Aqidah

Syarhus Sunnah: Kaidah Nama dan Sifat Allah #02

 

Mau tahu bagaimana kaidah dalam memahami nama dan sifat Allah, sekarang lanjutan bahasannya dari bahasan Syarhus Sunnah karya Imam Al-Muzani.

 

Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,

الوَاحِدُ الصَّمَدُلَيْسَ لَهُ صَاحِبَةٌ وَلاَ وَلَدٌ جَلَّ عَنِ المَثِيْلِ فَلاَ شَبِيْهَ لَهُ وَلاَ عَدِيْلَ السَّمِيْعُ البَصِيْرُ العَلِيْمُ الخَبِيْرُ المَنِيْعُ الرَّفِيْعُ

1- Allah itu Maha Esa, Allah itu Ash-Shamad (yang bergantung setiap makhluk kepada-Nya), yang tidak memiliki pasangan, yang tidak memiliki keturunan, yang Mahamulia dan tidak semisal dengan makhluk-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang setara dengan Allah. Allah itu Maha Mendengar, Maha Melihat. Allah itu Maha Mengilmui dan Mengetahui. Allah itu yang mencegah dan Mahatinggi.

 

Kaidah Nama dan Sifat Allah

Pertama: Nama Allah itu tauqifiyah (mesti dengan dalil)

Kedua: Rukun iman dengan nama Allah yang husna

Ketiga: Bentuk penyimpangan dalam nama dan sifat Allah

 

  1. Menamakan berhala dengan nama-nama Allah.
  2. Menyebut Allah dengan panggilan “Bapak” seperti kelakuan orang Nashrani.
  3. Menyifatkan Allah dengan sifat-sifat yang menunjukkan kekurangan.
  4. Menolak nama dan sifat Allah.
  5. Menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk.

 

Keempat:  Seluruh nama Allah pasti husna

 

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَاۖوَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِۚسَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180).

Asmaa’ adalah bentuk jamak dari kata ‘ism’ yang berarti nama dari dzat yang memiliki nama dan sifat. Nama-nama Allah adalah nama-nama yang paling mulia, yang Allah menamai Diri-Nya dengan nama-nama tersebut atau nama yang ditetapkan oleh Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Husnaadalah bentuk mu’annats (lafaz berjenis wanita) dari kata ‘ahsan’ (paling bagus) bukan bentuk mu’annatsdari kata ‘hasan’. Sepadan dengan ‘kubro’ (bentuk mu’annats dari ‘akbar’) dan ‘mutsla’ (bentuk mu’annats dari ‘amtsal’). Nama-nama Allah adalah husnaartinya mencapai puncak kesempurnaan dan keindahan. Hal itu dikarenakan Nama-Nama Allah mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak terdapat sedikit pun kekurangan padanya dari sisi manapun, baik dari sisi ihtimal (kemungkinan asal makna lafaz) atau dari sisi taqdir (penetapan makna pelengkap yang muncul dari hasil terkaan dalam pikiran pendengar).

Semua nama Allah menunjukkan sanjungan dan pujian bukan sekedar label/merek. Akan tetapi, nama Allah berlaku sebagai nama yang sekaligus mengandung sifat. Allah yang Mahasuci lagi Mahatinggi telah memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya mereka berdo’a kepada-Nya dengan perantara menyebut Nama-Nama-Nya.

Di antara keindahan yang ditunjukkan oleh nama Allah adalah setiap nama dari nama-nama-Nya mengandung sifat yang mencakup seluruh maknanya yang muncul dari nama tersebut. Contohnya adalah Nama Allah Al-‘Aliim (yang Maha Mengetahui) sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta’ala,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُۚإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui/’aliim lagi Maha Bijaksana/hakiim.” (QS. Al Insaan: 30). Maka dari ayat ini diketahui bahwa Al-‘Aliimmerupakan salah satu nama Allah Ta’ala, yang mengandung makna ilmu yang sempurna; ilmu yang meliputi segala sesuatu secara global dan terperinci, ilmu yang tidak diawali dengan kebodohan, ilmu yang tidak ditimpa kelupaan. Sehingga tidak ada makhluk sekecil apapun di bumi maupun di langit yang tidak diketahui-Nya.

 

Lafaz itu ada empat macam:

  1. Lafaz yang kandungannya sempurna semata dalam Dzatnya. Inilah yang ada dalam nama Allah.
  2. Lafaz yang kandungannya sempurna namun punya sisi lain makna yang tidak sempurna. Lafaz seperti ini hanya boleh mengabarkan tentang Allah, tidak boleh menjadi nama.
  3. Lafaz yang kandungannya mengandung kekurangan dan kesempurnaan. Misalnya, Allah itu membuat makar. Maka tidak bisa dijadikan nama Allah, Al-Maakir. Maka tidak boleh dimutlakkan lafaz ini untuk Allah. Bisa dijadikan khabar untuk Allah namun dengan dikaitkan dengan kata lainnya, yaitu Allah membuat makar yang terpuji.
  4. Lafaz yang mengandung kekurangan saja, maka tidak disandarkan pada Allah, tidak sebagai nama, sifat, maupun khabar (pemberitaan). Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Mutsla, hlm. 30-32.

 

Kelima: Nama Allah tidak dibatasi oleh jumlah bilangan tertentu.

 

Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya dan dibawakan juga oleh imam ahli hadits selain beliau dari jalur Ibnu Mas’ud. Di dalam hadits tersebut Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa ketika dirundung duka dan kesedihan,

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، اِبْنُ عَبْدِكَ، اِبْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ.

ALLOOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATII BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHOO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FII ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’AANA ROBII’A QOLBII, WA NUURO SHODRII, WA JALAA-A HUZNII, WA DZAHAABA HAMMII.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu (Adam) dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubunku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku pasti adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu. Mohon jadikan Al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, cahaya di dadaku, pelenyap duka, dan penghilang kesedihanku. (HR. Ahmad, 1:391 dan 1:452, dari ‘Abdullah)

Adapun nama yang disembunyikan dalam ilmu gaib oleh Allah maka tidak ada seorang pun yang bisa mengetahuinya. Begitu pula nama yang diajarkan-Nya kepada sebagian golongan di antara makhluk-Nya, bisa jadi golongan yang lain tidak mengetahuinya.

Adapun hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ للهِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اسْمًا ، مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا ، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الجَنَّةَ

Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama–seratus kurang satu–yang apabila seseorang menghitungnya niscaya dia masuk Surga.” (HR. Bukhari, no. 7392 dan Muslim, no. 2677)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini bukanlah dalil pembatasan jumlah Nama Allah Ta’alasebagaimana disepakati oleh para ulama. Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Allah tidak memiliki nama selain nama yang jumlahnya sembilan puluh sembilan. Sesungguhnya maksud dari hadits adalah barangsiapa menjaga sembilan puluh sembilan nama tadi, niscaya dia akan masuk surga. Bukan maksud pengabaran hanyalah untuk orang yang menghitungnya semata. Karena nama Allah tidak dibatasi sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu.’ Al-Hafizh Abu Bakar Al-‘Arabi Al-Maliki, dari sebagian ulama Malikiyah menyatakan bahwa nama Allah itu ada seribu nama. Ibnul ‘Arabi katakan, itu tetap masih sedikit. Wallahu a’lam. Adapun penentuan sembilan puluh sembilan nama tersebut terdapat dalam Jami’ At-Tirmidzi. Namun penentuan sebagian nama di dalamnya terdapat beda pendapat di antara para ulama.

Adapun pengertian, siapa yang menghitungnya sebagaimana dalam hadits adalah siapa yang menghafalnya. Ulama lainnya mengatakan maksudnya adalah siapa yang memperhatikan nama tersebut, siapa yang menjalankan konsekuensinya, siapa yang membenarkan maknanya, hingga siapa yang mengamalkannya. Lihat Syarh Shahih Muslim, 17:6.

Insya Allah akan berlanjut lagi pada kaidah nama dan sifat Allah lainnya. Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

  1. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
  2. Syarh Asma’ Allah Al-Husna fi Dhaui Al-Kitab wa As-Sunnah. Cetakan ke-12, Tahun 1431 H. Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani.
  3. Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
  4. Syarh Al-Qawa’id Al-Mutsla.Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Ta’liq: Abu Ya’qub Nasy-at bin Kamal Al-Mashri. Penerbit Maktabah Al-Muslim.

Diselesaikan di Darush Sholihin, 16 Dzulhijjah 1439 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button