Thoharoh

Manhajus Salikin: Mandi Wajib Karena Haidh, Nifas, Kematian, dan Masuk Islam

 

Ada lagi sebab mandi wajib lainnya yaitu karena haidh dan nifas, mandi untuk jenazah, dan masuk Islam. Kita lanjutkan bahasan Manhajus Salikin karya Syaikh As-Sa’di.

 

Kitab Ath-Thaharah (Bersuci), Bab Hal-Hal yang Menyebabkan Mandi Wajib dan Caranya

 

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata:

“Yang menyebabkan mandi wajib adalah:

  • Keluarnya darah haidh dan nifas.
  • Kematian selain karena syahid.
  • Islamnya orang kafir.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

Dan jika kamu junub maka mandilah.’ (QS. Al-Maidah: 6)

Juga dalam ayat disebutkan,

وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.’ (QS.Al-Baqarah: 222). Yang dimaksudkan “apabila mereka telah suci” adalah apabila telah mandi.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk memandikan jenazah.

Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk mandi bagi yang masuk Islam.”

 

Mandi Karena Haidh dan Nifas

Wajib bagi wanita yang mengalami haidh dan nifas untuk mandi jika telah suci. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Dalil pendukung lainnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,

فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى

Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Bukhari, no. 320 dan Muslim, no. 333).

Juga hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Ummu Habibah binti Jahsy pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai darah. ‘Aisyah menyatakan bahwa ia melihat pada wadahnya yang digunakan untuk mencuci pakaian penuh dengan darah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan kepadanya,

امْكُثِى قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِى وَصَلِّى

Diamlah selama masa kebiasaan haidhmu, kemudian mandi lalu shalatlah.” (HR. Muslim, no. 334)

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menyatakan bahwa para ulama sepakat, diharamkan bagi suami menyetubuhi istrinya setelah darah haidh wanita tersebut berhenti sampai ia bersuci. Para ulama berselisih pendapat mengenai makna bersuci di sini. Ada yang menganggap yang dimaksud adalah mandi dengan air. Sehingga maknanya, barulah halal menyetubuhi jika istri sudah mandi dengan menyiramkan air pada seluruh badan. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah wudhu untuk shalat. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah mencuci kemaluan. Artinya, jika sudah mencuci kemaluan, boleh disetubuhi. (Tafsir Ath-Thabari, 2:510-511)

Dalam Ensiklopedia Fikih disebutkan bahwa mayoritas fuqaha–Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah–berpendapat tidak halal bersetubuh dengan wanita haidh sampai wanita haidh itu suci–darahnya berhenti–, lalu ia mandi. Tidak boleh menyetubuhinya sebelum ia mandi. Para ulama tersebut berpandangan bahwa Allah memberikan dua syarat untuk menyetubuhi wanita haidh setelah ia suci yaitu darah haidhnya berhenti lalu ia mandi. … Ulama Malikiyyah berpandangan bahwa tidak cukup dengan tayamum karena uzur setelah darah tersebut berhenti untuk halal lagi disetubuhi. Namun dipersyaratkan harus mandi lebih dahulu barulah halal disetubuhi. (Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 18:325)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Hadats haidh yang terdapat pada wanita haidh menyebabkan ia tidak boleh disetubuhi. Hadats haidh tersebut barulah hilang jika mandi (setelah darah berhenti). Hal ini berbeda dengan hadats pada orang yang junub. Orang yang junub tidaklah dilarang bersetubuh. Larangan tersebut sama sekali tidak ada pada orang yang junub.” (Badai’ Al-Fawaidh, dinukil dari Al-Furuq Al-Fiqhiyyah, 1: 425).

Karenanya, bagi suami jika ingin berhubungan intim dengan istri yang baru suci haidh, diperintahkan pada istri untuk mandi lebih dahulu barulah boleh berhubungan intim atau bersetubuh dengan suami.

 

Mandi Karena Kematian

Kematian itu menyebabkan wajib mandi.

Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata,

دَخَلَ عَلَيْنَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ نَغْسِلُ ابْنَتَهُ فَقَالَ « اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِى الآخِرَةِ كَافُورًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami dan ketika itu kami sedang memandikan puteri beliau, lalu beliau perintahkan, ‘Mandikanlah tiga atau lima atau lebih daripada itu. Jika memang perlu dengan bidara dan di akhirnya diberi kapur barus.” (HR. Bukhari, no. 1196 dan Muslim, no. 939). Menurut jumhur ulama, yang dimaksud puterinya di sini adalah Zainab. Zainab ini yang menikah dengan Abu Al-‘Ash.

Adapun yang mati syahid tidaklah wajib dimandikan karena berdasarkan hadits Jabir, ia menyatakan,

وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِى دِمَائِهِمْ ، وَلَمْ يُغَسَّلُوا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menguburkan mereka (yang meninggal dunia pada perang Uhud) dengan darah-darah mereka dan tidak dimandikan, tidak pula dishalatkan.” (HR. Bukhari, no. 1343)

 

Mandi Karena Masuk Islam

Begitu pula jika orang kafir masuk Islam, maka ia diperintahkan untuk mandi. Hal ini berdasarkan hadits Qais bin ‘Ashim, ia berkata,

أَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أُرِيدُ الإِسْلاَمَ فَأَمَرَنِى أَنْ أَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ.

“Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku ingin masuk Islam. Lantas beliau memerintahkan aku mandi dengan air dan bidara.” (HR. Abu Daud, no. 355; Tirmidzi, no. 605; dan An-Nasa’i, no. 188. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hukum asal perintah menunjukkan wajibnya.

Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

  1. Al-Furuq Al-Fiqhiyyah ‘inda Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Dr. Sayyid Habib Al-Afghaniy. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd.
  2. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
  3. Shahih Fiqh As-Sunnah. Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Al-Maktabah At-Taufiqiyah.
  4. Syarh Manhaj AsSalikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
  5. Tafsir Ath-Thabari (Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’an). Cetakan pertama, Tahun 1423 H. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Disusun di Perpus Rumaysho, 6 Jumadats Tsaniyyah 1439 H (22 Februari 2018), Kamis pagi

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Satu Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button