Shalat

Manhajus Salikin: Menjamak Shalat Karena Sakit, Hujan, dan Kesulitan

 

Ada lagi sebab menjamak shalat karena sakit, hujan, dan kesulitan. Bagaimana penjelasannya dalam Manhajus Salikin?

Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam Manhajus Salikin,

وَلَا يُحِلُّ تَأْخِيرُهَا، أَوْ تَأْخِيرُ بَعْضِهَا عَنْ وَقْتِهَا لِعُذْرٍ أَوْ غَيْرِهِ.

إِلَّا إِذَا أَخَّرَهَا لِيَجْمَعَهَا مَعَ غَيْرِهَا، فَإِنَّهُ يَجُوزُ لِعُذْرٍ مِنْ سَفَرٍ، أَوْ مَطَرٍ ، أَوْ مَرَضٍ، أَوْ نَحْوِهَا.

“Tidak dihalalkan menunda shalat atau menunda sebagian shalat hingga keluar waktunya karena uzur atau tanpa uzur. Kecuali jika menundanya karena tujuan untuk menjamak dengan shalat lainnya. Boleh menjamak ketika ada uzur seperti safar, hujan, sakit, atau selainnya.”

 

Menjamak Shalat Karena Hujan

 

Dari Ibnu ’Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”

Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjamak shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.”

Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata pada Ibnu ’Abbas, “Apa yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjamak shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim, no. 705)

Syaikh Al-Albani mengatakan, ”Perkataan Ibnu ’Abbas ”bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan”, ini pertanda bahwa menjamak shalat ketika hujan sudah dikenal di masa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Seandainya bukan demikian, lantas apa faedahnya udzur hujan ditiadakan dalam perkataan beliau tersebut sebagaimana udzur-udzur menjamak shalat lainnya. Renungkanlah!” (Lihat Irwa’ Al-Ghalil, 3:40)

Imam Malik dalam Al-Muwatha’ mengatakan dari Nafi’,

أَنَّ اِبْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا جَمَعَ الأُمَرَاءُ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاء ِفِي المَطَرِ جَمَعَ مَعَهُمْ

“Apabila para amir (imam shalat) menjamak shalat Maghrib dan Isya’ ketika hujan, Ibnu ’Umar ikut menjamak shalat bersama mereka.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’, 1:145. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Irwa’ Al-Ghalil, no. 583). Ini berarti Ibnu ’Umar menyetujui perbuatan menjamak shalat ketika hujan.

 

Menjamak Shalat Karena Sakit

 

Dalilnya adalah firman Allah,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Hadits-hadits seluruhnya menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat dengan tujuan menghilangkan kesempitan dari umatnya. Oleh karena itu, dibolehkan untuk menjamak shalat dalam kondisi yang jika tidak jamak maka seorang itu akan berada dalam posisi sulit padahal kesulitan adalah suatu yang telah Allah hilangkan dari umat ini. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jamak karena sakit yang si sakit akan merasa kesulitan jika harus shalat pada waktunya masing-masing adalah suatu hal yang lebih layak lagi.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 24:84)

 

Menjamak Shalat Karena Kesulitan

 

Dari Ibnu ’Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”

Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata pada Ibnu ’Abbas, “Apa yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjamak shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim, no. 705)

Semoga bermanfaat. Allohumma inna nas-aluka ‘ilman naafi’aa.

 

Referensi:

  1. Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  2. Irwa’ Al-Ghalil fii Takhrij Ahadits Manar As-Sabil. Cetakan kedua, Tahun 1405 H. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Penerbit Al Maktab Al-Islamiy.
  3. Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan Keempat Tahun 1432 H. Ahmad bin ‘Abdul Halim Al-Harrani (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah). Penerbit Dar Ibnu Hazm-Darul Wafa’;
  4. Syarh Manhaj AsSalikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.

Diselesaikan di Pesantren Darush Sholihin, Kamis, 24 Muharram 1440 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button