Puasa

Apakah Wanita Hamil dan Menyusui Cukup Fidyah Tanpa Qodho’?

Ketika membahas tentang puasa wanita hamil dan menyusui, kami terakhir menguatkan pendapat bahwa jika wanita hamil dan menyusui tidak puasa, mereka punya kewajiban untuk mengqodho’ puasanya di hari yang lain sampai mereka mampu. Kemudian kami tutup tulisan tersebut dengan mengatakan bahwa jika memang wanita hamil dan menyusui tadi tidak mampu lagi menunaikan qodho’ puasa karena begitu banyak hari yang ditinggalkan serta usianya yang tidak kuat, maka mereka bisa mengganti puasanya dengan fidyah.

 

Tulisan kali ini akan kembali menguatkan pendapat dalam tulisan tersebut. Kami akan sertakan fatwa seorang faqih dari negeri Unaizah Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah. Dari fatwa ini akan nampak bahwa inilah pendapat pertengahan dalam perselisihan yang ada.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya,

“Ada seorang wanita di mana ia mengalami nifas di bulan Ramadhan, atau dia mengalami hamil atau dia sedang menyusui ketika itu. Apakah wajib baginya qodho’ ataukah dia menunaikan fidyah (memberi makan bagi setiap hari yang ditinggalkan)? Karena memang ada yang mengatakan pada kami bahwa mereka tidak perlu mengqodho’, namun cukup menunaikan fidyah saja. Kami mohon jawaban dalam masalah ini dengan disertai dalil.”

Beliau rahimahullah menjawab,

“Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan.

Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan bagi hamba-Nya puasa Ramadhan dan puasa ini adalah bagian dari rukun Islam. Allah telah mewajibkan bagi orang yang memiliki udzur tidak berpuasa untuk mengqodho’nya ketika udzurnya tersebut hilang. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa yang menyaksikan hilal, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengqodho’ puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak berpuasa karena ada udzur maka hendaklah ia mengqodho’ (mengganti) puasanya di hari yang lain. Wanita hamil, wanita menyusui, wanita nifas, wanita haidh, kesemuanya meninggalkan puasa Ramadhan karena ada udzur. Jika keadaan mereka seperti ini, maka wajib bagi mereka mengqodho’ puasa karena diqiyaskan dengan orang sakit dan musafir. Sedangkan untuk haidh telah ada dalil tegas tentang hal tersebut. Disebutkan dalam Bukhari Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya beliau ditanya oleh seorang wanita, “Mengapa wanita hadih diharuskan mengqodho’ puasa dan tidak diharuskan mengqodho’ shalat?” ‘Aisyah menjawab, “Dulu kami mendapati haidh. Kami diperintahkan (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk mengqodho’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.” Inilah dalilnya.

Adapun ada riwayat dari sebagian ulama salaf yang memerintahkan wanita hamil dan menyusui (jika tidak puasa) cukup fidyah (memberi makan) dan tidak perlu mengqodho’, maka yang dimaksudkan di sini adalah untuk mereka yang tidak mampu berpuasa selamanya. Dan bagi orang yang tidak dapat berpuasa selamanya seperti pada orang yang sudah tua dan orang yang sakit di mana sakitnya tidak diharapkan sembuhnya, maka wajib baginya menunaikan fidyah. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan satu orang miskin (bagi satu hari yang ditinggalkan). Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 184)

Allah Ta’ala telah menjadikan fidyah sebagai pengganti puasa di awal-awal diwajibkannya puasa, yaitu ketika manusia punya pilihan untuk menunaikan fidyah (memberi makan) dan berpuasa. Kemudian setelah itu, mereka diperintahkan untuk berpuasa saja.

[Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 17/121-122, Asy Syamilah]

***

Fatwa ini menjelaskan bahwa asalnya kewajiban wanita hamil dan menyusui ketika mereka tidak berpuasa adalah mengqodho’ puasa di hari lainnya (di saat mereka kuat untuk berpuasa). Namun jika keadaan mereka tidak mampu lagi menunaikan qodho’ puasa, maka diganti fidyah sebagaimana halnya orang yang sudah di usia senja dan tidak mampu lagi berpuasa. Dari sini penjelasan beliau rahimahullah di atas, menunjukkan bahwa kurang tepatnya sebagian orang yang mengeluarkan fidyah langsung padahal ia masih mampu mengqodho’ di hari lainnya.

Semoga sajian singkat ini bermanfaat.

Baca juga: Perselisihan Ulama Mengenai Puasa Wanita Hamil dan Menyusui

Diselesaikan di malam 8 Ramadhan 1431 H (17 Agustus 2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com

Artikel yang Terkait

42 Komentar

  1. Assalamu’alaikum
    tadz, ini saya tinjau dari ilmu biologi. Bagaimana bila wanita hamil saat romadhon dan dia berniat qodho. setelah beberapa bulan belum sempat qodho wanita tersebut hamil lagi dan ketemu romadhon lagi, sehingga pada saat romadhon berikutnya tersebut wanita itu terhalang puasa kalao tidak karena masih hamil ya sedang masa menyusui anak kedua. sebab wanita dapat hamil kembali walo setelah 3 bulan melahirkan, beberapa kasus ini saya ketahui dari internet (disaat hamil menyusui) juga istri saya sendiri hamil lagi saat anak pertama usia 9 bulan. mengingat hal tersebut -rasanya-hukum asal wanita hamil adalah fidyah tanpa perlu qodho. Kecuali setelah selesai nifas wanita tersebut melakukan KB, dan KB pun dalam hal ini bermasalah, yang dituntunkan azl, dengan azl pun sistem kalender qodarullah istri saya hamil lagi.. alhamdulillah.mohon tanggapannya.

    1. Wa’alaikumus salam.
      Hal yg sama bukan hanya terjadi pada saudara, namun ulama2 yg berpendapat wajibnya qodho’ puasa, istri2 mereka pun pernah demikian. Pernahkah mereka merasakan gelisah seperti anda? Tdk, buktinya saja ulama besar spt Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Ibnu Baz, yg juga memiliki banyak anak tetap mewajibkan qodho’. Orang yg hamil sangat tdk cocok dianalogikan dg orang tua renta lantas dikenakan fidyah. Krn memang mrk masih punya kemampuan qodho’ suatu saat nanti.
      Kecuali dengan catatan, wanita hamil dan menyusui tdk mampu lagi menqodho puasanya karena saking banyaknya qodho’ yg harus ia tanggung. Ketika itu barulah ada fidyah krn ia dikondisikan spt orang yg sdh tua rentah yang gak mungkin mampu puasa lagi. Jadi ia asalnya tetap qodho’.
      Coba lihat uraian panjang tentang masalah ini di sini:
      https://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3085-perselisihan-ulama-mengenai-puasa-wanita-hamil-dan-menyusui.html
      Semoga Allah beri taufik.

  2. Assalamualaikum wr. wb
    batas waktu mengganti puasa dilain hari maksudnya apakah boleh menggantinya melewati ramadhan di akan datang atau apakah harus sdh terbayar semua sebelum ramadhan ????? mohon penjelasannya……….. terima kasih
    Wasalam……

  3. Assalamu`alaikum
    Aditya saya sependapat dengan anda,karena memang tak ada dalil tegas menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui wajib mengqadha puasa dan bertentangan dengan realita yang ada. Buktinya kakak ipar saya setiap menyusui selalu lemas karena makanannya sebagian disedot oleh anaknya melalui cairan susu. Jazakallah.

    1. Wa’alaikumus salam.
      Dalil tegasnya dalam hadits telah disebutkan di sini: https://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3085-perselisihan-ulama-mengenai-puasa-wanita-hamil-dan-menyusui.html
      Jadi kami pun tidak setuju dikatakan itu adalah ijtihad ulama. Dalilnya adalah,

      إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ

      “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”[1]

      Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan,

      “Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[11]

    2. Assalamu`alaikum
      Saya sudah tanyakan hadits ini kepada ustadz abdul hakim,beliau mengatakan bahwa dalam hadits tak menunjukkan tata cara pembayaran puasa qadha bagi wanita hamil dan menyusui. Apabila memang atsar ibnu abbas dipersoalkan mengenai wanita hamil dan menyusui tapi mengapa mereka yang berpendapat wajib qadha kok tak mempersoalkan mengenai orang tua renta dan lainnya padahal ayat itu belum ternasakh,sekian dari ustadz abdul hakim. Saya tetap berpendapat seperti ustadz abdulhakim dan(maaf) saya ingin mengkritik ustadz abu ramaysho bagaimana ustadz bisa berpendapat bahwa atsar ibnu abbas dalam hal ini keliru padahal ustadz abu rumaysho dalam masalah menyentuh perempuan setelah berwudhu menguatkan Ibnu Abbas dg kaidah tafsir ibnu Abbas lebih didahulukan dari para sahabat lainnya di muslim.or.id

  4. Assalamu`alaikum
    Saya berterima kasih atas diberikannya kesempatan untuk sharing. Dan untuk kaum muslimin lainnya silakan anda memilih pendapat terkuat dan menenangkan hati anda. Serta bersatulah dan hargai pendapat yang berbeda dengan anda. Jazakallah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button