ah Al Qurozhiy menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Aku adalah istri Rifaa’ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair Al Qurozhiy. Akan tetapi sesuatu yang ada padanya seperti hudbatuts-tsaub (ujung kain)[7]”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : “Apakah kamu ingin kembali kepada Rifaa’ah? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu.”[8]
Hukum Seputar Rujuk dan Talak Roj’iy
1. Rujuk ada pada talak roj’iy (setelah talak pertama dan talak kedua), baik talak ini keluar dari ucapan suami atau keputusan qodhi (hakim).
2. Rujuk itu ada jika suami telah menyetubuhi istrinya. Jika talak itu diucap sebelum menyetubuhi istri, maka tidak boleh rujuk berdasarkan kesepakatan para ulama. Alasannya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah[9] dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya” (QS. Al Ahzab: 49).
3. Rujuk dilakukan selama masih dalam masa ‘iddah. Jika ‘iddah sudah habis, maka tidak ada istilah rujuk –berdasarkan kesepakatan ulama- kecuali dengan akad baru. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (masa ‘iddah)” (QS. Al Baqarah: 228).
Kemudian Allah Ta’ala berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228).
Yang namanya rujuk adalah ingin meneruskan kepemilikan (istri). Kepemilikan di sini putus setelah berlalunya masa ‘iddah dan ketika itu tidak ada lagi keberlangsungan pernikahan.
4. Perpisahan yang terjadi sebelum rujuk bukanlah karena nikah yang batal karena faskh. Seperti nikah tersebut batal karena suami murtad.
5. Perpisahan yang terjadi bukan karena hasil dari membayar kompensasi seperti dalam khulu’ (istri menuntut cerai di pengadilan dan diharuskan membayar kompensasi).
6. Rujuk tidak bisa dibatasi dengan waktu tertentu sesuai kesepakatan suami-istri, semisal rujuk nantinya setelah 8 tahun. Sebagaimana nikah tidak bisa dengan syarat waktu sampai sekian bulan, begitu pula rujuk.
Tidak Disyaratkan Ridho Istri Ketika Suami akan Rujuk
Perlu dipahami bahwa rujuk menjadi hak suami selama masih dalam masa ‘iddah, baik istri itu ridho maupun tidak. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228).
Dan hak rujuk pada suami ini tidak bisa ia gugurkan sendiri. Semisal suami berkata, “Saya mentalakmu, namun saya tidak akan pernah rujuk kembali”. Atau ia berkata, “Saya menggugurkan hakku untuk rujuk”. Seperti ini tidak teranggap karena penggugurannya berarti telah merubah syari’at Allah. Padahal tidak boleh seorang pun mengubah syari’at Allah. Padahal Allah Ta’ala telah menyebutkan,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (QS. Al Baqarah: 229).
Dalam rujuk tidak disyaratkan ridho istri. Karena dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
“Maka rujukilah mereka dengan baik” (QS. Ath Tholaq: 2). Dalam ayat ini hak rujuk dijadikan milik suami. Dan Allah menjadikan rujuk tersebut sebagai perintah untuk suami dan tidak menjadikan pilihan bagi istri.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Wajib rujuk jika suami mentalak istrinya ketika haidh sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat dan akan dijelaskan detail pada masalah talak bid’iy.
2. Rujuk tidak disyaratkan ada wali dan tidak disyaratkan mahar. Rujuk itu masih menahan istri sehingga masih dalam kondisi ikatan suami-istri.
3. Menurut mayoritas ulama, memberi tahu istri bahwa suami telah kembali rujuk hanyalah mustahab (sunnah). Seandainya tidak ada pernyataan sekali pun, rujuk tersebut tetap sah. Namun pendapat yang hati-hati dalam hal ini adalah tetap memberitahu istri bahwa suami akan rujuk. Karena inilah realisasi dari firman Allah,
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
“Maka rujukilah mereka dengan baik” (QS. Ath Tholaq: 2). Yang dikatakan rujuk dengan cara yang ma’ruf adalah memberitahukan si istri. Tujuan dari pemberitahuan pada istri adalah jika si istri telah lewat ‘iddah, ia bisa saja menikah dengan pria lain karena tidak mengetahui telah dirujuk oleh suami.
4. Ketika telah ditalak roj’iy, istri tetap berdandan dan berhias diri di hadapan suami sebagaimana kewajiban seorang istri. Karena ketika ditalak roj’iy, masih berada dalam masa ‘iddah, istri masih tetap istri suami. Allah Ta’ala berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228). Dandan dan berhias diri seperti ini tentu akan membuat suami untuk berpikiran untuk rujuk pada istri.
Cara Rujuk
1. Rujuk dengan ucapan
Tidak ada beda pendapat di antara para ulama bahwa rujuk itu sah dengan ucapan. Seperti suami mengatakan, “Saya rujuk padamu” atau yang semakna dengan itu. Atau suami mengucapkan ketika tidak di hadapan istri dan ia berkata, “Saya rujuk pada istriku”.
Lafazh rujuk ada dua macam: (1) shorih (tegas), (2) kinayah (kalimat samaran).
Jika lafazh rujuk itu shorih (tegas) seperti kedua contoh di atas, maka dianggap telah rujuk walau tidak dengan niat. Namun jika lafazh kinayah (samaran) yang digunakan ketika rujuk seperti, “Kita sekarang seperti dulu lagi”, maka tergantung niatan. Jika diniatkan rujuk, maka teranggap rujuk.
2. Rujuk dengan perbuatan
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan bahwa dengan melakukan jima’ (hubungan intim) dan melakukan muqoddimahnya (pengantarnya) seperti mencium dengan syahwat baik diniatkan rujuk atau tidak, maka rujuknya teranggap. Ada juga ulama yang mensyaratkan harus disertai niat dalam jima’ dan muqoddimah tadi. Ada yang berpendapat pula bahwa rujuk adalah dengan jimak saja baik disertai niat atau tidak. Dalam pendapat yang lain, rujuk itu hanya teranggap dengan ucapan, tidak dengan jima’ dan selainnya.
Pendapat yang pertengahan dalam masalah ini adalah rujuk itu teranggap cukup dengan jima’ namun dengan disertai niat. Inilah pendapat Imam Malik, salah satu pendapat Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Alasannya karena setiap amalan tergantung pada niatnya.
Apakah Rujuk Butuh Saksi?
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu” (QS. Ath Tholaq: 2).
Yang rojih –pendapat terkuat- dalam hal ini adalah rujuk tetap butuh saksi bahkan diwajibkan berdasarkan makna tekstual dari ayat. Inilah yang menjadi pendapat Imam Syafi’i yang lama, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[10]
Talak Roj’iy Mengurangi Jatah Talak
Sudah kita ketahui bahwa batasan talak adalah tiga kali. Jika seseorang telah mentalak istri sekali, maka masih tersisa kesempatan dua kali talak. Jika suami itu rujuk, maka tidak menghapus talak yang terdahulu. Allah Ta’ala berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)[11]
Pembahasan ini masih berlanjut pada pembahasan talak ba-in. Semoga Allah memudahkan bagi kami untuk menyusunnya.
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 16 Jumadats Tsaniyah 1433 H
www.rumaysho.com
[1] Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, 3: 262.
[2] Shahih Fiqh Sunnah, 3: 262.
[3] HR. Bukhari no. 5251 dan Muslim no. 1471.
[4] Shahih Fiqh Sunnah, 3: 262.
[5] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, 14: 28.
[6] Idem.
[7] Hudbatuts-tsaub maknanya adalah kemaluan suami lembek/lunak seperti ujung kain, sehingga tidak bisa memuaskan [An-Nihaayah].
[8] HR. Bukhari no. 5260 dan Muslim no. 1433.
[9] Yang dimaksud mut’ah adalah pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum dicampuri.
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 271-272.
[11] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 273-274.
Wass.wr.wb
Afwan ustadz mau tanya,
Kadang2 kita bergurau.Ada peribahasa bersatu kita teguh, bercerai kita
runtuh,tapi kadang2 dipelesetkan bersatu kita teguh bercerai kawin lagi.
Apakah kata2 ini bisa menyebabkan jatuh talak?
Syukron
Wassalamu’alaikum wr.wb
Pak Ustadz, mau nanya
Pertanyaan 1
Istri saya seringkali enggan melayani suami. Ini membuat saya menjadi uring-uringan. Ketika istri tidak meleyani suami, tentu rasa kecewa,dongkol,jengkel akan muncul. Untuk meredamnya saya seringkali pergi tidur namun dalam keadaan gelisah sering timbul keinginan mencari istri baru dan membiarkan istri saya saja. Kadang dalam khayalan tersebut saya sudah bersama istri baru yang lebih baik sedang dia saya biarkan sendiri, kadang kadang terbayang juga dia sudah menikah dengan orang lain. Tapi keinginan tersebut hanya sesaat saja. Biasanya kalau nafsu saya sudah hilang apalagi terlayani, hilang begiu saja.
Saya mencintai istri saya ustadz dan tidak pernah menginginkan perceraian
Suatu kali kami ribut. Masalahnya itu2 juga ustadz plus waktu itu istri tidak mendengarkan kata2 saya membuat saya dongkol. Dalam keadaan marah kecewa saya sempat ingin menuliskan SMS yang berisi “Jadi kamu maunya apa? mau cari suami lain? Kalau kamu sudah tak mau dengar saya lagi Carilah suami lain.” Dengan pikiran jernih saya masih bisa menahan diri ustadz, tidak jadi. Namun ketika pulang dari masjid saya mendapat anak saya menangis kena tegur istri saya. Saya kasihan sama anak saya. Spontan saya waktu itu marah sama Istri karena betul2 dongkol. Masalah satu belum selesai sudah ditambah dengan masalah lain. Terlontar ucapan dari mulut saya “Carilah suami lain yang lebih baik, biar kamu tak merasa dibebani” saya ulangi 3x sangking kesalnya. waktu itu Istri diam saja. Ataghfirullah ustadz saya merasa takut. Saya takut telah menceraikan istri saya. Tapi itu memang karena dongkol ustadz. Saya pernah membaca masalah talak, untuk masalah talak kiasan saya waktu itu tak paham betul.
Waktu saya membaca artikel ustadz talak kiasan akan jatuh jika diniatkan talaq. Saya takut ustadz takut terjadi cerai, padahal saya tak menginginkannya. Saat itu saya memang emosi betul, dah ngeblank aja dipikiran selain mengeluarkan kata2 tersebut. Meski saya tak berniat bercerai saya takut ustadz,khayalan2 ketika saya gelisah tak terlayani menjadi suatu niat. Saya pikir khayalan tersebut ga ada hubungannya dengan kemarahan saya. Saya tak ada niat menceraikan dia ustadz, ketika marah yang ada di benak saya luapan emosi ini keluar dan agar istri saya tahu dia harus menghormati dan nurut saya sama.
Apakah talak sudah jatuh Pak ustadz dalam keadaan tersebut?
Pertanyaan 2
Pak Ustadz sering kali kita bergurau bersama teman2 lain. Saya pikir gurauan ini sudah umum. Ketika istri kita pergi dalam waktu agak lama karena suatu urusan terkadang kawan-kawan kita sering ngomong wah bujangan lagi ni. Kita kadang2 menimpali juga dengan kata iya nih bujangan, lagi ga ada si istri. Atau kadang2 bicara ya 5 langkah keluar rumah bujangan lagi deh. Gimana pak ustadz. Apakah ini bisa menjadi kalimat menjurus ke talak?
Trima kasih Pak Ustadz
Aswan ustadz,
Ada beberapa pertanyaan lagi
1. Kalau ucapan jangan pulang sekalian, karena suami kesal istri pergi tanpa kenal waktu dan maksud suami jangan pulang sekalian hanya menakuti2 istri tidak boleh tidur di rumah jika tidak taat apakah masuk talak?
2. Jika suami kesal karena istri tidak taat dan berkata terserah kamu saja sekarang mau apa, kita urus diri kita masing2 dulu (suami memberikan waktu kpd istri untuk interospeksi) apakah termasuk talak?
3. Suami berkata jadi mau kamu gimana? cari suami lagi?, kalau ga taat silahkanlah cari suami lagi (suami menakuti2). Istri diam saja. Apakah ini termasuk talak?
Wass.wr.wb
Ustadz, jika seorang istri sering membuat jengkel suami dan cenderung kurang taat, kemudian suami menyuruhnya mencari pria lain saja dengan niat mengetes apakah si istri masih mau taat serta menyadari kesalahannya, apakah ini termasuk talak?
ustadz, mohon pembahasan lebih dalam tentang khulu’, bagaimana syarat dan prosedur rujuknya, serta pengembalian maharnya. Jazaakallahu khoiron.