Aqidah

Para Sahabat Sangat Mencintai dan Mengagungkan Nabinya

Para sahabat –radhiyallahu ’anhum ajma’in- mendapatkan kemuliaan karena bertemu langsung dengan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Mereka memiliki kesempurnaan dalam mencintai dan pengagungan yang mengungguli manusia lainnya kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Belum ada dan tidak akan pernah ada orang-orang sesudah para sahabat ini yang menyamai cinta mereka.

Ali bin Abi Tholib –radhiyallahu ’anhu- pernah ditanya,”Bagaimana cinta kalian kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam?” Ia menjawab,”Demi Allah, beliau lebih kami cintai daripada harta, anak-anak, ayah, dan ibu kami serta kami juga lebih mencintai beliau daripada air dingin pada saat dahaga.
Abu Sufyan bin Harb –saat ia masih kafir- pernah bertanya kepada Zaid bin ad-Datsinah –radhiyallahu ’anhu-, (ketika dia dikeluarkan penduduk Mekkah dari al-Haram untuk dibunuh dan dia menjadi tawanan mereka): ”Katakanlah, demi Allah, wahai Zaid! Apakah kamu suka apabila Muhammad sekarang menggantikan kedudukanmu lalu kami memukul lehernya, sedangkan kamu berada di tengah keluargamu?” Dia menjawab,”Demi Allah, aku tidak rela bila Muhammad sekarang berada di tempatnya saat ini terkena sebuah duri yang menyakitinya, sedangkan aku duduk di tengah keluargaku.” Abu Sufyan berkata, ”Aku tidak pernah melihat seorang pun yang mencintai seseorang seperti kecintaan para sahabat Muhammad kepada Muhammad.”
Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ’anhu-, dia menuturkan, “Tatkala perang Uhud, para penduduk Madinah melarikan diri sambil berteriak, ’Muhammad terbunuh’ sehingga banyak teriakan di penjuru Madinah, maka keluarlah seorang perempuan dari Anshar dengan berikat pinggang. Kemudian ia diberi kabar mengenai kematian anak, ayah, suami, dan saudaranya. Saya tidak tahu siapakah di antara mereka yang terbunuh terlebih dahulu. Ketika perempuan ini melewati salah seorang dari mereka, ia bertanya,”Siapakah yang mati ini?” Mereka menjawab,”Ayahmu, saudaramu, suami, anakmu!” Namun dia malah bertanya,”Apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam?” Mereka menjawab,”Majulah ke depan.” Setelah sampai kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, ia memegang ujung baju beliau kemudian mengatakan,”Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah. Aku tidak peduli, asal engkau selamat dari orang yang jahat.” (HR. Ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan disebutkan dalam Majma’ Az Zawa’id, al-Haitsami, dan ia menyebutkan bahwa para perawinya terpercaya kecuali satu orang yang tidak dikenalnya)
Dalam sebuah riwayat, ia mengatakan,”Setiap musibah terasa ringan setelah melihatmu selamat.” (HR. Ibnu Hisyam dalam as Sirah; diriwayatkan pula oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah)
Amr bin al-Ash –radhiyallahu ’anhu- berkata,”Tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai daripada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan tidak ada yang lebih mulia di mataku dibandingkan beliau. Aku tidak mampu menatap beliau demi mengagungkannya. Seandainya aku ditanya, tentang sifat-sifat beliau, tentu aku tidak sanggup menyebutkannya, karena aku tidak pernah menatap beliau dengan pandangan yang tajam.”
Di antara keinginan menggebu-gebu para sahabat –radhiyallahu ’alaihim ajma’in- untuk memuliakan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan tidak menyakiti beliau ialah perkataan Anas bin Malik: ”Sungguh, pintu-pintu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dahulu diketuk dengan kuku.”
Tatkala turun firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al Hujurat: 2)
Ibnu az-Zubair berkata,”Umar tidak pernah memperdengarkan suaranya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah turun ayat ini, kecuali bila ingin meminta penjelasan pada beliau.” (Al Bukhari)
Sementara Tsabit bin Qais, orang yang suaranya sangat keras, pernah mengeraskan suaranya di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia duduk di rumahnya dengan kepala tertunduk karena dirinya merasa sebagai ahli neraka dengan sebab kerasnya suara tersebut, sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kabar gembira kepadanya dengan surga. (Lihat Al Bukhari)

Semoga kita dapat meneladani mereka dalam mencintai nabi kita shallallahu alaihi wa sallam.

Rujukan: Huququn Nabi bainal Ijlal wal Ikhlal, hal.70-73 Nantikan e-book: ’Mengenal Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam antara yang mencintai dan melecehkan’ Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya Muhammad Abduh Tuasikal, ST

Baca Juga:

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button