Apakah Istri Wajib Bisa Masak?
Apakah istri wajib bisa masak?
Menurut saya, istri mestinya bisa masak. Apalagi penilaian orang-orang terhadap istri yang bisa masak itu dianggap baik daripada yang tidak. Istri yang bisa masak dinilai pula sebagai wanita yang benar-benar menyenangkan suami.
Kalau demikian, wanita tersebut termasuk dalam hadits berikut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Apakah itu berarti memasak itu wajib bagi istri?
Ini kembali ke masalah apakah mengurus pekerjaan rumah itu wajib bagi istri ataukah tidak. Menurut jumhur atau mayoritas ulama pekerjaan tersebut tidaklah wajib.
Namun pendapat yang lebih baik apakah wajib ataukah tidak, ini dilihat dari urf atau kebiasaan masyarakat. Pendapat ini dianut oleh Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Apa maksudnya?
Jika masyarakat kota mungkin wajar punya pembantu. Pembantulah yang mengurus urusan rumah, mulai dari memasak, mencuci, menyetrika bahkan sampai mengurus anak. Contohnya pula di sini, di Saudi Arabia, suatu hal yang wajar jikalau kaum muslimin di sana rata-rata memiliki pembantu rumah tangga di rumahnya. Kalau memang urf atau kebiasaannya seperti itu, maka suami bisa dituntut menyediakan pembantu.
Sedangkan bagi wanita yang hidup di desa menganggap lumrah dan wajar mengerjakan itu semua seorang diri kecuali memang berat barulah dicarikan pembantu. Namun asalnya wanita pedesaan menganggap semua itu memang sudah jadi kewajibannya sebagai seorang istri. Ketika bangun pagi sudah menyajikan sarapan dan menghidangkan teh, lanjut mencuci, dan menyetrika di siang hari. Mereka pun tahu harus momong dan mengasuh anak-anak. Namun suami tetap dituntut peran sertanya oleh wanita desa untuk meringankan bebannya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
ثُمَّ مِنْ هَؤُلَاءِ مَنْ قَالَ: تَجِبُ الْخِدْمَةُ الْيَسِيرَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: تَجِبُ الْخِدْمَةُ بِالْمَعْرُوفِ، وَهَذَا هُوَ الصَّوَابُ، فَعَلَيْهَا أَنْ تَخْدُمَهُ الْخِدْمَةَ الْمَعْرُوفَةَ مِنْ مِثْلِهَا لِمِثْلِهِ، وَيَتَنَوَّعُ ذَلِكَ بِتَنَوُّعِ الْأَحْوَالِ: فَخِدْمَةُ الْبَدْوِيَّةِ لَيْسَتْ كَخِدْمَةِ الْقَرَوِيَّةِ، وَخِدْمَةُ الْقَوِيَّةِ لَيْسَتْ كَخِدْمَةِ الضَّعِيفَةِ. الفتاوى الكبرى .
“Ada ulama yang menyatakan bahwa wajib bagi istri mengurus pekerjaan rumah yang ringan. Sebagian ulama menyatakan bahwa yang wajib adalah yang dianggap oleh urf (kebiasaan masyarakat). Pendapat yang terakhir inilah yang lebih tepat. Hendaklah wanita mengurus pekerjaan rumah sesuai dengan yang berlaku di masyarakatnya, itulah yang ia tunaikan pada suami. Ini semua akan berbeda-beda tergantung kondisi. Orang badui dibanding orang kota tentu berbeda dalam mengurus rumah. Begitu pula istri yang kuat dengan istri yang lemah kondisinya berbeda pula dalam hal mengurus rumah.” (Disebutkan dalam Fatawa Al Kubro)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Fatawa Nur ‘alad Darb berkata,
فعليهن مثل ما عليهم بالمعروف، ولهن ما لهم بالمعروف، وبناءً على ذلك فإننا قد نقول في وقت من الأوقات إنه يلزمها أن تخدم زوجها في الطبخ وغسيل الأواني وغسيل ثيابه وثيابها وثياب أولادها وحضانة ولدها والقيام بمصالحه، وقد نقول في وقت آخر إنه لا يلزمها أن تطبخ ولا يلزمها أن تغسل ثيابها ولا ثياب زوجها ولا ثياب أولادها حسب ما يجري به العرف المتبع المعتاد
“Istri punya kewajiban untuk mengurus rumahnya sebagaimana yang berlaku di masyarakatnya. Berdasarkan hal itu, kami akan berkata berbeda untuk setiap zaman. Mungkin satu waktu, mengurus rumah dengan memasak, membersihkan perkakas, mencuci pakaian suami, pakaiannya dan pakaian anak-anak itu wajib. Begitu pula dalam hal mengurus anak-anak dan mengurus hal-hal yang maslahat di rumah jadi harus. Namun hal ini bisa jadi berbeda di zaman yang berbeda. Di suatu zaman bisa jadi memasak bukan jadi kewajiban, begitu pula dalam hal mencuci pakaian di rumah untuk suami dan anak-anak. Jadi apa yang berlaku di masyarakat, itulah yang diikuti.”
Perlu diingatkan bahwa tetap mengurus rumah tangga bagi istri itu lebih utama daripada ia keluar rumah. Allah berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu” (QS Al Ahzab: 33).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas bahwa janganlah wanita keluar rumah kecuali ada hajat seperti ingin menunaikan shalat di masjid selama memenuhi syarat-syaratnya. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 182).
Semoga manfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
—
Selesai disusun di pagi penuh berkah di Pesantren DS, 23 Dzulqo’dah 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal, Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom, Instagram RumayshoCom
—
Milikilah buku karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal yang membahas qurban dan aqiqah secara lengkap dengan judul “Panduan Qurban dan Aqiqah”. Harga Rp.23.000,-, terbitan Pustaka Muslim Yogyakarta. Lihat infonya di sini.
Segera pesan via sms +62 852 00 171 222 atau BB 27EACDF5 atau WA +62 8222 604 2114. Kirim format pesan: buku qurban#nama pemesan#alamat#no HP#jumlah buku.
Satu Komentar