Cara Shalat di Pesawat (1)
Jika seseorang shalat di pesawat, di kapal, di dalam bis atau kendaraan lainnya, hendaknya mempertimbangkan hal-hal berikut ini.
1- Mempertimbangkan untuk menjamak shalat
Kalau dua shalat (Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya) bisa dijamak baik jamak takdim (di awal waktu) maupun jamak takhir (di akhir waktu), hendaklah dijamak selama jamak tadi tidak keluar dari waktunya.
Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah li Al Buhuts Al ‘Ilmiyyah wa Al Ifta’) ditanya, “Jika tiba waktu shalat, bolehkah kami shalat di pesawat ataukah tidak?”
Para ulama yang ada dalam komisi tersebut menjawab, “Jika tiba waktu shalat dan pesawat masih berada di udara dan khawatir akan habisnya waktu bila sampai ke bandara berikutnya, para ulama sepakat akan wajibnya menunaikan shalat (di waktunya) sesuai kemampuan. Ketika itu, ruku’, sujud, dan menghadap kiblat dilakukan sesuai kemampuan sebagaimana disebutkan dalam ayat,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah pada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghabun: 16)
Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika diperintahkan pada sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337)
Adapun jika diyakini bahwa pesawat bisa mendarat sebelum keluar waktunya, lalu shalat tersebut bisa dikerjakan dengan kadar yang cukup untuk menunaikannya atau shalat tersebut bisa dijamak dengan shalat lainnya, misalnya Zhuhur dan Ashar lalu Maghrib dan Isya, atau diketahui bahwa pesawat akan mendarat sebelum keluar waktu shalat kedua (jika shalat dijamak) dan ketika itu shalat tersebut masih bisa ditunaikan. Untuk kasus ini, mayoritas ulama (baca: jumhur) menyatakan bolehnya menunaikan kedua shalat yang dijamak tadi di pesawat karena adanya perintah untuk mengerjakan shalat tepat di waktunya.
Sedangkan ulama Malikiyah menyatakan tidak sahnya shalat di pesawat (ketika mampu shalat tersebut di kerjakan ketika turun dan masih dikerjakan di waktunya, -pen) karena syarat sahnya shalat adalah harus mengerjakan shalat di atas bumi atau di atas tempat yang bersambung dengan bumi seperti kendaraan atau perahu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid –tempat shalat- dan alat untuk bersuci.” Wa billahit taufiq.” (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah no. 145, 5: 290)
2- Asalnya, shalat fardhu dilakukan dengan turun dari kendaraan
Shalat fardhu diperintahkan turun dari kendaraan. Inilah kebiasaan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Jabir bin ’Abdillah, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya. Namun jika ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan menghadap kiblat.” (HR. Bukhari no. 400).
Kondisi di kapal dan di pesawat adalah kondisi sulit untuk turun dari kendaraan. Namun jika shalat wajib bisa dikerjakan dengan turun dari kendaraan, maka itu yang diperintahkan. Sehingga jika shalat wajib itu bisa dilakukan dengan turun dari kendaraan dengan cara dijamak dengan shalat sebelum atau sesudahnya, maka baiknya shalat tersebut dijamak.
Akan tetapi, jika khawatir keluar waktu shalat atau shalat tersebut tidak bisa dijamak, maka tetap yang jadi pilihan adalah shalat wajib tersebut dikerjakan di atas kendaraan. Tidak boleh sama sekali shalat tersebut diakhirkan. Semisal shalat Shubuh yang waktunya sempit, tetap harus dilaksanakan di atas kapal atau pesawat.
Melaksanakan shalat di atas kapal dihukumi sah menurut kesepakatan para ulama karena kapal sudah ada sejak masa silam. Sedangkan mengenai shalat di pesawat tersirat dari perkataan Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu’, beliau berkata, “Shalat seseorang itu sah walau ia berada di atas ranjang di udara.” (Al Majmu’, 3: 214). Sehingga dari perkataan beliau ini diambil hukum bolehnya shalat di atas pesawat, berbeda halnya dengan pendapat ulama Malikiyyah yang disebutkan sebelumnya.
Bersambung insya Allah …
—
Warak, Girisekar, Panggang, GK, 9 Rajab 1436 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Ikuti update artikel Rumaysho.Com di Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat (sudah 3,6 juta fans), Facebook Muhammad Abduh Tuasikal, Twitter @RumayshoCom, Instagram RumayshoCom
Untuk bertanya pada Ustadz, cukup tulis pertanyaan di kolom komentar. Jika ada kesempatan, beliau akan jawab.
Cukup artikel2nya yang ada.
Kalau shalat subuh di pesawat bagamaimana pak ustad?? Misal: perjalanan medan-bali kbrgakatan pukul 06.00 jam 05.00chek-in dan mnunggu.. sementara waktu masuk shalat subuh jam 05.10 waktu nedan..bolehkah shalatny stlh d dalm pesawat pukul 06.00??
Dalam waktu menunggu di bandara harusnya sdh shalat shubuh.