Wanita di Masa Jahiliyah Vs Masa Islam
Dalam risalah pertama kami ini akan dijelaskan bagaimanakah perlakuan pada wanita di masa jahiliyah dibandingkan di masa Islam ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus.
Pertama: Bayi wanita dimuliakan dalam Islam, sebelum Islam dikubur hidup-hidup
Lihat saja pada masa sebelum Islam ketika ada anak wanita yang lahir, maka orang Arab dahulu merasa tidak suka. Coba lihat bentuk ketidaksukaan mereka sebagaimana disebut dalam ayat berikut ini.
وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ الْبَنَاتِ سُبْحَانَهُ وَلَهُمْ مَا يَشْتَهُونَ (57) وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (59)
“Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki). Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl: 57-59)
Orang musyrik menyatakan bahwa para malaikat yang benar-benar terus beribadah pada Allah sebagai anak perempuan Allah. Sedangkan untuk mereka orang musyrik ditetapkan apa yang mereka sukai yaitu anak laki-laki. Orang musyrik benar-benar sangat tidak suka dengan lahirnya anak perempuan. Makanya ketika anak perempuan itu lahir wajah mereka menghitam sebagai tanda bahwa telah mendapatkan musibah. Mereka sangat sedih kala itu. Mereka malu dan menyembunyikan diri dari orang banyak. Ada dua hal yang terjadi pada mereka:
- Menanggung malu
- Menguburkan anak perempuan dalam tanah hidup-hidup.
Alangkah buruknya apa yang orang musyrik lakukan. Mereka tidak suka pada anak perempuan dan menetapkan apa yang tidak mereka sukai pada Allah Ta’ala. Demikian keterangan dari Syaikh As-Sa’di dalam Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 443.
Kata Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim (4: 687) orang musyrik menjadikan malaikat sebagai perempuan dan menjadikannya sebagai anak perempuan Allah, lantas mereka menyembah malaikat tadi bersama Allah (berbuat syirik). Ada tiga kekeliruan dari perbuatan orang musyrik tersebut:
- Menyatakan Allah memiliki anak, padahal Allah tidak memiliki anak.
- Orang musyrik menyandarkan anak perempuan pada Allah padahal perempuan itu lemah dibanding laki-laki.
- Anak perempuan sendiri tidaklah mereka sukai pada diri mereka.
Demikian nukilan dari Ibnu Katsir.
Bukti bahwa anak perempuan itu dikubur hidup-hidup adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (9)
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS. At-Takwir: 8-9).
Mereka orang musyrik kalau mendapati anak perempuan yang lahir, mereka kubur hidup-hidup. Jika selamat dari siksaan seperti itu, maka anak perempuan itu akan hidup dalam keadaan hina. Contohnya diperlakukan dengan tidak menambahkan hak waris. (Lihat Tambihaat ‘ala Ahkam Takhtasshu bi Al-Mu’minaat, hlm. 8)
Bukti bahwa anak perempuan dimuliakan di masa Islam ketika lahir adalah ia tetap diaqiqahi dengan satu ekor kambing.
Disebutkan dalam hadits berikut.
عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ أَنَّهُمْ دَخَلُوا عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَسَأَلُوهَا عَنِ الْعَقِيقَةِ فَأَخْبَرَتْهُمْ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَهُمْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ.
Dari Yusuf bin Mahak, mereka pernah menemui Hafshah binti ‘Abdirrahman. Mereka bertanya kepadanya tentang hukum aqiqah. Hafshah mengabarkan bahwa ‘Aisyah pernah memberitahu dia bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyembelih dua ekor kambing yang hampir sama (umurnya ) untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan.” (HR. Tirmidzi, no. 1513; Ibnu Majah, no. 3163. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Kedua: Wanita mendapatkan jatah waris, beda dengan masa Jahiliyah yang tidak ada jatah sama sekali
Kalau di masa Jahiliyah, anak perempuan tidak mendapatkan jatah waris. Ini adalah efek dari mendapatkan bayi perempuan hingga mesti menahan malu dan hina.
Ibnu Katsir menyatakan, orang Jahiliyah menjadikan seluruh jatah waris untuk laki-laki, perempuan tidak mendapatkan jatah sama sekali. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3: 27)
Setelah Islam datang, anak perempuan akhirnya mendapatkan jatah waris. Dalam ayat disebutkan,
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.” (QS. An-Nisa’: 11)
Ibnu Katsir menyebutkan alasan kenapa sampai jatah laki-laki dibuat dua kali dari perempuan.Itu karena kebutuhan laki-laki yang begitu besar. Ia mesti menanggung nafkah keluarga, bisa untuk ia berdagang dan mencari kerja, ia mesti menanggung berbagai beban berat. Jadinya wajar kalau jatah laki-laki dua kali dari perempuan. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3: 27)
Ketiga: Memiliki istri dibatasi di masa Islam
Di masa Jahiliyah sebelum Islam, memiliki istri itu tidak dibatasi. Buktinya ada dalam hadits-hadits berikut ini.
عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِى ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
Dari Qois bin Al Harits, ia berkata, “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki delapan istri. Aku pun mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut, lalu beliau bersabda: Pilihlah empat saja dari kedelapan istrimu tersebut.” (HR. Ibnu Majah, no. 1952; Abu Daud, no. 2241. Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini).
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلاَنَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِىَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Ghaylan bin Salamah Ats-Tsaqofiy baru masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri di masa Jahiliyyah. Istri-istrinya tadi masuk Islam bersamanya, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar ia memilih empat saja dari istri-istrinya. (HR. Tirmidzi, no. 1128. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan,
أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ
“Pilih empat istri dan pisah dengan yang lain.” (HR. Ibnu Hibban 9: 465, perowinya tsiqoh termasuk perowi shahihain sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Setelah membawakan hadits ini, Abu Bakr Al-Hishniy berkata, “Seandainya dibolehkan lebih dari empat istri, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak perintahkan untuk menceraikan istri yang lain (hingga tersisa empat).” (Kifayah Al-Akhyar, hlm. 399).
Adapun pembatasan istri disebutkan dalam ayat Al Qur’an,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisa’: 3).
Dari ayat ini, Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al-Bugha mengatakan, “Jika disebutkan bahwa nikahilah dua, tiga, atau empat, maka dipahami bahwa tidak bolehnya menggabungkan lebih dari empat istri sekaligus.” (Lihat At-Tadzhib, hal. 173).
Akan tetapi ada dua syarat yang mesti diperhatikan untuk bisa berpoligami:
Pertama: Adil dalam perkara lahir, yaitu dalam nafkah dan pembagian malam. Adapun adil dalam hal batin, maka tidaklah wajib karena sulit dilakukan. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala,
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” (QS. An Nisa’: 129). Yang dimaksud dalam ayat ini adalah sulitnya berbuat adil dalam hal batin, yaitu kecintaan di hati.
Kedua: Kemampuan harta dan badan. (Lihat Hasyiyah ‘ala Al-Qaul Al-Mukhtar karya Dr. Sa’adud Din bin Muhamad Al-Kubiy, 2: 51).
Hati-hati jika tidak bisa berbuat adil ketika berpoligami. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud, no. 2133; Ibnu Majah no. 1969; An-Nasa’i, no. 3394. Syaikh Al Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, no. 1949)
Al-‘Azhim Abadi berkata, “Siapa yang memiliki dua isteri –misalnya- lantas ia tidak berbuat adil terhadap keduanya. Ia lebih cenderung pada salah satunya, tidak pada yang lainnya, maka salah satu sisi badannya akan mengalami kelumpuhan.”
Beliau mengatakan pula, “Hadits di atas menunjukkan bahwa wajib bagi suami untuk menyamakan dan tak boleh condong pada salah satunya, yaitu dalam hal pembagian malam dan nafkah. Ini bukan berarti mesti sama dalam hal kecintaan. Kecintaan tersebut tak bisa seseorang membuatnya sama.” (‘Aun Al-Ma’bud, 6: 124).
Semoga bermanfaat. Allahumma inna nas-aluka ‘ilman naafi’a.
Referensi:
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Taisir Al-Karim Ar-Rahman (Tafsir As-Sa’di). Cetakan pertama, tahun 1423 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
Tambihaat ‘ala Ahkam Takhtasshu bi Al-Mu’minaat. Cetakan kelima, tahun 1429 H. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan. Penerbit Ar-Riasah Al-‘Ammah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’.
—
Diselesaikan di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, malam Selasa, 6 Dzulqa’dah 1437 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam