Faedah Sirah Nabi: Sikap Abdul Muththalib Ketika Kabah Diserang Abrahah
‘Abdul Muththalib kakek Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah menunjukkan satu pelajaran pada kita untuk tawakkal, saat Raja Abrahah ingin menyerang Ka’bah.
Pada zaman ‘Abdul Muththalib bin Hasyim, peristiwa pasukan gajah terjadi dan bertepatan dengan tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ringkasan kisahnya adalah Abrahah yang menjabat sebagai Wakil Raja Habasyah yang berkedudukan di Yaman. Abrahah menyaksikan orang Arab berbondong-bondong datang ke Mekkah setiap tahun untuk menunaikan ibadah haji, maka kemudian dia membangun sebuah gereja besar dan mewah di Yaman, lalu dinamakan Al-Qulais. Dia bermaksud mengalihkan tujuan orang-orang Arab yang setiap tahun bepergian ke Mekkah menunaikan ibadah haji untuk menuju ke gereja megah yang dibangun di Yaman.
Lalu kejadian tersebut sampai ke telinga seorang laki-lakoi dari Bani Kinanah. Dia melakukan perjalanan menuju gereja tersebut dan memasukinya pada suatu malam, kemudian melumuri dinding-dindingnya dengan kotoran. Abrahah yang mendengar berita tersebut akhirnya marah besar dan memutuskan untuk menghancurkan Ka’bah.
Abrahah lalu memimpin langsung pasukan tentara yang berjumlah 60.000 dengan fasilitas pasukan yang dilengkapi dengan beberapa ekor gajah. Mereka berjalan menuju tujuan dan tidak ada sesuatu pun yang menghadangnya hingga tiba di sebuah tempat yang bernama Al-Mughammas (24 km dari kota Makkah).
Di tempat itulah, mereka mengambil harta milik orang-orang Quraisy termasuk 200 ekor unta milik ‘Abdul Muththalib. Lantas ‘Abdul Muththalib datang menemui Abrahah. Begitu Abrahah melihat ‘Abdul Muththalib, ia menghormati dan memuliakannya. Abrahah lantas bertanya maksud kedatangan ‘Abdul Muththalib, lalu ia jawab, “Maksud saya mendatangimu adalah memohon pada Raja untuk mengembalikan untak-unta milikku yang ditawan.”
Abrahah berkata, “Semula saya kagum kepadamu ketika melihat kedatanganmu, kemudian saya tidak lagi menghargaimu setelah kamu berbicara kepadaku. Apakah kamu hanya memikirkan untamu dan sama sekali tidak memikirkan Ka’bah yang merupakan agamamu dan agama leluhurmu, padahal kedatanganku kemari adalah untuk menghancurkannya?”
‘Abdul Muththalib berkata, “Saya adalah pemilik unta-unta itu. Adapun Ka’bah, maka Pemiliknya yang akan menjaganya.”
Abrahah berkata, “Tidak akan ada yang mampu mencegah saya.”
‘Abdul Muththalib berkata, “Itu urusan kamu dan Pemiliknya (maksud Pemilik Ka’bah adalah Allah Ta’ala).” (Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, 1: 43 dan halaman setelahnya).
Faedah yang bisa diambil:
Walaupun ‘Abdul Muththalib seorang musyrik, ia mengajarkan pada kita untuk bergantung pada Allah (tawakkal) dan yakin akan datangnya pertolongan dari Allah. Padahal ia adalah seorang musyrik karena masih menduakan (menyekutukan) Allah dalam ibadah.
Namun coba lihat bagaimana kelakuan sebagian kita:
1- Untuk urusan menjaga rumah, mereka tidak sandarkan pada Allah. Mereka sandarkan agar rumahnya bisa terus dijaga adalah pada sesuatu yang diharamkan. Satu atau dua ekor anjing herder yang dikhususkan untuk menjaga rumahnya. Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah melarangnya.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘ahuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِيَةٍ ، نَقَصَ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيرَاطَانِ
“Barangsiapa memanfaatkan anjing, bukan untuk maksud menjaga hewan ternak atau bukan maksud dilatih sebagai anjing untuk berburu, maka setiap hari pahala amalannya berkurang sebesar dua qirath.” (HR. Bukhari no. 5480 dan Muslim no. 1574)
Baca secara lengkap Hukum Memelihara Anjing:
2- Untuk urusan nasibnya akan datang menggantungkan pada pihak asuransi. Padahal yang menanggung nasib bukan pihak asuransi. Dari premi yang disetor pun, belum tentu kita mendapatkan accident (kecelakaan). Kenapa kita tidak pasrahkan diri kita, kendaraan kita, nasib anak kita pada Allah sebagaimana ‘Abdul Muththalib pasrah pada Allah dalam kisah ini?
Baca tentang Hukum Asuransi:
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
Fikih Sirah Nabawiyah. Cetakan kelima, 2016. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Zaid. Penerbit Darus Sunnah.
Tarikh Al-Anbiya’ wa Ar-Rasul Athlas. Cetakan ketiga belas. Sami bin ‘Abdullah bin Ahmad Al-Maghluts. Penerbit Obekan. hlm. 291 (tentang penyebutan Al-Mughammas).
—
Disusun @ Masohi, Maluku Tengah, Senin pagi, 9 Syawal 1438 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Assalamualaikum Pak Ustadz,
Saya sering berdebat dengan istri saya mengenai perencanaan keuangan yang berkaitan dengan pendidikan anak-anak. Istri saya bersikukuh jika rizki adalah takdir Allah. pasrahkan semua kepada Allah, termasuk keuangan. Sedangkan saya bersikukuh, bahwa kita ini manusia tidak diberikan berita ghaib bagaimana nasib kita nanti, jadi harus tetap membuat rencana keuangan untuk anak-anak (red: menabung).
pertanyaanya:
1. Apakah merencanakan keuangan, (misal: menabung/deposito) untuk biaya sekolah anak-anak termasuk mengesampingkan adanya takdir Allah?
2. Bagaimana membedakan antara Tawakal dengan ‘berjudi’ dengan masa depan? karena dasarnya memang kita tidak memiliki pengetahuan tentang takdir. Jadi ada kesan gambling dengan keadaan anak-anak tanpa adanya keikutsertaan ‘akal’ dalam menghadapi keadaan nanti.
karena yang membedakan berjudi dan berencana adalah adanya keterlibatan akal didalamnya.
Mohon pencerahanya.
Wasalamualaikum,
Andy (Bekasi)
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.
1- Coba pertimbangkan untuk menabung tanpa di bank.
2- Pahami bahasan Asuransi dalam tulisan berikut: https://rumaysho.com/2316-ghoror-judi-dan-riba-dalam-asuransi.html, juga bahasan kisah Abdul Muthallib yang memberikan contoh tawakkal pada kita: https://rumaysho.com/16074-faedah-sirah-nabi-sikap-abdul-muthallib-ketika-kabah-diserang-abrahah.html
Semoga Allah senantiasa berkahi bapak Andy (Bekasi) sekeluarga.