Akhlaq

Adab pada Guru (5)

Salah satu adab lagi ketika berinteraksi dengan guru adalah menjaga adab dalam bertanya.

Seorang murid yang hendak bertanya pada guru hendaklah memperhatikan adab-adab berikut ini.

 

1- Maksud bertanya bukan untuk mendebat guru

Dari Ka’ab bin Malik, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

Barangsiapa yang menuntut ilmu dengan maksud untuk bisa mendebat ulama (untuk menampakkan keilmuannya di hadapan lainnya, pen.) atau untuk mendebat orang-orang bodoh (menanamkan keraguan pada orang bodoh, pen.) atau agar menarik perhatian yang lainnya (supaya orang banyak menerimanya, pen.), maka Allah akan memasukkannya dalam neraka.” (HR. Tirmidzi no. 2654. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat penjelasan hadits dalam Tuhfah Al-Ahwadzi 7: 456)

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ لِتُبَاهُوا بِهِ الْعُلَمَاءَ وَلاَ لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ وَلاَ تَخَيَّرُوا بِهِ الْمَجَالِسَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَالنَّارُ النَّارُ

Janganlah belajar ilmu agama untuk berbangga diri di hadapan para ulama, untuk menanamkan keraguan pada orang yang bodoh, dan jangan mengelilingi majelis untuk maksud seperti itu. Karena barangsiapa yang melakukan demikian, maka neraka lebih pantas baginya, neraka lebih pantas baginya.” (HR. Ibnu Majah no. 254. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

 

2- Bertanya pertanyaan yang nyata terjadi, bukan yang terjadi di dunia khayalan atau belum terjadi

Ada yang menanyakan pertanyaan yang sia-sia, belum nyata terjadi. Misal, bagaimana cara shalat di bulan.

Ada cerita dari Syabatun, nama aslinya Ziyad bin ‘Abdurrahman, seorang fakih dan menjadi mufti Andalus. ‘Abdul Malik bin Habib berkata, “Kami berada di sisi Ziyad (Syabatun). Kala itu ada surat dari sebagian raja. Surat tersebut berisi tulisan dan memiliki cap. Syabatun berkata pada kami bahwa isi surat bertanya tentang dua piringan neraca timbangan (pada hari kiamat), apakah terbuat dari emas ataukah perak. Syabatun lantas menulis hadits,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). (Siyar A’lam An-Nubala, 9: 312)

Sebagian salaf berkata,

دَعْنَا عَنْ هَذَا حَتَّى يَقَعَ وَسَلْ عَمَّا وَقَعَ

“Tak usah bertanya pada kami sampai hal itu terjadi. Bertanya lagi nantinya kalau sudah terjadi.”

Kalau ada yang bertanya, “Bagaimana arah kiblat kalau shalat di bulan?” Jawabnya, suruh di bulan dulu. Kalau sudah di sana, nanti baru di-SMS ke kami, kami akan beri jawabannya.

 

3- Bertanya dengan memperhatikan waktu dan keadaan guru

Ada pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits berikut.

عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ كَانَ مِنَ الأَنْصَارِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو شُعَيْبٍ ، وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لَحَّامٌ فَقَالَ اصْنَعْ لِى طَعَامًا أَدْعُو رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَامِسَ خَمْسَةٍ ، فَدَعَا رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَامِسَ خَمْسَةٍ ، فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهَذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا ، فَإِنْ شِئْتَ أَذِنْتَ لَهُ ، وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتَهُ »

“Dari Abu Mas’ud Al-Anshari, ia berkata bahwa ada seseorang dari kalangan Anshar yang bernama Abu Syu’aib. Ia memiliki anak yang menjadi seorang penjual daging. Ia katakan padanya, “Buatkanlah untukku makanan dan aku ingin mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk jatah lima orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diundang dengan jatah untuk lima orang, namun ketika itu ada seseorang yang ikut bersama beliau. Kala itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau telah mengundang kami untuk jatah lima orang, sedangkan orang ini mengikuti kami. Jika engkau mau, izinkan dia untuk ikut. Jika tidak, ia bisa pulang.” (HR. Bukhari no. 5434 dan Muslim no. 2036).

Dari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata, “Harusnya seseorang tidak berat hati ketika ada tuan rumah mengatakan saat ditemui, “Maaf, aku sekarang sedang sibuk.” Karena sebagian yang lain malah kesal ketika dikatakan seperti itu. Kekesalan atau kekecewaan seperti itu justru keliru. Karena setiap orang punya hajat penting ketika berada di rumahnya. Atau ada yang punya urusan dengan orang lain yang lebih penting. Karenanya, kalau ada yang bertamu, kemudian tuan rumah katakan bahwa ia sedang ada aktivitas penting, maka janganlah merasa kecewa ketika dikatakan seperti itu. Karena dalam Islam ada diajarkan seperti itu.” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 4: 208)

Dari sini kita bisa ambil pelajaran, setiap penuntut ilmu hendaklah memperhatikan waktu sibuk gurunya. Setiap pertanyaan di luar majelis terutama belum tentu bisa dijawab. Setiap SMS atau telepon atau pesan WA, belum tentu bisa dijawab dan dibalas setiap waktu karena barangkali sedang ada kesibukan dengan keluarga atau kesibukan belajar.

 

4- Jangan sampai bertanya hanya untuk wawasan, tanpa mau diamalkan

Para ulama salaf berkata,

مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ ، أَوْرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang telah ia ketahui maka Allah akan mewariskan (mengajarkan) kepadanya ilmu yang belum ia ketahui”

Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدىً وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ

Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad: 17)

وَيَزِيدُ اللهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدىً

Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (QS. Maryam: 76)

Lihatlah pula kata Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لَمْ يَعْمَلْ بِهِ لَمْ يَزِدْهُ إِلاَّ كِبْرًا

“Siapa yang belajar ilmu (agama) lantas ia tidak mengamalkannya, maka hanya kesombongan pada dirinya yang terus bertambah.” (Disebutkan oleh Imam Adz Dzahabi dalam Al Kabair, hlm. 75)

Wahb bin Munabbih berkata,

مَثَلُ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لاَ يَعْمَلْ بِهِ كَمَثَلِ طَبِيْبٍ مَعَهُ دَوَاءٌ لاَ يَتَدَاوَى بِهِ

“Permisalan orang yang memiliki ilmu lantas tidak diamalkan adalah seperti seorang dokter yang memiliki obat namun ia tidak berobat dengannya.” (Hilyah Al-Auliya’, 4: 71).

Sufyan bin ‘Uyainah berkata,

مَا شَيْءٌ أَضَرُّ عَلَيْكُمْ مِنْ مُلُوْكِ السُّوْءِ وَعِلْمٍ لاَ يَعْمَلُ بِهِ

“Tidak ada sesuatu yang lebih memudhorotkan kalian selain dari raja yang jelek dan ilmu yang tidak diamalkan.” (Hilyah Al-Auliya’, 7: 287).

‘Abdul Wahid bin Zaid berkata,

مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ فَتَحَ اللهُ لَهُ مَا لاَ يَعْلَمُ

“Barangsiapa mengamalkan ilmu yang telah ia pelajari, maka Allah akan membuka untuknya hal yang sebelumnya ia tidak tahu.” (Hilyah Al-Auliya’, 6: 163).

Ma’ruf Al Karkhi berkata, “Jika Allah menginginkan kebaikan pada seorang hamba, Dia akan membuka baginya pintu amal dan akan menutup darinya pintu jidal (suka berdebat atau bantah-bantahan). Jika Allah menginginkan kejelekan pada seorang hamba, Dia akan menutup baginya pintu amal dan akan membuka baginya pintu jidal (suka berdebat)” (Hilyah Al-Auliya’, 8: 361).

 

5- Jangan sampai bertanya hanya ingin cari simpati dan pujian

Perhatikanlah niat dalam menuntut ilmu, jangan sampai yang diharap adalah dunia dan pujian manusia. Bertanya hanya ingin dipandang bahwa ilmunya itu banyak.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لِغَيْرِ اللَّهِ أَوْ أَرَادَ بِهِ غَيْرَ اللَّهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Siapa yang belajar agama karena selain Allah -atau ia menginginkan dengan ilmu tersebut selain Allah-, maka hendaklah ia menempati tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi no. 2655. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib, sedangkan Syaikh Al Albani mendha’ifkan hadits ini).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya diharapkan dengannya wajah Allah ‘azza wa jalla, tetapi ia tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan sedikit dari kenikmatan dunia maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud no. 3664 dan Ibnu Majah no. 252. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga kita bisa semakin beradab di depan guru-guru kita dan Allah pun memberkahi ilmu dan umur mereka.

Selesai disusun di Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 28 Dzulhijjah 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Ikuti update artikel Rumaysho.Com di Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat (sudah 3,6 juta fans), Facebook Muhammad Abduh Tuasikal, Twitter @RumayshoCom, Instagram RumayshoCom

Untuk bertanya pada Ustadz, cukup tulis pertanyaan di kolom komentar. Jika ada kesempatan, beliau akan jawab.

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button