Antara Suami dan Orang Tua: Mana yang Didahulukan oleh Istri dalam Islam?
Rumah tangga yang baik dalam Islam adalah rumah tangga yang dibangun di atas ketaatan kepada Allah dan mencari ridha-Nya. Namun, sering muncul pertanyaan: ketika seorang istri berada dalam dilema antara memenuhi hak suami dan hak orang tua, mana yang harus didahulukan?
Hak Suami Lebih Besar Setelah Menikah
Dalam syariat, ketika seorang wanita telah menikah, kewajiban utama dan pertama adalah kepada suaminya, selama suami tidak memerintahkan kepada maksiat. Nabi ﷺ bersabda:
لو كنتُ آمِرًا أحدًا أن يسجدَ لأحدٍ، لأمرتُ المرأةَ أن تسجدَ لزوجِها
“Sekiranya aku boleh memerintahkan seseorang sujud kepada selain Allah, niscaya aku perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.” (HR. Abu Daud, no. 2140)
Dari Qais bin Sa’ad:
Aku pernah pergi ke daerah al-Hīrah. Di sana, aku melihat masyarakat setempat bersujud kepada seorang pemimpin mereka yang bergelar marzabān. Melihat hal itu, aku berkata dalam hati, “Rasulullah jauh lebih berhak untuk disujudkan.”
Setelah kembali, aku menemui Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku baru saja datang dari al-Hīrah. Aku melihat mereka bersujud kepada seorang marzabān. Engkau, wahai Rasulullah, lebih berhak untuk kami sujud kepadamu.”
Beliau pun bersabda, “Bagaimana menurutmu, jika engkau melewati kuburanku kelak, apakah engkau akan bersujud di hadapannya?”
Aku menjawab, “Tidak.”
Beliau berkata, “Kalau begitu jangan lakukan hal itu. Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku akan memerintahkan para istri untuk bersujud kepada suami-suami mereka, karena besarnya hak suami yang Allah berikan atas mereka.” (HR. Abu Dawud no. 2140. Dinilai sahih oleh Al-Albani, kecuali kalimat tentang kubur).
Keterangan:
Sujud sebagai bentuk pengagungan dan ibadah adalah ibadah khusus yang hanya boleh ditujukan kepada Allah semata. Hadits ini menceritakan pengalaman Qais bin Sa‘d radhiyallāhu ‘anhu ketika berkunjung ke al-Hīrah, sebuah kota tua di Irak dekat Kufah, yang dahulu menjadi tempat tinggal para raja.
Di sana ia melihat orang-orang bersujud kepada marzabān, yaitu seorang bangsawan atau panglima pemberani yang memimpin masyarakat, meskipun bukan raja. Melihat penghormatan itu, Qais merasa bahwa Rasulullah ﷺ jauh lebih layak menerima bentuk penghormatan seperti itu, mengingat beliau adalah makhluk Allah yang paling mulia.
Namun ketika Qais menyampaikan niatnya untuk bersujud kepada Nabi ﷺ, beliau menolaknya dengan pertanyaan yang menggugah: “Bagaimana jika kelak kamu lewat di kuburanku, apakah kamu akan sujud kepadanya?” Nabi ﷺ menggunakan gambaran ini karena kebiasaan banyak kaum terdahulu yang bersujud di makam tokoh-tokoh besar mereka.
Setelah Qais menjawab tidak, barulah Nabi ﷺ menegaskan, “Kalau begitu jangan sujud kepadaku.” Ini adalah penegasan bahwa sujud, dalam bentuk apa pun, tidak boleh diberikan kepada selain Allah.
Nabi ﷺ kemudian menambahkan, “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan para istri untuk bersujud kepada suami mereka.”
Ini bukan perintah untuk bersujud, tetapi gambaran tentang betapa besarnya hak suami dalam rumah tangga, hingga jika sujud kepada makhluk dibolehkan (padahal tidak boleh), maka suamilah yang paling berhak mendapatkannya.
Dalam sebagian riwayat sahih lainnya terdapat tambahan:
«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا…»
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seorang istri tidak akan bisa menunaikan hak Rabb-nya sampai ia menunaikan hak suaminya…”
Riwayat itu juga menjelaskan perumpamaan bahwa bahkan dalam kondisi sangat sulit—seperti berada di atas qatab (kursi pelana unta yang digunakan wanita Arab saat mengandung atau bersalin)—seorang istri tetap dianjurkan untuk tidak menolak kebutuhan suaminya. Maksud utamanya adalah menegaskan urgensi ketaatan dan pelayanan istri kepada suami, bukan menuntut sesuatu yang tidak manusiawi.
Juga sabda Nabi ﷺ:
إذا صلَّتِ المرأةُ خَمْسَها ، و صامَت شهرَها ، و حصَّنَتْ فرجَها ، وأطاعَت زوجَها ، قيلَ لها : ادخُلي الجنَّةَ مِن أيِّ أبوابِ الجنَّةِ شِئتِ
“Apabila seorang wanita menunaikan shalat lima waktunya, berpuasa pada bulan (Ramadhan)-nya, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah ke dalam surga melalui pintu mana pun yang engkau kehendaki.’” (HR. Ibnu Hibban, no. 4163 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, 4715)
Ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada suami adalah ibadah besar bagi istri.
Orang Tua Tetap Wajib Dihormati dan Berbakti
Berbakti kepada kedua orang tua (birrul walidain) tetap wajib dan tidak gugur meskipun sudah menikah. Namun, caranya disesuaikan dengan kondisi baru dan izin suami. Allah Ta’ala berfirman:
۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23)
Artinya, istri tetap berbakti kepada orang tua tanpa mengabaikan hak suami. Jika terjadi konflik, maka suami yang lebih berhak untuk ditaati.
Bila Suami Melarang yang Wajib
Jika suami melarang istri melakukan hal yang wajib seperti membantu orang tua yang sakit tanpa ada pengganti, maka tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan:
لا طاعةَ لمخلوقٍ في معصيةِ الخالقِ.
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Khaliq.” (HR. Ahmad)
Ketaatan kepada suami berhenti ketika perintahnya bertentangan dengan syariat.
Kaidah Utama
Hak suami didahulukan dalam urusan rumah tangga,
sedangkan hak orang tua dipenuhi tanpa menzalimi suami.
Peran Suami yang Bijak
Suami yang baik tidak menghalangi istrinya berbakti kepada orang tuanya, karena itu bagian dari kebaikan dan keberkahan dalam rumah tangga. Bahkan Nabi ﷺ menegaskan bahwa menjaga silaturahmi adalah sebab rahmat dan rezeki.
—-
@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Sabtu Sore, 06-12-2025, 16 Jumadilakhir 1447 H
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com



