Bentuk Nikah yang Terlarang (3)
Salah satu bentuk nikah yang terlarang yang kita bahas kali ini adalah nikah di masa ‘iddah. Masa ‘iddah adalah masa menunggu bagi wanita karena beberapa sebab yang mengakibatkan ia tidak boleh menikah dulu sampai masa ‘iddah itu selesai. Silakan lihat bahasan berikut.
Keempat: Nikah dalam Masa ‘Iddah
Yang dimaksud ‘iddah adalah masa menunggu bagi wanita dengan tujuan untuk mengetahui kosongnya rahim, atau dilakukan dalam rangka ibadah, atau dalam rangka berkabung atas meninggalnya suami. Seorang wanita tidak boleh dinikahi pada masa ‘iddahnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al Baqarah: 235). Imam Nawawi menyebutkan, “Tidak boleh menikahi wanita yang berada pada masa ‘iddah karena suatu sebab. … Salah satu tujuan masa ‘iddah adalah untuk menjaga nasab. Jika kita membolehkan nikah pada masa tersebut, tentu akan bercampurlah nasab dan tujuan nikah pun jadi sia-sia (karena kacaunya nasab).” (Al Majmu’, 16: 240)
Apa saja masa ‘iddah bagi wanita?
‘Iddah itu ada tiga macam:
- ‘Iddah hitungan quru’
- ‘Iddah hitungan bulan
- ‘Iddah wanita hamil
1. ‘Iddah hitungan quru’
‘Iddah bagi wanita yang masih mengalami haidh (bukan monopause) dan diceraikan suaminya adalah dengan hitungan quru’.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (QS. Al Baqarah: 228).
Apa yang dimaksud tiga quru’?
Mengenai makna quru’, di sini ada khilaf di antara para ulama. Ada yang menganggap quru’ adalah suci, berarti setelah tiga kali suci, barulah si wanita yang diceraikan boleh menikah lagi. Ada pula ulama yang menganggap quru’ adalah haidh.
Contoh: Wanita ditalak tanggal 1 Ramadhan (01/09). Kapan masa ‘iddahnya jika memakai tiga kali haidh atau tiga kali suci? Coba perhatikan tabel berikut ini.
01/09 |
05/09 – 11/09 |
11/09 – 05/10 |
05/10 – 11/10 |
11/10 – 05/11 |
05/11 – 11/11 |
11/11 |
|||||
Talak ketika Suci |
Haidh |
Suci |
Haidh |
Suci |
Haidh |
Suci |
|||||
- Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali suci: masa ‘iddah dimulai dihitung ketika masa suci saat dijatuhkan talak dan berakhir pada tanggal 5/11 (5 Dzulqo’dah) saat muncul darah haidh ketiga. Di sini masa ‘iddah akan melewati dua kali haidh.
- Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali haidh: masa ‘iddah dimulai dihitung dari haidh tanggal 5/9 (5 Ramadhan) dan berakhir pada tanggal 11/11 (11 Dzulqo’dah) setelah haidh ketiga selesai secara sempurna. Di sini masa ‘iddah akan melewati tiga kali haidh secara sempurna.
Jika kita perhatikan, hitungan dengan tiga kali haidh ternyata lebih lama dari tiga kali suci.
Manakah di antara dua pendapat di atas yang lebih kuat? Tiga kali suci ataukah tiga kali haidh?
Pendapat yang lebih kuat setelah penelusuran dari dalil-dalil yang ada, yaitu makna tiga quru’ adalah tiga kali haidh. Pengertian quru’ dengan haidh telah disebutkan oleh lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Beliau berkata kepada wanita yang mengalami istihadhoh,
إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ فَانْظُرِى إِذَا أَتَى قُرْؤُكِ فَلاَ تُصَلِّى فَإِذَا مَرَّ قُرْؤُكِ فَتَطَهَّرِى ثُمَّ صَلِّى مَا بَيْنَ الْقُرْءِ إِلَى الْقُرْءِ
“Sesungguhnya darah (istihadhoh) adalah urat (yang luka). Lihatlah, jika datang quru’, janganlah shalat. Jika telah berlalu quru’, bersucilah kemudian shalatlah di antara masa quru’ dan quru’.” (HR. Abu Daud no. 280, An Nasai no. 211, Ibnu Majah no. 620, dan Ahmad 6: 420. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud dalam hadits ini, makna quru’ adalah haidh. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan ulama salaf seperti empat khulafaur rosyidin, Ibnu Mas’ud, sekelompok sahabat dan tabi’in, para ulama hadits, ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Imam Ahmad berkata, “Dahulu aku berpendapat bahwa quru’ bermakna suci. Saat ini aku berpendapat bahwa quru’ adalah haidh.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 29: 308)
Kami tidak membawakan perselisihan ini lebih panjang. Itulah kesimpulan kami dari dalil-dalil yang kami pahami. Yang berpendapat seperti ini pula adalah guru kami –Syaikh Sholeh Al Fauzan- (Al Mulakhos Al Fiqhiyyah, 2: 426) dan penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 319-322).
Catatan:
- Hitungan ‘iddah menggunakan kalender Hijriyah, bukan kalender Masehi.
- Talak yang syar’i jika dilakukan ketika: (1) suci dan (2) belum disetubuhi.
2. ‘Iddah hitungan bulan
‘Iddah dengan hitungan bulan ada pada dua keadaan:
(1) masa ‘iddah dengan hitungan 3 bulan (hijriyah) yaitu bagi wanita yang ditalak sebagai ganti hitungan haidh, boleh jadi pada wanita monopause (yang sudah tidak mendapati haidh lagi) karena sudah beruzur, atau tidak mendapati haidh karena masih kecil, atau sudah mencapai usia haidh, namun belum juga mendapati haidh. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. Ath Tholaq: 4).
(2) masa ‘iddah selama 4 bulan 10 hari (kalender hijriyah), yaitu bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, baik sebelum disetubuhi ataukah sesudahnya, baik wanita yang dinikahi sudah haidh ataukah belum pernah haidh, namun dengan syarat wanita yang ditinggal mati bukanlah wanita hamil. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491)
3. ‘Iddah wanita hamil
Masa ‘iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan baik ‘iddahnya karena talak atau karena persetubuhan syubhat (seperti karena dihamili karena zina). Karena tujuan dari masa ‘iddah adalah untuk membuktikan kosongnya rahim, yaitu ditunggu sampai waktu lahir. Allah Ta’ala berfirman,
أُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).
Para ulama berselisih pendapat, bagaimana jika wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil?
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa masa ‘iddahnya berakhir ketika ia melahirkan, baik masa tersebut lama atau hanya sebentar. Seandainya ia melahirkan 1 jam setelah meninggalnya suaminya, masa ‘iddahnya berakhir dan ia halal untuk menikah.
Demikian pembahasan bentuk nikah lainnya yang terlarang. Masih ada beberapa lagi bahasan tersebut. Moga Allah memudahkan membahasnya kembali pada edisi mendatang.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 4 Muharram 1433 H
Assalamu’alaikum Pak Ustadz..
Saya mau bertanya pak ustadz….
saya mau menikah di bulan maulid,apakah boleh menikah di bulan tersebut pa ustad ???
mhon srannya pak ustad
Waalaikumussalam. Boleh.
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Rumaysho.com via My Ipad
Assalamu’alaikum Pak Ustadz..
Saya mau bertanya pak ustadz….
saya punya ingin menikah dengan janda. dia sdh pisah dengan suami siri nya klu dihitung sdh masuk 3 bln, tapi surat cerai suaminya baru dibuat pada tgl 30 nov 2012. rencananya saya akan menikah dengan dia tgl 31 des 2012 ini. yg saya ingin tanyakan, masa iddah itu dihitung dari surat pernyataannya cerainya ditulis apa semenjak si suaminya sdh meninggalkannya selama 3 bln. dan apabila saya tetap menikah pada tgl 31 des 2012 ini apa saya berdosa. mohon petunjuknya pak ustadz. terima kasih
و عليكم السلام
Mass iddah dihitung dari kata cerai diucap bukan dr surat pengadilan.
Sent from my iPad 3
suratnya bkn dari pengadilan, surat itu dibuat langsung oleh suaminya diatas materai dengan isinya bahwa dia telah menceraikan istrinya. karena pada saat mereka menikah, itu mereka nikah siri, dan tdk ada selembar pun surat nikahnya. apabila saya tetap menikah pada tgl 31 des 2012 ini, apa pernikahan saya haram atau tdk syah.
Berarti dihitung masa iddah nya dr surat tsb ditulis suami pd istri.
Sent from my iPad 3
Assalammu’alaykum
ustadz, ana mau tanya, gmn kalau suami tidak adil antara istri dan ibu angkat?
dikarenakan tidak ada kecocokan lagi antara istri dan ibu angkat.
ibu angkat terlalu menghina istri dan tidak ada pembelaan suami.
hati istri merasa sakit sekali ustadz. sehingga masalah srg timbul dikarenakan ibu angkat tsb.
istri juga takut lama kelamaan jadi durhaka thd suami.
apakah istri meminta cerai itu dosa? krn mmg sudah tidak tahan thd suami yg tdk adil.
apakah harus menunggu masa iddah maka cerainya sah?
syukron..
Maaf, kalimat
>> masa ‘iddah dimulai dihitung dari haidh tanggal 5/9 (5 Ramadhan)
di bagian>> ‘Iddah hitungan quru’kok terasa janggal ya? Masa ‘iddah bukannya mulai dihitung semenjak jatuh talak? Mungkin kalimat di atas yang dimaksud adl perhitungan haidh pertama dimulai tgl 5/9 dan bukan masa ‘iddah dimulai tanggal tsb. Baarakallaahu fiyk.
Maaf, silakan disimak ulang. Kita sedang membahas jika masa ‘iddah dihitung dengan haidh dan suci. Masa ‘iddah jika yang dipakai adalah hitungan haidh, maka dimulai dari masa haidh pertama hitungannya. Coba disimak kembali konteks ceritanya.
Assalamu’alaikum…Mohon maaf ustadz, ada beberapa hal yang
ingin saya tanyakan di luar pembahasan artikel di atas, tapi saya pandang sangat penting :
1. Mohon dijelaskan tentang siapa2 saja yang merupakan mahram dan yang bukan
mahram dari seorang ayah tiri…karena saya melihat pembahasan ini jarang
ditemui…karena berkaitan dengan masalah jabat tangan, hijab bagi wanita, dll
dalam keluarga yang di dalamnya ada ayah tiri, anak yang dibawa oleh ayah tiri,
orang tua (ibu-bapak) ayah tiri maupun saudara kandungnya, dll….
2. Jika seorang laki2 memiliki ayah tiri, apakah istri dari
laki2 tersebut menjadi mahram bagi ayah tirinya laki2 tersebut (berarti mertua
tirinya)?
2. Juga, apakah ibu dari mertua kita itu termasuk mahram?
3. Apakah saudara perempuan dari nenek/kakek kita termasuk mahram?
Mohon dijelaskan pula dalil-dalilnya…
Jazakallahu khairan…
Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh
1. Yang jadi mahrom (dipandang dr kita sebagai anak tiri perempuan) adl saudara tiri, paman tiri, ayah dari ayah tiri ke atas,
2. Ayah tersebut sudah menjadi ayah laki2 tadi krn menikah dengan ibunya, maka istri dari anak tirinya (menantu) juga dianggap sebagai mahrom.
3. Ibu dari mertua (jalur ke atas) juga termasuk mahrom.
4. Saudara perempuan dari nenek/ kakek kita juga mahrom sebagaimana paman dari ayah/ ibu kita adl mahrom.
Lihat pembahasan di sini:
https://rumaysho.com/belajar-islam/muslimah/3039-siapakah-mahrom-anda.html