Puasa

Puasa Minhaj Thalibin (3): Syarat Rukyatul Hilal

Apa saja syarat orang yang boleh melakukan rukyatul hilal?

Imam Nawawi dalam Minhaj Ath-Thalibin menyatakan,

وَثُبُوتُ رُؤْيَتِهِ بِعَدْلٍ، وَفِي قَوْلٍ عَدْلَانِ.وَشَرْطُ الْوَاحِدِ صِفَةُ الْعُدُولِ فِي الْأَصَحِّ، لَا عَبْدٍ وَامْرَأَة

“Penetapan rukyah hilal adalah melalui rukyah (penglihatan) seorang yang ‘adel (shalih). Dalam pendapat lain disebutkan dua orang yang ‘adel. Satu orang sebagai syarat asalkan memenuhi sifat ‘adalah (bukan orang yang fasik yang gemar maksiat, pen.), itu sudah cukup menurut pendapat yang paling kuat. Namun seorang wanita dan seorang budak saat jadi saksi dalam hal ini tidak cukup hanya satu orang.”

 

Kenapa dengan persaksian satu orang yang ‘adel sudah cukup untuk hilal Ramadhan?

Ada dua hadits yang mendasarinya. Pertama, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Manusia sedang memperhatikan hilal. Lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihat hilal. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.”  (HR. Abu Daud, no. 2342. Ibnu Hajar dalam Bulugh Al-Maram berkata bahwa hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Juga hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا”

“Seorang Arab Badui pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun berkata, “Aku telah melihat hilal.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “Iya.” “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?“, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya. Ia pun menjawab, “Iya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintah, “Suruhlah manusia wahai Bilal agar mereka besok berpuasa.” (HR. Tirmidzi, no. 691; Ibnu Majah, no. 1652. Ibnu Hajar dalam Bulugh Al-Maram berkata bahwa Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menshahihkannya, namun An-Nasai lebih cenderung pada pendapat bahwa riwayat tersebut mursal. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini shahih lighoirihi)

Ada lagi pendapat yang menyaratkan dua orang ‘adel, sebagaimana ketentuan untuk penetapan awal bulan lain selain Ramadhan. Namun yang lebih kuat menurut Imam Nawawi adalah cukup dengan satu orang yang baik (adel).

Keterangan di atas adalah dari penjelasan Mughni Al-Muhtaj.

 

Diterangkan dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah.

Para fuqaha menyaratkan pada siapa saja yang melihat hilal Ramadhan hendaknya memiliki sifat ‘adel (orang baik, bukan suka bermaksiat, pen.).

Para ulama hanya berbeda pendapat mengenai bagaimanakah bentuk adalah (keshalihan) yang dimaksud. Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpandangan bahwa adalah disyaratkan bagi orang yang melihat hilal Ramadhan, namun syaratnya adalah ‘adalah secara lahiriyah saja, tidak memandang batin. Oleh karenanya menurut mereka, rukyah dari budak dan perempuan tetap dianggap (namun tidak cukup satu orang, harus lebih dari satu untuk budak dan perempuan, pen.).

Akan tetapi para fuqaha berpandangan bahwa orang yang dikabari oleh orang yang melihat hilal (bulan sabit) Ramadhan wajib berpuasa walau ia seorang fasik, bukan orang yang ‘adel. Sebagaimana pula orang yang melihat hilal tersebut berpuasa pula, baik ia adalah seorang yang fasik maupun orang yang ‘adel (orang shalih). Orang yang melihat hilal tersebut tetap berpuasa baik persaksiannya diakui oleh hakim atau tidak. Karena ia sudah tahu bahwa hari tersebut adalah Ramadhan.

Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.

Minhaj Ath-Thalibin. Cetakan kedua, tahun 1426 H. Abu Zakariya Yahya bin Syarf An-Nawawi Ad-Dimasyqi. Tahqiq: Dr. Ahmad bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Haddad. Penerbit Dar Al-Basyair Al-Islamiyyah.

Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfazh Al-Minhaj. Cetakan keempat, tahun 1431 H. Muhammad bin Al-Khatib Asy-Syarbini. I’tana bihi: Muhammad Khalil ‘Itaani. Penerbit Darul Ma’rifah.

Menjelang ‘Ashar di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 10 Sya’ban 1437 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button