Zat Najis Berubah Menjadi Suci
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ada beberapa benda najis yang bisa berubah menjadi benda lainnya yang suci. Misalnya saja bangkai yang telah terpendam ribuan tahun dalam tanah, akhirnya bisa berubah menjadi minyak bumi. Saat ini minyak bumi banyak digunakan secara luas di berbagai lini, yang sering kita temui dan gunakan adalah bensin. Kita tahu bangkai itu najis. Apakah jika minyak itu berasal dari bangkai yang terpendam juga dihukumi najis? Ataukah ia dihukumi sebagai zat atau benda baru? Inilah kaedah yang perlu dipahami, yaitu kaedah ‘istihalah’. Jika kita bisa memahami hal ini, maka akan dengan mudah menjawab permasalahan di atas. Moga bahasan ini bermanfaat.
Mengenal Istihalah
Istihalah secara bahasa memiliki dua makna. Salah satu maknanya adalah,
تغيّر الشّيء عن طبعه ووصفه
“Berubahnya sesuatu dari tabi’at asal atau sifatnya yang awal.”
Yang termasuk dalam istihalah adalah berubahnya sesuatu yang najis. Istihalah atau perubahan tadi bisa terjadi pada kondisi apa saja? Istihalah bisa terjadi pada ‘ain (zat) najis, seperti kotoran, khomr (bagi yang mengatakannya najis), dan babi. Istihalah bisa terjadi pula pada ‘ain (zat) najis yang berubah sifat-sifatnya. Bisa jadi dia berubah karena dibakar atau karena berubah menjadi cuka. Atau mungkin perubahan itu terjadi karena ada sesuatu yang suci yang bercampur dengannya. Seperti contohnya babi yang najis yang jatuh dalam garam, akhirnya menjadi garam.
Para ulama telah menyepakati bahwa apabila khomr berubah menjadi cuka dengan sendirinya (karena dibiarkan begitu saja), maka khomr tersebut menjadi suci. Namun para ulama berselisih jika khomr tadi berubah menjadi cuka melalui suatu proses tertentu.
Adapun untuk najis yang lainnya, apabila ia berubah dari bentuk asalnya, maka para ulama berselisih akan sucinya.[1]
Perselisihan Ulama dalam Masalah Istihalah
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah, juga menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad, menyatakan bahwa najis pada ‘ain (dzat) dapat suci dengan istihalah. Jika najis sudah menjadi abu, maka tidak dikatakan najis lagi. Garam (yang sudah berubah) tidak dikatakan najis lagi walaupun sebelumnya berasal dari keledai, babi atau selainnya yang najis. Begitu pula dianggap suci jika najis jatuh ke sumur dan berubah jadi tanah. Misal yang lain, khomr ketika berubah menjadi cuka baik dengan sendirinya atau dengan proses tertentu dari manusia atau cara lainnya, maka itu juga dikatakan suci. Hal ini semua dikarenakan zat yang tadi ada sudah berubah. Aturan Islam pun menetapkan bahwa sifat najis jika telah hilang, maka sudah dikatakan tidak najis lagi (sudah suci).
Jadi jika tulang dan daging berubah menjadi garam, maka yang dihukumi sekarang adalah garamnya. Garam tentu saja berbeda statusnya dengan tulang dan daging tadi.
Perkara semisal ini amatlah banyak. Intinya, istihalah pada zat terjadi jika sifat-sifat najis yang ada itu hilang.
Adapun ulama Syafi’iyah dan pendapat ulama Hambali yang lebih kuat, najis ‘ain (zat) tidaklah dapat suci dengan cara istihalah. Jika anjing atau selainnya dilempar dalam garam, akhirnya mati dan jadi garam, maka tetap dihukumi najis. Begitu pula jika ada uap yang berasal dari api yang bahannya najis, lalu uap itu mengembun, maka tetap dihukumi najis.
Dikecualikan dalam masalah ini adalah untuk khomr, yaitu khomr yang berubah menjadi cuka dengan sendirinya, tidak ada campur tangan. Cuka yang berasal dari khomr seperti itu dianggap suci. Alasan najisnya khomr tadi adalah karena memabukkan. Saat jadi cuka tentu tidak memabukkan lagi, maka dari itu dihukumi suci. Hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan para ulama).
Adapun jika khomr berubah menjadi cuka dengan proses tertentu misalnya ada gas yg masuk, maka ketika itu tidaklah suci.[2]
Pendapat yang Rojih
Dari perselisihan di atas, pendapat yang rojih (kuat) dalam masalah ini adalah yang menyatakan bahwa suatu zat yang najis yang berubah (dengan istihalah) menjadi zat lain yang baru, dihukumi suci.
Di antara alasannya adalah karena hukum itu berputar pada ‘illahnya (alasan atau sebab). Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada. Jika sifat-sifat najis telah hilang, maka hukum najis itu sudah tidak ada. Demikianlah yang dijelaskan dalam kaedah ushuliyah,
الحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ ثُبُوْتًا وَعَدَمًا.
“Hukum itu berputar pada ‘illahnya. Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada. Begitu sebaliknya jika ‘illah itu tidak ada, maka hukum itu tidak ada.”
Pendapat inilah yang lebih tepat, apalagi diterapkan di zaman saat ini. Kita masih ingat bahwa minyak bumi itu asalnya dari bangkai hewan yang terpendam ribuan tahun. Padahal bangkai itu jelas najis. Jika kita katakan minyak bumi, itu najis karena berpegang pada pendapat Syafi’iyah dan Hambali, maka jadi problema untuk saat ini.
Jika seseorang memahami kaedah istihalah ini, ia akan tahu bagaimanakah menghukumi suatu najis apabila najis tersebut sudah berubah menjadi benda lain yang tidak nampak lagi atsar-atsarnya (bekas-bekasnya).
Semoga sajian kaedah ilmu ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Riyadh-KSA, 4 Rabi’uts Tsani 1432 H (10/03/2011)
Baca Juga:
- Matan Taqrib: Penjelasan Macam-Macam Air Suci Hingga Air Najis
- Hukum Berwudhu dengan Air Sungai yang Sudah Tercemari Najis
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, index “استحالة”, 3/213-214, terbitan Kementrian Agama dan Urusan Islamiyah Kuwait.
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, index “تحوّل”, 10/278-279
bagaimana qaidah fiqh yg ini tadz?
“Apabila bertemu antara halal dan
haram atauh sesuatu yang mubah dengan yang haram maka lebih kuat sisi
keharamannya”
dalam hal ini topik bahasan kehalal haraman adalah tentangs esuatu yg masuk kedalam tubuh, bukan dengan contoh minyak bumi. bagaimana dengan contoh apabila bangkai babi jatuh kepada setumpukan garam, apakah garam itu haram untuk dimakan?
Kaedah ini pun masih diperselisikan oleh para ulama. Jd tdk bisa menghukumi bahwa ulama yg punya kaedah lain salah.
Assalaamu’alaikum ustadz… Ana ada permasalahan yg sangat mengganggu. Ternyata kuas dari bulu babi sudah beredar luas di masyarakat, dan kebanyakan dari kita tidak menyadarinya. Kuas tersebut bertuilskan “bristle” atau “pure bristle”, umumnya made in China. Biasanya berwarna kuning gading, tapi ada pula yg hitam. Dalam kamus webster, dikatakan bahwa “bristle” itu berarti bulu babi. Kuas tsb sering kita gunakan mengecat interior/exterior rumah & masjid, meubelair, cuci motor/mobil, mengoles kue, melukis (termasuk kaligrafi), hingga tukang cukur dll.
Pertanyaannya, apakah kita boleh menggunakan kuas seperti ini? Sejauh manakah najisnya? Apakah pintu yg dicat menggunakan kuas babi menjadi najis bila kita sentuh?
Mohon bantuannya… Jazakumullah khoiron katsiiroo.
Bismillah. Ustadz, apakah gliserin yang berasal dari turunan babi halal?