Shalat

Bulughul Maram – Shalat: Hukum Shalat Ketika Makanan Telah Tersaji dan Darurat Buang Hajat

Bagaimana jika makanan telah tersaji dan siap disantap, dahulukan shalat ataukah makan? Keadaan kedua, bagaimana kalau darurat ingin buang hajat, apakah shalat dilanjutkan ataukah buang hajat dahulu?

 

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

Kitab Shalat

بَابُ الحَثِّ عَلَى الخُشُوْعِ فِي الصَّلاَةِ

Bab Dorongan untuk Khusyuk dalam Shalat

Hukum Shalat Ketika Makanan Telah Tersaji dan Darurat Buang Hajat

Hadits #249

وَلَهُ: عَنْ عَائِشَة رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ، وَلاَ هُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبثَانِ».

Dan dari Imam Muslim, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan buang hajat (kencing atau buang air besar).” [HR. Muslim, no. 560]

 

Baca juga: Hukum Shalat Saat Makanan Telah Tersaji

 

Faedah hadits

  1. Kalimat “laa sholaata” bermakna naafi (peniadaan, artinya tidak ada). Namun, naafi (peniadaan) ini mengandung makna naahi (larangan). Menurut ulama balaghah, kalimat naafi itu lebih luar biasa dibandingkan kalimat naahi, artinya kalimat “tidak ada …” lebih dahsyat kandungannya dibanding kalimat “jangan …”.
  2. Menurut jumhur ulama, penafian (peniadaan) dalam hadits ini adalah nafyul kamaal (penafian kesempurnaan). Maksud hadits pada kalimat “tidak ada shalat” adalah “tidak sempurna shalatnya”, bukan maknanya shalatnya itu batal.
  3. Makanan telah tersaji, maksudnya adalah ketika itu makanan telah terhidangkan dan siap disantap.
  4. Maksud dari “yudaafi’uhu al-akhbatsaan” adalah menahan-nahan buang hajat (kencing dan buang air besar) yang darurat keluar.
  5. Dilarang shalat dalam keadaan “hudhuur ath-tha’aam”, yaitu disajikannya makanan yang ingin disantap. Larangan ini terkait dengan hadirnya makanan.
  6. Shalat itu adalah hubungan langsung antara kita dengan Allah. Shalat menjadi sempurna dengan hadirnya hati dan hilangnya berbagai macam kesibukan (gangguan pikiran). Sehingga makan didahulukan dari shalat agar shalat dapat dikerjakan dengan khusyuk dan menghadirkan hati, walaupun sampai luput mengerjakan shalat pada awal waktu atau luput dari shalat berjamaah.
  7. Kalau makanan belum tersajikan, jangan menunda shalat. Namun, kalau sudah ada tanda-tanda akan disajikan, dianggap seperti makanan telah tersajikan.
  8. Shalat dengan menahan-nahan buang hajat (kencing atau buang air besar) adalah terlarang. Karena menahan-nahan seperti itu menyibukkan hati, bahkan bisa memudaratkan badan. Jika dalam keadaan semacam itu boleh saja menunaikan hajat, lalu berwudhu, lalu shalat, walaupun nantinya luput dari shalat berjamaah.
  9. Shalat sendirian dalam keadaan hati yang khusyuk lebih penting dibandingkan shalat berjamaah dalam keadaan menahan-nahan buang hajat.
  10. Namun, jika yang ditahan adalah suatu yang sedikit saja, ia merasa ingin buang air kecil atau buang air besar, tidak sampai menahan-nahan sesuatu yang darurat keluar, maka shalatnya tidaklah masalah. Yang dilarang ditahan-tahan di sini adalah sesuatu yang sudah darurat keluar dan membahayakan bila ditunda-tunda.
  11. Jumhur ulama berpandangan bahwa kalau waktu shalat sempit, maka tetap mendahulukan shalat sambil menahan-nahan buang hajat. Namun, Imam Nawawi menyatakan dari sebagian ulama Syafiiyah bahwa ada pendapat lain yang menyatakan, buang hajat dipenuhi terlebih dahulu lalu mengerjakan shalat walau keluar waktu.
  12. Menahan buang hajat ini disamakan dengan menahan kentut yang seharusnya keluar. Juga hal tersebut disamakan dengan segala hal yang melalaikan orang yang shalat atau membuat tidak khusyuk ketika shalat. Misalnya adalah keadaan sangat panas atau sangat dingin, keadaan sangat lapar atau sangat haus. Keadaan seperti ini dianggap mengganggu kekhusyukan dalam shalat.
  13. Hadits ini berhubungan erat dengan hadits #240 dari Bulugh Al-Maram dari sahabat Anas bin Malik.

 

Baca juga: Hukum Shalat Sambil Menahan Kencing dan Kentut

 

Referensi:

Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan ketiga, Tahun 1431 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:457-460.

Rabu pagi, 15 Safar 1443 H, 22 September 2021

@ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button