Umum

Hukum Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis

Sebelumnya telah dijelaskan mengenai hukum berjabat tangan. Berjabat tangan yang dimaksud adalah antara pria dan pria, wanita dan wanita. Adapun berjabat tangan dengan lawan jenis, maka ada hukum yang berbeda antara sesama mahram dan yang bukan mahram.

Menurut jumhur (baca: mayoritas) ulama, berjabat tangan sesama mahram dibolehkan dan dihukumi sunnah (dianjurkan).

Sedangkan berjabat tangan dengan yang bukan mahram, ada silang pendapat di antara para ulama, dibedakan antara berjabat tangan dengan yang sudah tidak punya rasa suka (syahwat) dan berjabat dengan yang masih muda.

Menurut Ulama Malikiyah, berjabat tangan dengan yang bukan mahram tetap tidak dibolehkan walaupun berjabat tangan dengan yang sudah sepuh dan tidak punya rasa apa-apa (tidak dengan syahwat). Mereka beralasan dengan keumuman dalil yang melarangnya.

Ulama Syafi’iyah mengharamkan berjabat tangan dengan yang bukan mahram, juga tidak mengecualikan yang sudah sepuh yang tak ada syahwat atau rasa apa-apa. Mereka pun tidak membedakannya dengan yang muda-muda.

Sedangkan yang membolehkan berjabat tangan dengan non mahram yang sudah tua (yang tidak ada syahwat) adalah ulama Hanafiyah dan ulama Hambali.

Namun untuk berjabat tangan dengan non mahram yang muda, maka tidak dibolehkan menurut mayoritas ulama dari madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dalam pendapat Ibnu Taimiyah, seperti itu dihukumi haram. Sedangkan ulama Hanafiyah mengaitkan larangan berjabat tangan dengan yang muda jika disertai syahwat (rasa suka padanya). Namun ulama Hambali melarang hal ini baik jabat tangan tersebut di balik kain ataukah tidak. (Lihat bahasan dalam Kunuz Riyadhis Sholihin, 11: 452)

Dalil-dalil yang melarang berjabat tangan dengan non mahram.

‘Urwah bin Az Zubair berkata bahwa ‘Aisyah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata,

كَانَتِ الْمُؤْمِنَاتُ إِذَا هَاجَرْنَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُمْتَحَنَّ بِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (يَا أَيُّهَا النَّبِىُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلاَ يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ. قَالَتْ عَائِشَةُ فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ فَقَدْ أَقَرَّ بِالْمِحْنَةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَقْرَرْنَ بِذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِنَّ قَالَ لَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « انْطَلِقْنَ فَقَدْ بَايَعْتُكُنَّ ». وَلاَ وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ. غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ – قَالَتْ عَائِشَةُ – وَاللَّهِ مَا أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى النِّسَاءِ قَطُّ إِلاَّ بِمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَمَا مَسَّتْ كَفُّ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَفَّ امْرَأَةٍ قَطُّ وَكَانَ يَقُولُ لَهُنَّ إِذَا أَخَذَ عَلَيْهِنَّ « قَدْ بَايَعْتُكُنَّ ». كَلاَمًا.

“Jika wanita mukminah berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka diuji dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina ….” (QS. Al Mumtahanah: 12). ‘Aisyah pun berkata, “Siapa saja wanita mukminah yang mengikrarkan hal ini, maka ia berarti telah diuji.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berkata ketika para wanita mukminah mengikrarkan yang demikian, “Kalian bisa pergi karena aku sudah membaiat kalian”. Namun -demi Allah- beliau sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun. Beliau hanya membaiat para wanita dengan ucapan beliau. ‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali sebagaimana yang Allah perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka. Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian.” (HR. Muslim no. 1866).

Dari Ma’qil bin Yasar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ

Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini sudah menunjukkan kerasnya ancaman perbuatan tersebut, walau hadits tersebut dipermasalahkan keshahihannya oleh ulama lainnya.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Selesai disusun di pagi penuh berkah di Pesantren DS Panggang, 3 Rabi’ul Akhir 1436 H

Yang mengharapkan ampunan dan rahmat Allah: Muhammad Abduh Tuasikal

Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh TuasikalFans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoComInstagram RumayshoCom

Segera pesan buku Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal yang membicarakan masalah natal dan loyal pada non muslim dengan judul “Natal, Hari Raya Siapa?” dan “Kesetiaan pada Non Muslim” di Toko Online Ruwaifi.Com via sms +62 852 00 171 222 atau BB 27EACDF5 atau WA +62 8222 604 2114. Kirim format pesan: buku natal dan kesetiaan#nama pemesan#alamat#no HP#jumlah buku. Harga Rp.20.000,- untuk dua buku (belum termasuk ongkir).

Saat ini masjid pesantren binaan Ustadz M. Abduh Tuasikal sedang direnovasi (dijadikan dua lantai) dan membutuhkan dana sekitar 1,5 Milyar rupiah. Dana yang masih kurang untuk pembangunan tahap kedua, dibutuhkan sekitar 850 juta rupiah, sekarang sudah terkumpul 350 juta rupiah.

Bagi yang ingin menyalurkan donasi renovasi masjid, silakan ditransfer ke: (1) BCA: 8610123881, (2) BNI Syariah: 0194475165, (3) BSM: 3107011155, (4) BRI: 0029-01-101480-50-9 [semua atas nama: Muhammad Abduh Tuasikal].

Jika sudah transfer, silakan konfirmasi ke nomor 0823 139 50 500 dengan contoh sms konfirmasi: Rini# Jogja# Rp.3.000.000#BCA#20 Mei 2012#renovasi masjid. Laporan donasi, silakan cek di sini.

Artikel yang Terkait

5 Komentar

  1. Assalamu`alaikum warohmatullah wabarokatuh.

    Mau nanya Ustadz, saya menemukan hadits-hadits ini di sebuah situs, yang dijadikan rujukan untuk membolehkan bersalaman dengan non mahram. Namun saya ragu. Menurut Ustadz bagaimana?
    Jazaakumullah khoiron.

    1. Imam Al-Bukhori dalam kitab Shahihnya meriwayatkan sebuha hadits dari sahabat Anas bin Malik, beliau berkata:

    إن كانت الأمة من إماء المدينة لتأخذ بيد رسول الله صلى الله عليه وسلم فتنطلق به حيث شاءت

    “Jika ia adalah budak wanita dari budak-budak Madinah, ia mengambil tangan Nabi saw kemudian membawa pergi kemana ia mau”,

    Dan hadits ini benar-benar shahih derajatnya. Dalam riwayat Imam Ahmad di Musnadnya serta Imam Al-Tirmidzi dalam Sunannya, ada tambahan teks dari hadits tersebut:

    فما ينزع يده من يدها

    “Dan Nabi saw tidak melepaskan genggaman tangannya dari tangannya (budak wanita)”

    Dan hadits ini dihasan-kan derajatnya oleh Al-Albani dalam Shahih Ibn Majah (4177), walaupun dalam sanadnya ada Ali bin Zaid bin Jad’an, dan dia itu Dhoif (lemah).

    2. Dalam kitab 2 shahih; Shahih Al-Bukhori dan Muslim, disebutkan sebuah hadits dari sahabat Anas bin Malik bahwa Nabi saw pernah mendatangi Ummu Haram binti Milhan yang merupakan istri dari sahabat Ubadah bin Shomit.

    فدخل عليها رسول الله صلى الله عليه وسلم فأطعمته ثم جلست تفلي رأسه فنام رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم استيقظ وهو يضحك

    “Nabi saw mendatangi Ummu Haram binti Milhan kemudian memberikannya makan, setelah itu Ummu Haram menyelisik (memijat kepala/menghilangkan kutu) kepala Nabi saw, sampai beliau saw tertidur. Kemudian beliau saw bangun dan tertawa”

    Perlu diketahui bahwa Ummu Haram bukan termasuk mahromnya Nabi saw. Al-Hafidz Al-Dimyathi membantah keras kepada mereka yang mengatakan bahwa Ummu Haram adalah mahrohnya Nabi saw. Ia dengan tegas mengatakan bahwa Ummu Haram bukan mahromnya Nabi dan mengeluarkan dalil-dalil atas apa yang dikatakannya itu. (Fathul-Baari 13/230)

    Sedangkan adanya anggapan bahwa apa yang terjadi dalam hadits itu (bersentuhan dengan lawan jenis non-mahrom) hanya dikhususkan untuk Nabi saw pun sudah dibantah oleh Al-Qadhi ‘Iyadh. Beliau mengatakan bahwa yang namanya pengkhususan tidak bisa ada kalau dalilnya itu Muhtamal (mengandung banyak tafsir), dan bahwa hukum asalnya dalam masalah ini tidak ada pengkhususannya dan boleh mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi saw.

    3. Dan juga riwayat yang menceritakan bahwa sahabat Abu Musa Al-Asy’ari yang salah satu dari wanita dari Bani Asy’ari menyelisik kepalanya dan ia (Abu Musa) dalam keadaan Muhrim (berihram) dalam haji. Dan ini shahih riwayat Imam Al-Bukhari.

    Sedangkan jika bersalaman dengan lawan jenis itu menimbulkan fitnah, maka itu dilarang dengan dalil [سد الذريعة] Sadd Al-Dzari’ah (memutus jalan) menuju fitnah itu terjadi. Buktinya bahwa Nabi saw membolehkan seorang kakek tua renta untuk mencium istrinya ketika puasa di bulan Ramadhan dan tidak membolehkan itu untuk anak muda yang juga datang bertanya tentang masalah yang sama.

    1. Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh

      1. Dalil yg saudara sebutkan bukan dalil tegas krn masih bisa dipahami ke makna lain. 2. Sedangkan hadits yg kami sebutkan dlm artikel begitu tegas melarang. Barakallahu fiikum.

  2. Bismillah. ustadz, saya kan belum lama ini baru berhijrah, in syaa Allah semoga istiqomah di lingkungan salafi dan tarbiyah ini, tetapi keluarga besar saya kebanyakan belum bisa menerima dgn keadaan saya yg seperti skrg ini krna di sini sangat kental dgn “NU” tulen. Nah, apalagi kalo masalah untuk menolak salaman ini ustadz, nnti mereka yg ada hanya beranggapan saya bagaimana gitu. Bagaimana ya ustadz cara biar mereka paham bahwa ini bukan krna “sok alim” ? Jazakallah ustadz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button