Teladan

Faedah Sirah Nabi: Istri Nabi, Juwairiyyah binti Al-Harits

 

Sekarang kita melihat istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Juwairiyah binti Al-Harits.

 

Juwairiyyah binti Al-Harits

Namanya adalah Juwairiyyah binti Al-Harits bin Abi Dhirar bin ‘Aidz bin Malik bin Khuzaimah, berasal dari Bani Mushthaliq. Nama aslinya adalah Barrah. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya nama Juwairiyyah. Suaminya dahulu bernama Musafi’ bin Shafwan Al-Musthaliqi yang mati dalam keadaan kafir saat perang Muraisi’. Ada juga yang menyatakan bahwa suaminya yang dulu adalah Shafwan bin Malik bin Khuzaimah, yang merupakan anak dari pamannya.

Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa Juwairiyyah meninggal dunia pada Rabi’ul Awwal tahun 56 H di masa Khalifah Mu’awiyah.

 

Menjadi Tawanan Saat Perang Muraisi’

Suatu saat pemimpin Bani Musthaliq, ayah dari Barrah (Juwairiyyah) berencana untuk menyerang kaum Muslimin di Madinah. Bani Musthaliq berniat untuk mengalahkan pasukan tentara Islam dan mengambil alih kekuasaan di antara suku-suku Arab. Rencana itu pun sampai ke telinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pertempuran tentara Islam melawan kaum kafir dari Bani Musthaliq itu dikenal sebagai perang Perang Muraisi’, terjadi di suatu tempat yang terdapat air bernama Muraisi’ dan terjadi pada bulan Sya’ban tahun keenam Hijriyah. Dalam pertempuran itu, umat Islam meraih kemenangan. Pemimpin bani Musthaliq, Al-Harits melarikan diri dari medan peperangan dan suami Barrah tewas terbunuh.

Seluruh penduduk yang selamat, termasuk Barrah menjadi tawanan. Sebagai seorang terpelajar, mengetahui dirinya menjadi tawanan, Barrah mengajukan tawaran untuk membebaskan diri. Ia lalu mencoba bernegosiasi dan meminta bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika ia ingin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Aisyah sudah penuh khawatir karena melihat manis dan cantiknya Juwairiyah, tiada seorang pun yang melihatnya melainkan akan jatuh hati kepadanya. Tatkala Juwairiyyah meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membebaskan dirinya, Aisyah merasa cemburu.

Tetap Juwairiyyah bisa bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika ia bertemu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun memperkenalkan diri bahwa ia adalah puteri Al-Harits bin Abi Dhirar yang menjadi pemuka di kaumnya.

Tentang Juwairiyah, Aisyah mengemukakan cerita sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menawan wanita-wanita Bani Musthaliq, kemudian beliau menyisihkan seperlima dari mereka dan membagikannya kepada kaum muslimin. Bagi penunggang kuda mendapat dua bagian, dan lelaki yang lain mendapat satu bagian. Juwairiyah jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Samas Al-Anshari.”

 

Keutamaan Juwairiyyah binti Al-Harits

1- Pernikahan Juwairiyyah dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dibebaskannya ia dari tawanan menyebabkan kaum Bani Musthaliq masuk Islam, bahkan seluruh tawanan Bani Musthaliq dibebaskan. Inilah keberkahan yang ada dari pernikahan Juwairiyyah dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Saat Juwairiyah jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Samas Al-Anshari. Beliau menulis untuk Tsabit bin Qais (bahwa beliau hendak menebus dirinya), kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mau menolong untuk menebus dirinya. Maka menjadi ibalah hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kondisi seorang wanita yang mulanya adalah seorang sayyidah merdeka (pemuka di kaumnya) yang mana dia memohon beliau untuk mengentaskan ujian yang menimpa dirinya. Maka beliau bertanya kepada Juwairiyyah, “Maukah engkau mendapatkan hal yang lebih baik dari itu?” Maka dia menjawab dengan sopan, “Apakah itu, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Aku tebus dirimu kemudian aku nikahi dirimu!” Maka tersiratlah pada wajahnya yang cantik suatu kebahagiaan sedangkan dia hampir-hampir tidak perduli dengan kemerdekaan dia karena remehnya. Beliau menjawab, “Mau Ya Rasulullah”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Aku telah melakukannya.”

Tersebarlah berita kepada manusia bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menikahi Juwairiyyah binti Al-Harits bin Abi Dhirar. Maka orang-orang berkata, “Kerabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Lantas mereka melepaskan tawanan perang yang mereka bawa.” Maka sungguh dengan pernikahan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Juwairiyyah menjadi sebab dibebaskannya seratus keluarga dari Bani Mushthaliq. Maka aku tidak pernah mengetahui seorang wanita yang lebih berkah bagi kaumnya daripada Juwairiyyah. (HR. Ibnu Ishaq dalam As-Siyar wa Al-Maghazi, 263; Abu Daud, no. 3931; Ahmad, 6:277. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani.)

 

2- Juwairiyyah dikenal rajin ibadah dan rajin berdzikir. Sehabis Shubuh ia punya kebiasaan berdiam di masjidnya, menyibukkan diri dengan dzikir hingga matahari meninggi (hingga siang).

Dari Juwairiyyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dari sisinya pada pagi hari setelah shalat Shubuh, sedangkan Juwairiyyah berada di tempat shalatnya. Setelah itu, beliau pulang setelah tiba waktu Dhuha sedangkan Juwairiyyah masih dalam keadaan duduk. Lalu beliau bertanya, “Apakah engkau tetap dalam keadaan ketika aku tinggalkan?” Ia menjawab, “Ya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, aku telah mengucapkan setelahmu empat kalimat sebanyak tiga kali, yang jika ditimbang dengan yang engkau ucapkan sejak tadi tentu akan menyamai timbangannya yaitu,

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ: عَدَدَ خَلْقِهِ، وَرِضَا نَفْسِهِ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ

“SUBHAANALLOHI WA BI-HAMDIH, ‘ADADA KHOLQIH, WA RIDHOO NAFSIH, WA ZINATA ‘ARSYIH, WA MIDAADA KALIMAATIH. (Artinya: Mahasuci Allah. Aku memuji-Nya sebanyak makhluk-Nya, sejauh kerelaan-Nya, seberat timbangan ‘Arsy-Nya, dan sebanyak tinta tulisan kalimat-Nya).” (HR. Muslim, no. 2726)

Ia pun dikenal semangat berpuasa, sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menegurnya ketika mengetahui Juwairiyyah berpuasa pada hari Jumat.

Dari Juwairiyah binti Al Harits radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَهِيَ صَائِمَةٌ فَقَالَ أَصُمْتِ أَمْسِ قَالَتْ لا قَالَ تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِي غَدًا قَالَتْ لا قَالَ فَأَفْطِرِي وَقَالَ حَمَّادُ بْنُ الْجَعْدِ سَمِعَ قَتَادَةَ حَدَّثَنِي أَبُو أَيُّوبَ أَنَّ جُوَيْرِيَةَ حَدَّثَتْهُ فَأَمَرَهَا فَأَفْطَرَتْ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuinya pada hari Jumat dan ia dalam keadaan berpuasa, lalu beliau bersabda, “Apakah engkau berpuasa kemarin?” “Tidak”, jawabnya. “Apakah engkau ingin berpuasa besok?”, tanya beliau lagi. “Tidak”, jawabnya lagi. “Batalkanlah puasamu”, kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hammad bin Al-Ja’d, ia mendengar Qotadah, Abu Ayyub mengatakan padanya bahwa Juwairiyah berkata bahwa ia membatalkan puasanya ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan. (HR. Bukhari, no. 1986)

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Dimakruhkan menyendirikan puasa pada hari Jumat saja kecuali jika bertepatan dengan kebiasaan berpuasa seperti berpuasa Daud, yaitu sehari berpuasa sehari tidak, lalu bertepatan dengan hari Jumat atau bertepatan dengan kebiasaan puasa di awal, akhir atau pertengahan bulan.” Lihat Al-Mughni, 3:53.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarh Al-Mumthi’ (6:465), “Dikecualikan dari larangan ini adalah jika berpuasa sebelum atau sesudah Jumat, atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa pada ayyamul bidh, atau bertepatan dengan puasa Arafah, atau karena puasa nadzar.”

 

3- Kehidupannya begitu sederhana sebagaimana istri-isti Nabi lainnya. Di antara buktinya,

أَنَّ عُبَيْدَ بْنَ السَّبَّاقِ قَالَ إِنَّ جُوَيْرِيَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- دَخَلَ عَلَيْهَا فَقَالَ « هَلْ مِنْ طَعَامٍ ». قَالَتْ لاَ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا طَعَامٌ إِلاَّ عَظْمٌ مِنْ شَاةٍ أُعْطِيَتْهُ مَوْلاَتِى مِنَ الصَّدَقَةِ. فَقَالَ « قَرِّبِيهِ فَقَدْ بَلَغَتْ مَحِلَّهَا »

‘Ubaid bin As-Sabbaq menyatakan bahwa Juwairiyyah—istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—pernah mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuinya lalu menanyakan, “Apakah ada makanan di rumah?” Ia menyatakan, “Tidak ada wahai Rasulullah, kami tidak memiliki makanan selain tulang kambing yang didapati dari bekas budakku dan itu dari harta sedekah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Bawa sini karena sedekah itu tidak masalah lagi bagiku (artinya: sudah berubah hukumnya karena sudah dimiliki oleh yang menerima sedekah, maka bebas ia berikan kepada lainnya, pen.).” (HR. Muslim, no. 1806)

Semoga menjadi pelajaran berharga.

 

Referensi:

Ummahat Al-Mukminin. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Dr. Muhammad bin Sulaiman. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

 

Disusun di Perpus Rumaysho, 27 Rabi’ul Awwal 1439 H, Jumat sore

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button