Bulughul Maram – Shalat: Minta Upah dari Azan
Masih melanjutkan pembahasan sistematik dari Bulughul Maram. Kali ini apakah muazin, yang bisa kumandangkan azan bolehkan meminta upah.
Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
Kitab Shalat – Bab Al-Adzan (Tentang Azan)
Hadits #195
وَعَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ – رضي الله عنه – – أَنَّهُ قَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ اِجْعَلْنِي إِمَامَ قَوْمِي . قَالَ : “أَنْتَ إِمَامُهُمْ , وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ , وَاِتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا – أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ , وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ , وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Dari ‘Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah, jadikanlah aku imam untuk kaumku.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau adalah imam untuk mereka, perhatikanlah yang paling lemah, angkatlah seorang muazin yang tidak menuntut upah dari azannya.” (Dikeluarkan oleh yang lima, dihasankan oleh Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Hakim)
Takhrij hadits: Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud pada Kitab Shalat, Bab “Mengambil Upah dari Azan” (no. 531); An-Nasai (2:23); Ahmad (26:210); Al-Hakim (1:199, 201), dari jalur Hamid, dari Sa’id Al-Juriri dari Abul ‘Alaa’ dari Mathraf bin ‘Abdullah dari ‘Utsman bin Abil ‘Ash. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam (2:289) menyimpulkan bahwa hadits ini hasan.
Baca Juga: Bolehkah Wanita Menjadi Imam untuk Pria?
Faedah hadits
- Hadits ini jadi dalil boleh meminta menjadi imam jika punya tujuan baik, yaitu ingin mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin. Adapun meminta jadi imam untuk mencari kekuasaan, meminta jabatan, itulah yang tercela.
- Hendaklah imam memperhatikan keadaan makmum karena ada yang lemah dan umurnya sudah sangat tua.
- Dalam shalat, kaum lemah (dhuafa) butuh untuk diperhatikan. Perhatian seperti ini juga berlaku dalam segala sesuatu misalnya safar dan jihad.
- Hadits ini menunjukkan keutamaan orang yang memperhatikan waktu azan dan ia tidak mengambil upah.
- Hadits ini bukan menunjukkan haram jika ada yang mengambil upah dari azan, tetapi sekadar menunjukkan anjuran agar upah itu tidak diambil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Mengenai upah untuk ibadah dalam hal ini dibedakan antara orang yang butuh upah dan selainnya. Itulah yang lebih tepat. Jika seseorang membutuhkan upah, ia tetap niatkan amalannya itu karena Allah, masih boleh baginya untuk mengambil upah dalam ibadah. Karena nafkah pada keluarga itu wajib dan boleh sesuatu yang wajib dibayarkan dengan upah ini. Sedangkan orang kaya tidaklah butuh pada upah ini karena nantinya ia termasuk orang yang beramal pada selain Allah.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 3:207)
Di antara dalil pendapat Ibnu Taimiyah adalah ayat ketika membicarakan tentang orang yang ingin memakan harta anak yatim disebutkan,
وَمَنْ كَانَ غَنِيّاً فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ
“Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (QS. An-Nisaa’: 6)
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Adapun mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu tanpa upah, itulah sebaik-baik amal dan sangat dicintai oleh Allah, ini sudah diketahui secara pasti dalam agama kita ini. Para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in serta para ulama lainnya yang telah masyhur di tengah umat dengan pengajaran Al-Qur’an, hadits, dan fikih, mereka tidaklah menerima upah sama sekali. Benar-benar tidak ditemukan ketika mengajarkan ilmu, mereka meminta upah.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 3:204)
Baca Juga:
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com