Konsultasi Zakat 9: Zakat pada Piutang dan Nishab Harta Simpanan dengan Perak
Bagaimana zakat pada piutang apakah ada? Bagaimana pula untuk patokan nishab harta simpanan, apakah menggunakan patokan nishab emas atau perak?
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Ustadz. Mau tanya tentang zakat maal.
Bila ada orang punya harta simpanan dan sudah memenuhi syarat zakat maal (sudah lebih dari 85 gram emas) tapi belum 1 tahun uangnya dipinjam orang lain. Apa tetap (piutang tersebut) dizakatkan?
Syukron. Wassalamu’alaikum. (Ibu Mala Surabaya via WA)
Jawaban Pertama:
Ingatlah, zakat dikeluarkan dari harta yang dimiliki kita secara sempurna. Sebagaimana yang Allah sebutkan,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka” (QS. At Taubah: 103).
Dalam wasiat Rasul pada Mu’adz dalam hadits Ibnu ‘Abbas disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat pada mereka yang diambil dari harta mereka” (HR. Bukhari, no. 1395; Muslim, no. 19).
Lantas bagaimanakah dengan piutang yang ada pada orang lain? Apakah terkena zakat?
Sebagaimana diterangkan dalam Shahih Fiqh Sunnah (2: 14-15), bahwa ada dua rincian dalam hal ini:
- Piutang yang diharapkan bisa dilunasi karena diutangkan pada orang yang mampu untuk mengembalikan. Piutang seperti ini dikenai zakat, ditunaikan segera dengan harta yang dimiliki oleh orang yang member utangan dan dikeluarkan setiap tahun.
- Piutang yang sulit diharapkan untuk dilunasi karena diutangkan pada orang yang sulit dalam melunasinya. Piutang seperti ini tidak dikenai zakat sampai piutang tersebut dilunasi.
Syaikh Shalih Al-Munajjid menerangkan, piutang kita pada orang lain tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama: Ada piutang yang sifatnya masih diakui, diketahui jumlahnya dan mau dilunasi.
Kedua: Ada piutang yang sifatnya diketahui namun yang berutang (pihak debitur) adalah orang yang kesulitan dan sulit melunasi utang, atau utang ini berada pada orang yang tidak mengakui adanya utang.
Untuk keadaan pertama: Utang seperti itu tetap dizakati dan ditambahkan pada simpanan kita, seluruh harta tersebut dizakati (2,5%). Ini berlaku setiap tahun (hijriyah) walaupun utang kita pada orang lain tersebut tidak berada di genggaman kita. Status harta tersebut semisal wadi’ah (barang titipan). Namun utang semacam itu boleh ditunda untuk dizakati sampai nanti dikembalikan (dilunasi). Zakatnya bisa belakangan dengan menzakati dari beberapa tahun yang telah tertunda.
Untuk keadaan kedua: Utang seperti itu tidak dizakati. Akan tetapi, nanti ketika telah dilunasi, maka dizakati untuk satu tahun walaupun status harta itu ada pada orang yang sulit melunasi utang dalam beberapa tahun. (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 125854: https://islamqa.info/ar/125854)
Kalau kita lihat dari penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid pula, pembahasan di atas juga termasuk bagi piutang yang sifatnya sulit ditagih. Karena sebagian orang ada yang ditagih utangnya, malah enggan untuk melunasi padahal mampu. Nantinya bisa masuk dalam keadaan yang kedua. Wallahu a’lam.
Jadi tentang masalah utang di atas apakah mesti dizakati, silakan lihat perincian di atas.
Jawaban Kedua:
Untuk nishab zakat harta simpanan (berupa mata uang), maka baiknya menggunakan nishab perak. Karena nishab emas kalau diperkirakan sekitar 40 juta rupiah, sedangkan perak adalah 5 juta rupiah. Kedua patokan tadi terpaut jauh. Para ulama menyarankan memilih yang lebih rendah agar banyak yang terkena zakat sehingga lebih menyenangkan orang miskin. Kesimpulannya, harta simpanan di atas 5 juta rupiah sudah terkena zakat bila sudah bertahan selama setahun hijriyah (haul).
Lihat bahasan “Panduan Zakat Mata Uang dan Zakat Penghasilan”: https://rumaysho.com/2450-panduan-zakat-mata-uang-a-zakat-penghasilan.html
Semoga jawaban ini bermanfaat.
Diharapkan para pengunjung Rumaysho.Com bisa membaca artikel dalam Category Zakat di web ini dan bagi yang ingin menyalurkan lewat Darush Sholihin, bisa membaca info Donasi Zakat di Web DarushSholihin.Com.
—
@ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 11 Ramadhan 1437 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam