Thoharoh

Manhajus Salikin: Kaedah Air Thahur dan Najis

Ini rangkaian pelajaran dari Kitab Manhajus Salikin karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Kali ini membahas kaedah air.

 

Bersuci itu Syarat

Shalat memiliki syarat-syarat yang harus diketahui terlebih dahulu, di antaranya adalah bersuci dari hadats dan najis.

Bersuci ini dijadikan syarat untuk shalat sebagaimana dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah diterima shalat kecuali dengan bersuci.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari dan Muslim)

Siapa saja yang tidak bersuci dari hadats besar maupun hadats kecil, juga dari najis, maka tidak ada shalat untuknya.

Thaharah (bersuci) ada dua macam. Yang pertama, thaharah dengan air, inilah hukum asalnya. Sedangkan yang kedua, thaharah dengan debu sebagai pengganti air.

 

Penjelasan:

Hadats adalah menunjukkan keadaan diri seseorang, sifatnya maknawi (abstrak) yang menghalangi seseorang melakukan shalat, thawaf, menyentuh mushaf Al-Qur’an dan semacamnya.

Najis adalah sesuatu yang nampak (terlihat) kotor menurut anggapan syari’at, disebut juga dengan khabits seperti kencing, dll.

 

Air itu Ada Dua Macam: Thahur dan Najis

Setiap air yang turun dari langit dan keluar dari mata air, maka hukumnya adalah THAHUR (suci dan menyucikan).

Air tersebut dapat digunakan untuk menyucikan hadats dan najis, walaupun air tersebut berubah  rasa, warna atau bau karena bercampur dengan benda suci (selama masih disebut air mutlak tetap statusnya thahur, pen.). Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya air itu thahur (suci dan menyucikan), tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya.” (Diriwayatkan oleh Ahlus Sunnan, haditsnya shahih. [HR. Abu Daud, no. 66; Tirmidzi, no. 66; An-Nasa’i, no. 326; dari Abu Sa’id Al-Khudri. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan Ibnu Hazm])

Jika air tersebut berubah sifatnya karena najis, maka menjadi najis dan wajib dijauhi.

 

Penjelasan:

1- Kesimpulannya air itu ada dua macam yaitu thahur (suci dan menyucikan) dan najis.

2- Tiga kaedah mengenai air yang bercampur:

  • Jika air bercampur dengan benda suci, lalu tidak lagi disebut air mutlak (sudah dinamakan air teh, air kopi, air sabun, pen.), maka air tersebut tidak lagi thahur (tidak bisa menyucikan lainnya). Karena thaharah hanya boleh dengan yang disebut air, “Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (QS. Al-Maidah: 6)
  • Jika air bercampur dengan benda suci, lalu tidak keluar dari penyebutan air mutlak (masih disebut air), maka air tersebut tetap thahur (suci dan menyucikan).
  • Jika air bercampur dengan benda najis, lalu berubah salah satu dari tiga sifat (bau, rasa, atau warna), maka air tersebut menjadi najis.

3- Bagaimana dengan air musta’mal (bekas bersuci)? Bagaimana dengan air yang kurang dari dua qullah yang kemasukan najis?

Ada beda pendapat ulama dalam hal ini. Yang tepat, air musta’mal masih boleh digunakan selama masih disebut air mutlak. Kedua, air yang kurang dari dua qullah (sekitar 200 L) lantas kemasukan najis, maka dilihat apakah berubah salah satu dari tiga sifat ataukah tidak. Jika tidak berubah, berarti tetap suci. Wallahu a’lam.

Moga mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

 

Referensi:

Ibhajul Mu’minin bi Syarh Manhaj As-Salikin. Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin ‘Abdillah Al-Jibrin. Penerbit Madarul Wathan li An-Nashr.

Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As- Salikin. Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Syarh Manhaj As-Salikin. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.

Buletin Rumaysho.Com untuk Kajian Rutin Kamis Sore di Masjid Pogung Dalangan

Disusun @ Perpus Darush Sholihin, 25 Syawal 1438 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button