Shalat

Siapa yang Pantas Menjadi Imam?

Pembahasan tentang imam dan makmum dalam shalat merupakan salah satu topik penting dalam fikih ibadah. Sebab, shalat berjamaah adalah syiar besar dalam Islam, ibadah yang memperlihatkan kekhusyukan sekaligus kerapian umat. Keabsahan shalat berjamaah tidak hanya bergantung pada gerakan dan bacaan, tetapi juga pada syarat-syarat imamah, yaitu siapa yang layak menjadi imam dan siapa yang sah bermakmum kepadanya.

Para ulama Syafi‘iyyah memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini. Banyak pertanyaan muncul dari masyarakat: Apakah anak kecil boleh menjadi imam? Apakah sah bermakmum kepada perempuan? Bagaimana bila imam kurang fasih membaca al-Fātiḥah? Apakah budak boleh mengimami orang merdeka? Bagaimana jika kita ragu bacaan imam?

Semua pertanyaan ini telah dijawab secara rinci oleh para ulama klasik dalam kitab-kitab fikih, termasuk oleh Al-Qādhī Abū Syuja‘ rahimahullah dalam Matan At-Taqrīb, lalu dijelaskan lebih luas oleh para pensyarah seperti dalam Fathul Qarīb dan Kifāyatul Akhyār.

Bahasan ini menjadi penting bukan hanya untuk memahami hukum, tetapi juga untuk menjaga ketertiban ibadah dan menghindari kekeliruan yang dapat membatalkan shalat berjamaah. Dengan mengetahui aturan imamah secara benar, masyarakat akan lebih tenang dalam menjalankan ibadah dan lebih berhati-hati dalam memilih imam yang sah.

 

Pembahasan berikut menguraikan empat hal pokok:

  1. Bolehnya bermakmum kepada hamba sahaya dan anak mumayyiz.
  2. Tidak sah bermakmum kepada perempuan atau khuntsa musykil.
  3. Tidak sah bermakmum kepada orang yang tidak fasih membaca al-Fātiḥah (ummi).
  4. Hukum bermakmum kepada imam yang diragukan bacaannya atau diragukan kelayakannya.

Dengan memahami rincian ini, kita dapat melihat betapa telitinya para ulama dalam menjaga kesempurnaan shalat. Semoga Allah memberi taufik kepada kita untuk beribadah sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ.

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata:

وَيَجُوزُ أَنْ يَأْتَمَّ الْحُرُّ بِالْعَبْدِ، وَالْبَالِغُ بِالْمُرَاهِقِ، وَلَا تَصِحُّ قُدْوَةُ رَجُلٍ بِامْرَأَةٍ، وَلَا قَارِئٍ بِأُمِّيٍّ.

“Boleh bagi seorang laki-laki merdeka bermakmum kepada seorang hamba sahaya, dan orang yang sudah baligh boleh bermakmum kepada remaja yang telah tamyiz. Namun, tidak sah seorang laki-laki bermakmum kepada perempuan, dan tidak sah pula orang yang mampu membaca (Al-Fatihah) bermakmum kepada orang yang ummi, yaitu yang tidak mampu membaca dengan benar.”

 

Penjelasan

Dalam Fathul Qarib disebutkan:

Boleh bagi seorang laki-laki merdeka bermakmum kepada hamba sahaya, dan orang yang sudah baligh boleh bermakmum kepada remaja yang telah tamyiz. Adapun anak kecil yang belum mumayyiz, maka tidak sah menjadi imam bagi orang lain.

Seorang laki-laki tidak sah bermakmum kepada perempuan, begitu pula tidak sah bermakmum kepada khuntsa musykil (yang tidak jelas jenis kelaminnya). Demikian pula seorang khuntsa musykil tidak sah bermakmum kepada perempuan atau kepada sesama khuntsa musykil.

Orang yang mampu membaca Al-Fatihah dengan baik (disebut qāri’), tidak sah bermakmum kepada orang yang ummi, yaitu seseorang yang keliru dalam satu huruf atau satu tasydid dari bacaan Al-Fatihahnya.

Dalam Kifayatul Akhyar disebutkan:

Adapun kebolehan bermakmum kepada seorang hamba sahaya, hal ini karena telah diriwayatkan bahwa ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā

كَانَ يُؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ

“Budak laki-lakinya, Dzakwān, pernah mengimaminya.”

Benar bahwa orang merdeka lebih utama menjadi imam daripada seorang hamba sahaya, karena posisi imam adalah kedudukan mulia, sehingga orang merdeka lebih pantas memegangnya.

Sedangkan kebolehan bermakmum kepada anak kecil (shabii), itu karena ‘Amr bin Salamah radhiyallāhu ‘anhu pernah mengimami kaumnya di masa Rasulullah ﷺ, padahal saat itu ia masih berusia enam atau tujuh tahun.

Memang benar bahwa orang dewasa (bāligh) lebih utama menjadi imam dibandingkan anak kecil, sekalipun si anak lebih faqih dan lebih baik bacaannya. Hal ini karena telah terjadi ijmak atas sahnya bermakmum kepada anak kecil yang sudah tamyiz, berbeda dengan anak kecil yang belum tamyiz. Selain itu, orang baligh shalatnya wajib sehingga ia lebih menjaga batasan-batasan shalat.

Ucapan Ar-Rāfi‘ī menunjukkan tidak adanya unsur makruh dalam masalah anak kecil menjadi imam. Namun, dalam kitab Al-Buwayṭī terdapat pernyataan yang tegas bahwa hal itu makruh. Semua pembahasan ini khusus mengenai anak kecil yang mumayyiz.

Adapun anak kecil yang belum mumayyiz, maka shalatnya batal, karena ia tidak memiliki kemampuan berniat.”

(وَلَا يَأْتَمُّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا قَارِئٌ بِأُمِّيّ)

“Seorang laki-laki tidak boleh bermakmum kepada perempuan, dan seorang yang mampu membaca (al-Fātiḥah) tidak boleh bermakmum kepada orang yang ummi.”

Tidak sah bagi laki-laki bermakmum kepada perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:

{ٱلرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ}

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.”

Juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

(أَخِّرُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَخَّرَهُنَّ اللَّهُ)

“Tempatkanlah perempuan di posisi yang Allah tempatkan (di belakang).”

Dan sabda Nabi ﷺ yang lain:

(أَلَا لَا تُؤَمَّنَ امْرَأَةٌ رَجُلًا)

“Ketahuilah, tidak boleh seorang perempuan mengimami laki-laki.”

Sebagian ulama juga berdalil dengan sabda Nabi ﷺ:

(لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً)

Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan.”

Perempuan dianggap ‘aurat dan menjadi imam bagi laki-laki dapat menimbulkan fitnah.

Adapun mengenai seorang qāri’—yaitu orang yang mampu membaca al-Fātiḥah dengan baik—yang bermakmum kepada seorang ummi—yaitu orang yang tidak hafal al-Fātiḥah—maka terdapat dua pendapat mengenai sah tidaknya shalat tersebut.

Pendapat baru (al-qawl al-jadīd) yang lebih kuat adalah tidak sah, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

(يُؤَمُّ الْقَوْمُ أَقْرَؤُهُمْ)

“Yang paling baik bacaannya di antara satu kaum, dialah yang berhak menjadi imam.”

Karena itu, tidak boleh menyelisihi ketentuan ini dengan menjadikan orang yang paling baik bacaannya sebagai makmum. Selain itu, imam berada pada posisi untuk menanggung bacaan makmum apabila si makmum mendapatkan rakaat imam dalam keadaan rukuk. Sementara orang yang ummi (tidak mampu membaca al-Fātiḥah dengan benar) bukanlah orang yang layak menanggung bacaan tersebut.

Yang termasuk kategori ummi adalah:

  • Al-aratّ (الأَرَتّ): orang yang menggabungkan satu huruf ke huruf lain pada tempat yang bukan tempat idghām.
  • Al-altsagh (الألثغ): orang yang mengganti satu huruf dengan huruf lain, seperti huruf rā’ diganti ghain, atau huruf kāf diganti hamzah.
  • Termasuk pula orang yang lisannya terlalu lemah sehingga tidak mampu melakukan tasydid (pengucapan huruf ganda) sebagaimana mestinya.

Perbedaan pendapat para ulama di atas berlaku untuk seseorang yang lisannya memang tidak mampu mengikuti (berucap benar), atau sebenarnya mampu tetapi belum berlalu waktu yang cukup untuk belajar.

Adapun jika telah berlalu waktu yang cukup untuk belajar, namun ia tetap tidak belajar dan memilih meninggalkan pembelajaran, maka tidak sah bermakmum kepadanya menurut kesepakatan ulama. Hal ini karena shalatnya pada kondisi tersebut dihukumi sebagai shalat qadhā’, seperti orang yang tidak menemukan air maupun tanah untuk bersuci.

Adapun orang ummi bermakmum kepada sesama ummi, maka shalatnya tetap sah—sebagaimana seorang perempuan sah bermakmum kepada perempuan lain.

Catatan:

  • Jika seseorang bermakmum dalam shalat sirriyyah (shalat yang bacaannya lirih) kepada imam yang ia tidak tahu apakah imam tersebut ummi atau bukan, maka shalatnya tetap sah, dan ia tidak wajib mencari tahu. Ia boleh berprasangka baik terhadap keadaan imam dan menganggap imam itu termasuk orang yang mampu membaca, sebagaimana ia boleh berprasangka bahwa imam tersebut dalam keadaan suci.
  • Namun, bila ia bermakmum kepadanya dalam shalat jahriyyah (shalat yang bacaannya dikeraskan), lalu imam tersebut membaca dengan lirih, maka makmum wajib mengulangi shalatnya. Hal ini dinukil oleh para ulama Irak dari nash Imam Asy-Syāfi‘ī, karena secara lahiriah jika imam itu mampu membaca dengan benar, tentu ia akan mengeraskan bacaannya (sebagaimana hukum shalat jahriyyah).
  • Akan tetapi, jika imam berkata, ‘Aku membaca lirih karena lupa,’ atau berkata, ‘Aku membaca lirih karena hal itu diperbolehkan,’ maka tidak wajib mengulang shalat.

Wallāhu a‘lam.

 

Referensi: Matan Abu Syuja’, Fathul Qarib, Kifayatul Akhyar

 

Disusun di Pondok Pesantren Darush Sholihin, 14 Jumadilakhir 1447 H, 4 Desember 2025

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Prove your humanity: 4   +   8   =  

Back to top button