Pernah Tahu atau Rasakan Sendiri
Gara-gara tak sengaja atau berlalu begitu sengaja melihat gambar wanita telanjang, hafalan Quran bisa hilang.
Yang diherankan, ada yang diketahui suka baca Al-Qur’an, bahkan suaranya merdu, namun sayangnya sukanya nonton “film gituan”.
Ternyata ketika ditelusuri, hafalan Qur’annya saat dites sering “tersendat-sendat”. Itu lantaran pandangan matanya tak bisa dijaga dari maksiat.
Memang benar, Al-Qur’an akan sulit melekat pada ahli maksiat.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ المعَاصِي
وَقَالَ اِعْلَمْ بِأَنَّ العِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللهِ لاَيُؤْتَاهُ عَاصٍ
“Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku.
Lalu beliau mengarahkanku untuk meninggalkan maksiat.
Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah karunia.
Karunia Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84)
Apa yang disebutkan di atas dalam bait sya’ir menunjukkan bahwa maksiat itu menghalangi datangnya ilmu, termasuk dalam hal menghafal Al-Qur’an.
Ketika hati ketika berbuat maksiat adalah seperti disebutkan dalam ayat berikut ini,
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14).
Walau memang istilah dalam ayat adalah untuk orang kafir. Karena ada tiga istilah yang menerangkan tentang hati:
- Ar-rain, keadaan hati orang kafir.
- Al-ghaim, keadaan hati abrar (wali Allah pertengahan).
- Al-ghain, keadaan hati muqarrabin (wali Allah terdepan). (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7: 511)
Namun keadaan hati yang bermaksiat tetap makin gelap seperti diterangkan pula dalam hadits berikut.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.” (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7: 27; Ahmad 2: 297. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa hadits ini hasan).
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap dan lama kelamaan pun mati.” Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, Ibnu Zaid dan selainnya. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7: 512)
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan perkataan Hudzaifah dalam fatawanya. Hudzaifah berkata, “Iman membuat hati nampak putih bersih. Jika seorang hamba bertambah imannya, hatinya akan semakin putih. Jika kalian membelah hati orang beriman, kalian akan melihatnya putih bercahaya. Sedangkan kemunafikan membuat hati tampak hitam kelam. Jika seorang hamba bertambah kemunafikannya, hatinya pun akan semakin gelap. Jika kalian membelah hati orang munafik, maka kalian akan melihatnya hitam mencekam.” (Majmu’ Al-Fatawa, 15: 283)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Jika dosa semakin bertambah, maka itu akan menutupi hati pemiliknya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan mengenai surat Al Muthoffifin ayat 14, “Yang dimaksud adalah dosa yang menumpuk di atas dosa.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93)
Kata Al-Hasan Al-Bashri pula, “Itu adalah dosa yang menumpuk di atas dosa sehingga membuat hati menjadi kelam.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93)
Semoga kita tidak menjadi orang yang dijauhkan dari Al-Qur’an gara-gara kelamnya maksiat yang menutupi hati.
Referensi:
Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’. Cetakan kedua, tahun 1430 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Abu Ishaq Al-Huwaini. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
—
@ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 16 Rabi’uts Tsani 1437 H
Oleh Al-Faqir Ila Maghfirati Rabbihi: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam