Kiat Shalat Khusyuk #05
Apalagi di antara kiat shalat khusyuk?
Di antaranya yang dibahas kali ini adalah menahan kencing dan buang air besar, tidak meludah di depan, tidak melipat baju/ celana, menahan menguap hingga shalat menghadap sutrah.
Keenam belas: Menahan kencing dan buang air besar
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan akhbatsan (kencing atau buang air besar).” (HR. Muslim, no. 560).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Menahan kencing dan buang air besar (termasuk pula kentut, -pen) mengakibatkan hati seseorang tidak fokus di dalam shalat dan khusyuknya jadi tidak sempurna. Menahan buang hajat seperti itu dihukumi makruh menurut mayoritas ulama Syafi’iyah dan juga ulama lainnya. Jika waktu shalat masih longgar (artinya: masih ada waktu luas untuk buang hajat, -pen), maka dihukumi makruh. Namun bila waktu sempit untuk shalat, misalnya jika makan atau bersuci bisa keluar dari waktu shalat, maka (walau dalam keadaan menahan kencing), tetap shalat di waktunya dan tidak boleh ditunda.”
Imam Nawawi berkata pula, “Jika seseorang shalat dalam keadaan menahan kencing padahal masih ada waktu yang longgar untuk melaksanakan shalat setelah buang hajat, shalat kala itu dihukumi makruh. Namun, shalat tersebut tetaplah sah menurut kami -ulama Syafi’i- dan ini yang jadi pendapat jumhur atau mayoritas ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 5:46)
Ketujuh belas: Tidak meludah di depannya atau sisi kanannya
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat dahak di arah kiblat, sampai nampak wajah beliau tidak suka akan hal ini. Ia pun berdiri dan menghilangkannya dengan tangannya sambil bersabda,
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِى صَلاَتِهِ ، فَإِنَّهُ يُنَاجِى رَبَّهُ – أَوْ إِنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ – فَلاَ يَبْزُقَنَّ أَحَدُكُمْ قِبَلَ قِبْلَتِهِ ، وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ ، أَوْ تَحْتَ قَدَمَيْهِ » . ثُمَّ أَخَذَ طَرَفَ رِدَائِهِ فَبَصَقَ فِيهِ ، ثُمَّ رَدَّ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ ، فَقَالَ « أَوْ يَفْعَلْ هَكَذَا »
“Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalatnya, ia tengah berbisik-bisik dengan Rabbnya, atau sesungguhnya Rabbnya berada di antara dirinya dan kiblat, maka janganlah salah seorang di antara kalian meludah ke arah kiblat, tapi (hendaknya ia meludah) ke sisi kiri atau bawah kakinya.” Kemudian beliau meraih ujung selendang, meludah padanya lalu membalikkannya, lantas beliau bersabda, “Atau ia melakukan seperti ini.” (HR. Bukhari, no. 405 dan Muslim, no. 551).
Kedelapan belas: Tidak menyingkap rambut dan baju dalam shalat
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ ، وَلاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ
“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. Dan kami dilarang mengumpulkan pakaian dan rambut.” (HR. Bukhari, no. 812 dan Muslim, no. 490)
Lantas bagaimana jika kita memakai celana yang isbal (menjulur di bawah mata kaki) dan supaya tidak isbal, maka celana pun dilipat. Apakah seperti itu dibolehkan?
Isbal jelas sudah ada larangannya bagi laki-laki. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ
“Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR. Bukhari no. 5787).
Sedangkan melipat celana saat shalat pun terdapat larangan sebagaimana diterangkan di atas.
Intinya, ada dua larangan saat ini yaitu larangan isbal (menjulurkan celana di bawah mata kaki) dan larangan melipat pakaian saat shalat. Dan sudah pasti hukum isbal adalah lebih dahsyat karena sampai diancam neraka, juga tergolong dosa besar. Adapun melipat celana dalam shalat dihukumi makruh. Dalam keadaan seperti dipilih yang lebih penting yaitu menjauhi isbal dan shalat dalam keadaan melipat celana hingga di atas mata kaki. Demikian keterangan Syaikh ‘Abdurrahman As-Suhaim dan Syaikh Shalih Al-Munajjid dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Al-Jawab.
Dari penjelasan di atas, keadaan celana yang paling baik adalah tidak dilipat dan ujung celana tersebut berada di atas mata kaki atau tidak menutupinya.
Ringkasnya, celana pria tersebut baiknya dipotong (tidak dilipat terus menerus) sehingga berada di atas mata kaki dan tidak punya keinginan untuk isbal di lain waktu. Wallahu a’lam.
Baca Juga: Kiat Shalat Khusyuk #04
Kesembilan belas: Menahan menguap dalam shalat
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ فَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَحَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يُشَمِّتَهُ وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنْ الشَّيْطَانِ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِذَا قَالَ هَا ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ
“Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Karenanya apabila salah seorang dari kalian bersin lalu dia memuji Allah, maka kewajiban atas setiap muslim yang mendengarnya untuk mentasymitnya (mengucapkan yarhamukallah). Adapun menguap, maka dia tidaklah datang kecuali dari setan. Karenanya hendaklah menahan menguap semampunya. Jika dia sampai mengucapkan ‘haaah’, maka setan akan menertawainya.” (HR. Bukhari, no. 6223 dan Muslim, no. 2994)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ
“Bila salah seorang dari kalian menguap maka hendaklah dia menahan mulutnya dengan tangannya karena sesungguhnya setan akan masuk.” (HR. Muslim, no. 2995)
Kedua puluh: Tidak rukuk sebelum masuk shaf
Abu Bakrah pernah mendapati jamaah dalam keadaan rukuk, ia melakukan rukuk dari sebelum masuk dalam shaf. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diceritakan hal tersebut dan beliau berkata,
زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ
“Semoga Allah memberikan terus semangat padamu. Namun seperti itu jangan diulangi.” (HR. Bukhari, no. 783).
Dalam riwayat Abu Daud disebutkan bahwa Abu Bakrah rukuk sebelum masuk shaf, kemudian ia berjalan menuju shaf. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau berkata, “Siapa di antara kalian yang tadi rukuk sebelum masuk shaf lalu ia berjalan menuju shaf?” Abu Bakrah mengatakan, “Saya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah memberikan terus semangat padamu. Namun seperti itu jangan diulangi.” (HR. Abu Daud, no. 684. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Kedua puluh satu: Shalat sunnah dalam keadaan sangat mengantuk
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّى فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِى لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبَّ نَفْسَهُ
“Jika salah seorang di antara kalian dalam keadaan mengantuk dalam shalatnya, hendaklah ia tidur terlebih dahulu hingga hilang ngantuknya. Karena jika salah seorang di antara kalian tetap shalat, sedangkan ia dalam keadaan mengantuk, ia tidak akan tahu, mungkin ia bermaksud meminta ampun tetapi ternyata ia malah mencela dirinya sendiri.” (HR. Bukhari, no. 212 dan Muslim, no. 786).
Kedua puluh dua: Shalat menghadap dan mendekat ke sutrah
Dsari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
“Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap sutroh dan mendekatlah padanya.” (HR. Abu Daud, no. 698. Imam Nawawi mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih sebagaimana dalam Al Khulashoh (1/518). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih sebagaimana dalam Shohihul Jaami’ (651).
Shalat menghadap sutrah tidaklah wajib, hal ini berdasarkan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الاِحْتِلاَمَ ، وَرَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَىْ بَعْضِ الصَّفِّ وَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ ، فَدَخَلْتُ فِى الصَّفِّ ، فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَىَّ
“Aku pernah datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat di Mina tanpa menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada seorang pun yang menyalahkanku.” (HR. Bukhari, no. 76, 493 dan 861).
Referensi Utama:
Al-Khusyu’ fii Ash-Shalah fii Dhau Al-Kitab wa As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1434 H. Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani.
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com