Muamalah

Menjual di Atas Jualan Saudaranya

Ada ilustrasi jual beli sebagai berikut: Si penjual pertama menawarkan jualan, pembeli pun sudah membayar. Lalu datanglah penjual kedua memberi tawaran lebih menarik, akhirnya si pembeli memutuskan membatalkan transaksi pertama karena dapat tawaran yang menggiurkan. Ia pun memutuskan mengambil barang dagangan yang  ditawarkan pihak kedua daripada pihak pertama.

Lihatlah karena tawaran menarik dari penjual kedua, si pembeli akhirnya membatalkan transaksi. Bagaimana perasaan Anda jika Anda berposisi sebagai penjual pertama? Amat sakit hati, demikianlah adanya. Dari sinilah syariat Islam yang mulia ingin memutus agar tidak terjadi masalah seperti ini sehingga dalam Islam dilarang jual beli atau transaksi di mana seseorang menjual di atas jualan saudaranya. Contohnya adalah seperti di atas. Kita dapat melihat penjelasan dalam kitab fiqih yang khusus membahas fiqih muamalah akan disinggung masalah tersebut.

Dalil-dalil yang menerangkan hal ini:

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يَبِعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ

Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya. Janganlah pula seseorang melamar di atas khitbah saudaranya kecuali jika ia mendapat izin akan hal itu.” (HR. Muslim no. 1412)

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ

Janganlah seseorang di antara kalian menjual di atas jualan saudaranya.” (HR. Bukhari no. 2139)

Yang dimaksud menjual di atas jualan saudaranya semisal seseorang yang telah membeli sesuatu dan masih dalam tenggang khiyar (bisa memutuskan melanjutkan transaksi atau membatalkannya), lantas transaksi ini dibatalkan. Si penjual kedua mengiming-imingi, “Mending kamu batalkan saja transaksimu dengan penjual pertama tadi. Saya jual barang ini padamu (sama dengan barang penjual pertama tadi), namun dengan harga lebih murah.” Si penjual intinya mengiming-imingi dengan harga lebih menggiurkan atau semisal itu sehingga pembeli pertama membatalkan transaksi. Jual beli semacam ini jelas haramnya berdasarkan dalil-dalil di atas karena di dalamnya ada tindakan memudhorotkan saudara muslim lainnya.

Begitu pula diharamkan membeli di atas belian saudaranya. Contohnya si pembeli kedua berkata pada si penjual yang masih berada dalam tenggang khiyar dengan pembeli pertama, “Mending kamu batalkan saja transaksimu dengan pembeli pertama tadi. Saya bisa beli dengan harga lebih tinggi dari yang ia beli.” Si pembeli dalam kondisi ini berani membayar dengan harga lebih tinggi sehingga penjual berani membatalkan transaksi dengan pembeli pertama.

Dua macam transaksi di atas adalah transaksi yang haram karena menimbulkan mudhorot dan kerusakan bagi kaum muslimin lainnya.

Ibnu Hajar katakan bahwa dua macam transaksi di atas haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

الْبَيْعُ عَلَى الْبَيْعِ حَرَام ، وَكَذَلِكَ الشِّرَاء عَلَى الشِّرَاءِ ، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ لِمَنْ اِشْتَرَى سِلْعَةً فِي زَمَنِ الْخِيَارِ : اِفْسَخْ لِأَبِيعَك بِأَنْقَصَ ، أَوْ يَقُولَ لِلْبَائِعِ اِفْسَخْ لِأَشْتَرِيَ مِنْك بِأَزْيَدَ ، وَهُوَ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ

Menjual di atas jualan orang lain, begitu pula membeli di atas belian orang lain, hukumnya haram. Bentuknya adalah seperti seseorang membeli suatu barang dari pembeli pertema dan masih pada masa khiyar, lalu penjual kedua mengatakan, “Batalkan saja transaksimu tadi, ini saya jual dengan harga lebih murah.” Atau bentuknya adalah seorang pembeli mengatakan pada penjual, “Batalkan saja transaksimu dengan pembeli pertama tadi, saya bisa beli lebih dari yang ia tawarkan. Jual beli semacam ini haram dan disepakati oleh para ulama.[1]

Konsekuensi dari transaksi ini menunjukkan akan tidak sahnya[2]. Jual beli macam ini jelas sekali menimbulkan saling benci, saling hasad (iri) dan saling omong-omongan yang tidak baik antara satu dan lainnya. Oleh karena itu terlarang.

Ada juga bentuk serupa yang terlarang yang diistilahkan dengan “saum”. Bentuknya adalah ada dua orang yang tawar menawar, penjual menawarkan barangnya dengan harga tertentu dan pembeli pertama sudah ridho dengan harga tersebut kemudian datanglah pembeli kedua, ia pun melakukan tawaran. Akhirnya, pembeli kedua yang diberi barang dengan harga lebih atau dengan harga yang sama seperti pembeli pertama. Lantas kenapa pembeli kedua yang diberi? Karena pembeli kedua adalah orang terpandang. Sehingga ini yang membuat si penjual menjualkan barangnya pada pembeli kedua karena ia lebih terpandang.[3]

Dalam keterangan lain dari An Nawawi rahimahullah,

أَمَّا السَّوْم عَلَى سَوْم أَخِيهِ فَهُوَ أَنْ يَكُون قَدْ اِتَّفَقَ مَالِك السِّلْعَة وَالرَّاغِب فِيهَا عَلَى الْبَيْع وَلَمْ يَعْقِدَاهُ ، فَيَقُول الْآخَر لِلْبَائِعِ : أَنَا أَشْتَرِيه وَهَذَا حَرَام بَعْد اِسْتِقْرَار الثَّمَن .وَأَمَّا السَّوْم فِي السِّلْعَة الَّتِي تُبَاع فِيمَنْ يَزِيد فَلَيْسَ بِحَرَامٍ

“Melakukan saum di atas saum saudaranya, bentuknya adalah penjual dan pembeli telah sepakat dan sudah penjual sudah mau menjual barangnya, namun belum terjadi akad, kemudian datanglah pembeli lainnya dengan berkata, “Saya beli barang itu yah.” An Nawawi mengatakan bahwa tindakan seperti ini haram karena sudah ditetapkan harga saat itu. Adapun penawaran terhadap barang yang telah dijual dengan sistem lelang, maka itu tidaklah haram.”[4] Dalam keterangan An Nawawi ini menunjukkan bahwa si penjual fix melakukan akad dengan pembeli yang tidak mesti orang terpandang, artinya di sini lebih umum pada siapa saja.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَسُمِ الْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَتِهِ

Janganlah melakukan saum (penawaran) di atas saum (penawaran) saudaranya. Jangan pula melakukan khitbah di atas khitbah saudaranya.” (HR. Muslim no. 1413)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Riyadh-KSA, 5 Jumadal Awwal 1432 H (08/04/2011)

www.rumaysho.com

 


[1] Fathul Bari, 4/353

[2] Shahih Fiqh Sunnah, 4/391.

[3] Lihat penjelasan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 9/216.

[4] Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 10/158.

Artikel yang Terkait

Satu Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button