Muslimah

Menikahi Wanita Hamil Karena Zina

Apa hukumnya menikahi wanita hamil karena zina?

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsanin ila yaumid diin.

Fenomena yang menjamur di kalangan muda-mudi saat ini, yang sulit terelakkan lagi adalah perzinaan, sebelum mendapat label sah sebagai pasangan suami istri. Hal ini sudah dianggap biasa di tengah-tengah masyarakat kita. Si wanita dengan menahan malu telah memiliki isi dalam perutnya. Namun masalah yang timbul adalah bolehkah wanita tersebut dinikahi ketika ia dalam kondisi hamil? Lalu apa akibat selanjutnya dari perbuatan zina semacam ini.

Semoga artikel sederhana berikut ini bisa memberikan pencerahan kepada orang-orang yang ingin mencari kebenaran. Hanya Allah yang beri taufik.

Bahaya Zina

Allahh Ta’ala dalam beberapa ayat telah menerangkan bahaya zina dan menganggapnya sebagai perbuatan amat buruk. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32)

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” (QS. Al Furqon: 68). Artinya, orang yang melakukan salah satu dosa yang disebutkan dalam ayat ini akan mendapatkan siksa dari perbuatan dosa yang ia lakukan.

Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” Beliau bersabda, “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan, padahal Dia-lah yang menciptakanmu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda, “Engkau membunuh anakmu yang dia makan bersamamu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda,

ثُمَّ أَنْ تُزَانِىَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ

Kemudian engkau berzina dengan istri tetanggamu.” Kemudian akhirnya Allah turunkan surat Al Furqon ayat 68 di atas.[1] Di sini menunjukkan besarnya dosa zina, apalagi berzina dengan istri tetangga.

Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا زَنَى الرَّجُلُ خَرَجَ مِنْهُ الإِيمَانُ كَانَ عَلَيْهِ كَالظُّلَّةِ فَإِذَا انْقَطَعَ رَجَعَ إِلَيْهِ الإِيمَانُ

Jika seseorang itu berzina, maka iman itu keluar dari dirinya seakan-akan dirinya sedang diliputi oleh gumpalan awan (di atas kepalanya). Jika dia lepas dari zina, maka iman itu akan kembali padanya.[2]

Inilah besarnya bahaya zina. Oleh karenanya, syariat Islam yang mulia dan begitu sempurna sampai menutup berbagai pintu agar setiap orang tidak terjerumus ke dalamnya. Namun itulah yang terjadi jika hal ini dilanggar, akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Terjerumuslah dalam dosa besar zina karena tidak mengindahkan berbagai jalan yang dapat mengantarkan pada zina seperti bentuk pacaran yang dilakukan muda-mudi saat ini. Jadilah di antara mereka hamil di luar nikah.

Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina

Ada beberapa fatwa ulama yang kami temukan, di antaranya adalah Fatwa Asy Syabkah Al Islamiyah no. 9644 mengenai syarat menikahi wanita yang dizinai, tanggal Fatwa 23 Jumadil Ula 1422 H.

Pertanyaan:

هل يجوز لشخص أن يتزوج من إمرأة زانية وهو يعلم أنها زنت قبل أن يتزوجها، وهو يريد أن يستر عليها لأنها قريبته، وأرجو الإفادة منكم ، هل يمكن معرفة المفتي . شكرا

Apakah boleh seseorang menikahi wanita yang dizinai dan ia tahu bahwa wanita tersebut betul telah dizinai sebelum menikahinya. Ia ingin menutup aibnya dengan menikahinya karena wanita tersebut masih kerabatnya. Aku ingin jawaban dari kalian mengenai hal ini. Apakah hal ini mungkin? Syukron.

Jawaban:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه وسلم أما بعد:

فإن الزواج من الزانية مختلف فيه ، فمن العلماء من يقول بصحته، ومنهم من يقول بمنعه ، وممن قال بمنعه الإمام أحمد، وهو قول يشهد له ظاهر الآية الكريمة ( الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك وحرم ذلك على المؤمنين ) [النور:3]

وعليه فلا يجوز لمن علم من امرأة أنها تزني أن يتزوجها إلا بشرطين: أحدهما: التوبة إلى الله تعالى، ثانيهما: استبراؤها. فإذا توفر الشرطان جاز الزواج منها ، والدليل على وجوب الاستبراء قوله صلى الله عليه وسلم فيما رواه أبو سعيد الخدري رضي الله عنه “لا توطأ حامل حتى تضع، ولا غير ذات حمل حتى تحيض حيضة”. أخرجه البغوي في شرح السنة وأبو داوود وقال ابن حجر في التلخيص إسناده حسن وصححه الحاكم وقال على شرط مسلم .

والخلاصة أن الزانية إذا تابت إلى ربها وتحققت براءة رحمها من ماء السفاح جاز نكاحها بأي غرض كان ، فإذا فقد أحد الشرطين لم يجز نكاحها؟ ولو بقصد الستر عليها، والتغطية على عملها القبيح .

والله أعلم.

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du:

Mengenai hukum menikahi wanita yang telah dizinai, maka ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa menikahi wanita tersebut dinilai sah. Sebagian ulama lainnya melarang hal ini. Di antara ulama yang melarangnya adalah Imam Ahmad. Pendapat ini didukung kuat dengan firman Allah Ta’ala,

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An Nur: 3)

Jika seseorang mengetahui bahwa wanita tersebut adalah wanita yang telah dizinai, maka ia boleh menikahi dirinya jika memenuhi dua syarat:

Pertama: Yang berzina tersebut bertaubat dengan sesungguhnya pada Allah Ta’ala.

Kedua: Istibro’ (membuktikan kosongnya rahim).

Jika dua syarat ini telah terpenuhi, maka wanita tersebut baru boleh dinikahi. Dalil yang mengharuskan adanya istibro’ adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً

Wanita hamil tidaklah disetubuhi hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil istibro’nya (membuktikan kosongnya rahim) sampai satu kali haidh.[3][4]

Ringkasnya, menikahi wanita yang telah dizinai jika wanita tersebut betul-betul telah bertaubat pada Allah dan telah melakukan istibro’ (membuktikan kosongnya rahim dari mani hasil zina), maka ketika dua syarat ini terpenuhi boleh menikahi dirinya dengan tujuan apa pun. Jika tidak terpenuhi dua syarat ini, maka tidak boleh menikahinya walaupun  dengan maksud untuk menutupi aibnya di masyarakat. Wallahu a’lam.[5] –Demikian Fatwa Asy Syabkah Al Islamiyah-.

Simpulannya, konsekuensi dari menikahi wanita hamil adalah nikahnya tidak sah, baik yang menikahinya adalah laki-laki yang menzinainya atau laki-laki lainnya. Inilah pendapat terkuat sebagaimana yang dipilih oleh para ulama Hambali dan Malikiyah karena didukung oleh dalil yang begitu gamblang. Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra’ terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan hubungan badan maka itu adalah zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus diulangi, bila telah selesai istibra’ dengan satu kali haidh dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan.

Status Anak Hasil Zina

Adapun nasab anak, ia dinasabkan kepada ibunya, bukan pada bapaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

Anak dinasabkan kepada pemilik ranjang. Sedangkan laki-laki yang menzinai hanya akan mendapatkan kerugian.[6]

Firasy adalah ranjang dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.

Inilah pendapat mayoritas ulama bahwa anak dari hasil zina tidak dinasabkan kepada bapaknya, alias dia adalah anak tanpa bapak. Namun anak tersebut dinasabkan pada ibu dan keluarga ibunya. Jika wanita yang hamil tadi dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya, maka anaknya tetap dinasabkan pada ibunya. Sedangkan suami tersebut, status anaknya hanyalah seperti robib (anak tiri). Jadi yang berlaku padanya adalah hukum anak tiri. Wallahu a’lam.[7]

Bila seseorang meyakini bahwa pernikahan semacam ini (menikahi wanita hamil) itu sah, baik karena taqlid (ngekor beo) kepada orang yang membolehkannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan itu sah, maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang kami ketahui. Meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil (tidak teranggap) di hadapan Allah dan RasulNya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya)”.[8]

Ringkasnya, anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya (walaupun itu jadi suaminya), konsekuensinya:

  1. Anak itu tidak berbapak.
  2. Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
  3. Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya bukan laki-laki tadi, namun walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali.

Penutup

Setelah kita melihat pembahasan di atas. Awalnya hamil di luar nikah (alias zina). Akhirnya karena nekad dinikahi ketika hamil, nikahnya pun tidak sah. Kalau nikahnya tidak sah berarti apa yang terjadi? Yang terjadi adalah zina. Keturunannya pun akhirnya rusak karena anak hasil zina tidak dinasabkan pada bapak hasil zina dengan ibunya. Gara-gara zina, akhirnya nasab menjadi rusak. Inilah akibat dari perbuatan zina. Setiap yang ditanam pasti akan dituai hasilnya. Jika yang ditanam keburukan, maka keburukan berikut pula yang didapat. Oleh karena itu, para salaf mengatakan,

مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا

Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.[9]

Semoga Allah senantiasa memberi taufik, memberikan kita kekuatan untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya.

Diselesaikan di Pangukan-Sleman, 9 Rabi’ul Akhir 1431 H (bertepatan dengan 24/03/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.remajaislam.com, dipublish ulang oleh https://rumaysho.com

 


[1] HR. Bukhari no. 7532 dan Muslim no. 86.

[2] HR. Abu Daud no. 4690 dan Tirmidzi no. 2625. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[3] HR. Abu Daud no. 2157. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[4] Catatan penting yang perlu diperhatikan: Redaksi hadits ini membicarakan tentang budak yang sebelumnya disetubuhi tuannya yang pertama, maka tuan yang kedua tidak boleh menyetubuhi dirinya sampai melakukan istibro’ yaitu menunggu sampai satu kali haidh atau sampai ia melahirkan anaknya jika ia hamil. Jadi jangan dipahami bahwa hadits ini membicarakan larangan untuk menyetubuhi istri yang sedang hamil.

[5] Lihat Fatwa Asy Syabkah Al Islamiyah, 2/4764, Asy Syamilah.

[6] HR. Bukhari no. 6749 dan Muslim no. 1457.

[7] Lihat Fatawa Asy Syabkah Al Islamiyah, 2/2587.

[8] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 32/66-67, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.

[9] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/417, Daar Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H

Artikel yang Terkait

119 Komentar

  1. Assalamu alaikum, ana sudah periksa dalam kitab Al Musnad Imam Asy Syafi’i dan kitab Al Umm, ternyata di sana ada kata hamil dalam kasus Umar di atas, yaitu kasus Mawhib. Berikut ana copy kan teks dari Al Umm:
    أخبرنا سفيان عن عبيدالله ابن أبى يزيد عن أبيه أن رجلا تزوج امرأة ولها ابنة من غيره وله ابن من غيرها ففجر الغلام بالجارية فظهر بها حمل فلما قدم عمر مكة رفع ذلك إليه فسألها فاعترفا فجلدهما عمر الحد وحرص أن يجمع بينهما فأبى الغلام
    ada kata (فظهر بها حمل).

  2. Assalamu’alaikum….
    Jika seorang anak terutama perempuan yang lahir karena zina ingin menikah, siapakah yang berhak menjadi walinya? apakah ibu anak tersebut? keluarga dari ibu anak tersebut? bolehkah walinya seorang perempuan, misal budhenya atau neneknya? atau pihak lain? Mohon diperinci. Terima kasih atas penjelasannya. Jazaakallah khairan.

  3. Assalamu ‘alaykum warahmatullah

    Ustadz muhammad abduh

    Pertama-tama apa yang ana akan sampaikan ini bukanlah sebagai bentuk taqlid buta. tapi yang akan ana sampaikan ini adalah untuk mempertanyakan pernyataan berikut:

    Berkata al-Ustadz Shalih Hadrami:

    “Fatwa yang membolehkan menikahi wanita hamil (karena zina) ASALKAN:

    – Yang menikahi adalah lelaki yang telah menghamilinya

    – dan menisbahkan anak yang lahir dari kehamilan tersebut kepada si lelaki yang menghamili”

    adalah FATWA BATIL DAN BERBAHAYA.”

    Pernyataan beliau ini benar.

    Tapi coba lihatlah kembali artikel Ustadz Abdulhakim DENGAN SEKSAMA, perkataan ini SANGAT JAUH dari apa yang DITUDUHKAN kepada al-Ustadz Hafizhahullah:

    Lihatlah perkataan beliau:

    “(PERTAMA:) BOLEH dia dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya dan menghamilinya…”

    apakah disini dikatakan:

    “wanita itu HARUS dinikahi oleh laki-laki yang menzinahi dan menghamilinya?”

    atau dikatakan:

    “wanita yang dizinai itu boleh dinikahkan ASALKAN orang yang menzinainya”?

    sebagaimana dikatakan oleh al-Ustadz Shalih Hadhrami dengan perkataan “membolehkan menikahi wanita hamil (karena zina) ASALKAN” ?

    setahu ana yang dikatakan al-Ustadz Abdulhakim diatas adalah BOLEH seseorang menikahi wanita yang pernah dizinahinya DAN PERNYATAAN INI PUN beliau RINCI-kan pada pernyataan SETELAHNYA (yang mungkin terluputkan oleh al-Ustadz Shalih)

    al-Ustadz Abdulhakim mengatakan:

    “KEDUA: Mereka pun MEMBERIKAN SYARAT agar keduanya bertaubat dan berbuat kebaikan (beramal shalih) dengan menyesal dan membenci perbuatan keduanya.”

    maka ini jelas-jelas SEJALAN dengan artikel antum. dan bukankah DIATAS antum mengatakan:

    “Mengenai hukum menikahi wanita yang telah dizinai, maka ADA PERBEDAAN PENDAPAT di antara para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa MENIKAHI WANITA TERSEBUT DINILAI SAH. Sebagian ulama lainnya melarang hal ini.”

    2. TUDUHAN al-Ustadz Shalih hadrami bahwa al-Ustadz Abdulhakim memfatwakan anak yang lahir dari kehamilan tersebut dinisbatkan kepada pria yang menzinainya pun SANGAT SANGAT SANGAT JAUH dari kebenaran.

    Lihatlah perkataan al-Ustadz Abdulhakim berikut:

    “…Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya BUKAN KEPADA LAKI-LAKI YANG MENZINAI DAN MENGHAMILI IBUNYA (bapak zinanya) walaupun akhirnya laki-laki itu menikahi ibunya dengan sah…”

    Maka ana harapkan al-Ustadz Shalih Hadrami dan antum untuk MENGOREKSI pernyataan yang SANGAT JAUH dari kebenaran ini. Dan ana harapkan antum untuk BENAR-BENAR SEKSAMA melihat permasalahan, dan tidak sembarangan mengutipkan sehingga dapat menyebabkan kerugian bagi antum.

    Semoga masukan ini DIPERLIHATKAN di comments antum, dan semoga antum segera MENGOREKSI apa yang telah antum tulis dan MENGUMUMKANnya dalam rangka memperbaiki KREDIBILITAS al-Ustadz yang telah dicemarkan akibat pernyataan YANG SANGAT JAUH dari kebenaran ini; terlebih lagi sampai mengatakan beliau ‘berfatwa dengan fatwa yang baathil dan berbahaya’.

    Semoga kita diberikan KETELITIAN dalam melihat suatu permasalahan dan TIDAK TERBURU-BURU untuk menghakiminya agar kita tidak jatuh kepada kerugian yang sangat besar.

    Semoga Allåh memudahkan kita menerima masukan dan nasehat orang lain.

    Wassalamu ‘alaykum warahmatullah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button