Tips Islam untuk Mengatasi Burnout dan Menyeimbangkan Keluarga serta Karir
Pentingnya Keseimbangan antara Pekerjaan dan Rumah Tangga
Di era modern ini, tekanan dan tuntutan pekerjaan semakin meningkat, sehingga banyak individu yang menghadapi kesulitan dalam menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan rumah tangga. Ketidakseimbangan ini berdampak negatif, terutama pada kesehatan mental dan kualitas hubungan dalam keluarga. Ketika seseorang terlalu fokus pada pekerjaan, perhatian terhadap keluarga sering kali terabaikan, yang bisa memicu stres, kelelahan, dan bahkan burnout. Dampak jangka panjangnya dapat mengakibatkan ketidakharmonisan keluarga dan masalah emosional yang serius, baik bagi individu maupun keluarganya.
Dalam Islam, menjaga keseimbangan antara tanggung jawab duniawi dan keluarga merupakan hal yang sangat dianjurkan. Allah mengingatkan kita bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki hak, termasuk pekerjaan dan keluarga. Seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an:
Dalil dari Al-Qur’an
وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77)
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang Muslim seharusnya mencari keseimbangan dalam hidupnya. Meskipun mereka mengejar kesuksesan di dunia, mereka juga harus memprioritaskan tanggung jawabnya kepada keluarga sebagai bentuk kebaikan dan kepedulian terhadap kehidupan dunia yang Allah anugerahkan.
Yang dimaksud ayat,
وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Jangan melupakan nasibmu di dunia”.
Imam Ibnu Katsir -semoga Allah merahmati beliau- menyebutkan dalam kitab tafsirnya,
{ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا } أي: مما أباح الله فيها من المآكل والمشارب والملابس والمساكن والمناكح، فإن لربك عليك حقًّا، ولنفسك عليك حقًّا، ولأهلك عليك حقًّا، ولزورك عليك حقا، فآت كل ذي حق حقه.
“Janganlah engkau melupakan nasibmu dari kehidupan dunia yaitu dari yang Allah bolehkan berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan menikah. Rabbmu masih memiliki hak darimu. Dirimu juga memiliki hak. Keluargamu juga memiliki hak. Istrimu pun memiliki hak. Maka tunaikanlah hak-hak setiap yang memiliki hak.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6:37).
Dalam Tafsir Al Jalalain (hal. 405) disebutkan maksud dari ayat tersebut,
{ وَلاَ تَنسَ } تترك { نَصِيبَكَ مِنَ الدنيا } أي أن تعمل فيها للآخرة
“Janganlah engkau tinggalkan nasibmu di dunia yaitu hendaklah di dunia ini engkau beramal untuk akhiratmu.” Sangat jelas apa yang dimaksudkan dalam Tafsir Al-Jalalain bahwa yang dimaksud ayat di atas bukan berarti kita harus menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Namun, tetap ketika di dunia, setiap aktivitas kita ditujukan untuk kehidupan selanjutnya di akhirat. Jadikan belajar kita di bangku kuliah sebagai cara untuk membahagiakan orang banyak. Jadikan usaha atau bisnis kita bisa bermanfaat bagi kaum muslimin. Karena semakin banyak yang mengambil manfaat dari usaha dan kerja keras kita di dunia, maka semakin banyak pahala yang mengalir untuk kita. Karena sebaik-baik manusia, merekalah yang ‘anfa’uhum linnaas’, yang paling banyak memberi manfaat untuk orang banyak.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Taisir Karimir Rahman (hal. 623), “Engkau telah menggenggam berbagai cara untuk menggapai kebahagiaan akhirat dengan harta, yang harta tersebut tidaklah dimiliki selainmu. Haraplah dengan harta tersebut untuk menggapai ridho Allah. Janganlah nikmat dunia digunakan untuk memenuhi syahwat dan kelezatan semata. Jangan pula sampai lupa nasibmu di dunia, yaitu Allah tidak memerintahkan supaya manusia menginfakkan seluruh hartanya, sehingga lalai dari menafkahi yang wajib. Namun infaklah dengan niatan untuk akhiratmu. Bersenang-senanglah pula dengan duniamu namun jangan sampai melalaikan agama dan membahayakan kehidupan akhiratmu kelak.”
Dalil dari Hadits
Dari Abu Juhaifah Wahb bin ‘Abdullah berkata,
آخَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ سَلْمَانَ ، وَأَبِى الدَّرْدَاءِ ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً . فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِى الدُّنْيَا . فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا . فَقَالَ كُلْ . قَالَ فَإِنِّى صَائِمٌ . قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ . قَالَ فَأَكَلَ . فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ . قَالَ نَمْ . فَنَامَ ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ . فَقَالَ نَمْ . فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ . فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ . فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « صَدَقَ سَلْمَانُ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Tatkala Salman bertandang (ziarah) ke rumah Abu Darda’, ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam keadaan mengenakan pakaian yang serba kusut. Salman pun bertanya padanya, “Mengapa keadaan kamu seperti itu?” Wanita itu menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak mempunyai hajat lagi pada keduniaan.”
Kemudian Abu Darda’ datang dan ia membuatkan makanan untuk Salman. Setelah selesai Abu Darda’ berkata kepada Salman, “Makanlah, karena saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sebelum engkau pun makan.” Maka Abu Darda’ pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk mengerjakan shalat malam. Salman pun berkata padanya, “Tidurlah.” Abu Darda’ pun tidur kembali.
Ketika Abu Darda’ bangun hendak mengerjakan shalat malam, Salman lagi berkata padanya, “Tidurlah!” Hingga pada akhir malam, Salman berkata, “Bangunlah.” Lalu mereka shalat bersama-sama. Setelah itu, Salman berkata kepadanya, “Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.”
Kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi. Beliau lantas bersabda, “Salman itu benar.” (HR. Bukhari no. 1968).
Hadits ini menegaskan bahwa keluarga memiliki hak yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim. Menjalankan kewajiban terhadap pekerjaan tidak boleh sampai mengabaikan kewajiban terhadap keluarga. Setiap hak harus dipenuhi sesuai porsinya agar tercipta keseimbangan.
Pentingnya Keseimbangan dalam Kehidupan Modern
Dalam konteks kehidupan modern, di mana pekerjaan sering kali menuntut perhatian penuh, tantangan untuk mencapai work-life balance semakin tinggi. Namun, dengan mengikuti panduan Al-Qur’an dan hadits, seorang Muslim dapat memahami pentingnya membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Ini bukan hanya untuk menjaga kesehatan mental, tetapi juga untuk membina keluarga yang harmonis dan memberikan ketenangan dalam hidup.
Menyeimbangkan pekerjaan dan rumah tangga berarti kita tidak hanya bekerja demi memenuhi kebutuhan materi, tetapi juga meluangkan waktu untuk keluarga. Ini menciptakan keharmonisan dalam hubungan, yang pada akhirnya menjadi ladang pahala dan bentuk ibadah kepada Allah. Dengan melaksanakan kedua kewajiban ini secara seimbang, seorang Muslim dapat menjalani kehidupan yang lebih tenang dan terarah, serta memperkuat hubungan dalam keluarganya.
Pandangan Syariat terhadap Keseimbangan Pekerjaan dan Rumah Tangga
Prinsip Syariat dalam Pembagian Waktu antara Pekerjaan dan Rumah Tangga
Islam menekankan pentingnya keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk pembagian waktu antara pekerjaan dan rumah tangga. Hal ini bertujuan agar seseorang tidak hanya berfokus pada pencapaian materi, tetapi juga memperhatikan keharmonisan keluarga. Dalam konsep Islam, seluruh aktivitas, baik di tempat kerja maupun di rumah, adalah bentuk ibadah jika diniatkan untuk Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)
Syaikh As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan,
أي: هو الذي سخر لكم الأرض وذللها، لتدركوا منها كل ما تعلقت به حاجتكم، من غرس وبناء وحرث، وطرق يتوصل بها إلى الأقطار النائية والبلدان الشاسعة، { فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا } أي: لطلب الرزق والمكاسب.
{ وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ } أي: بعد أن تنتقلوا من هذه الدار التي جعلها الله امتحانًا، وبلغة يتبلغ بها إلى الدار الآخرة، تبعثون بعد موتكم، وتحشرون إلى الله، ليجازيكم بأعمالكم الحسنة والسيئة.
“Maksudnya, Dia-lah yang menundukkan bumi untuk kalian agar kalian bisa mendapatkan apa pun yang kalian perlukan, seperti bercocok tanam, mendirikan bangunan, membuat jalan yang menghubungkan ke tempat yang jauh dan berbagai negara. “Maka berjalanlah di segala penjurunya,” maksudnya, untuk mencari rezeki dan penghasilan, “dan makanlah sebagian dari rezekinya. Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” Maksudnya, setelah kalian berpindah dari dunia ini yang dijadikan Allah sebagai tempat ujian dan penghantar menuju akhirat. Setelah kalian meninggal dunia, kalian akan dibangkitkan dan dikumpulkan menuju Allah untuk membalas amal perbuatan kalian, baik dan buruknya.”
Ayat ini menggambarkan bahwa manusia diperintahkan untuk berusaha di bumi, mencari rezeki sebagai bagian dari tugasnya. Namun, pada saat yang sama, kita juga harus menyadari bahwa kehidupan di dunia ini sementara, sehingga perlu membagi waktu dan tenaga dengan bijak, khususnya untuk keluarga yang merupakan tanggung jawab besar.
Menghindari Sifat Ekstrem dalam Fokus pada Pekerjaan hingga Mengorbankan Keluarga
Islam melarang segala bentuk ekstremisme, termasuk dalam hal pekerjaan. Ketika seseorang terlalu fokus pada karir hingga mengorbankan keluarga, maka ia kehilangan hak-hak yang seharusnya dipenuhi terhadap istri, anak-anak, dan orang tuanya. Seperti yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap bagian dari hidup kita memiliki haknya masing-masing. Mencari nafkah adalah kewajiban, tetapi menjaga keluarga dengan kasih sayang juga merupakan kewajiban yang tidak boleh diabaikan.
Hadits ini menekankan bahwa, meskipun seseorang berkewajiban bekerja, ia juga harus memperhatikan keluarganya dan memberikan waktu yang cukup bagi mereka. Menjadi pekerja keras tanpa meluangkan waktu untuk keluarga hanya akan merusak ikatan keluarga dalam jangka panjang.
Peran Keseimbangan dalam Mencapai Keharmonisan Keluarga
Bagaimana Ketidakseimbangan Pekerjaan dan Rumah Tangga dapat Mempengaruhi Ikatan Keluarga
Ketika pekerjaan mengambil alih sebagian besar waktu seseorang, ia akan cenderung kehilangan momen berharga bersama keluarga. Kelelahan fisik dan mental akibat pekerjaan juga dapat menyebabkan seseorang menjadi mudah marah, kurang sabar, dan emosional di rumah, yang dapat mengganggu keharmonisan keluarga. Ketiadaan waktu berkualitas dengan pasangan atau anak-anak bisa menyebabkan perasaan terabaikan dan memburuknya komunikasi dalam keluarga.
Banyak kasus menunjukkan bahwa ketidakharmonisan dalam rumah tangga kerap berawal dari kurangnya waktu bersama, yang kemudian berdampak pada kualitas hubungan. Dalam Islam, menjaga hubungan keluarga sangat dianjurkan, bahkan dinyatakan sebagai salah satu cara mencapai ridha Allah.
Studi Kasus dari Perspektif Islam Mengenai Pengaruh Pekerjaan terhadap Rumah Tangga
Studi kasus dari sejarah Islam dapat menunjukkan bagaimana para sahabat dan ulama membagi waktu antara tanggung jawab di luar rumah dan perhatian kepada keluarga. Misalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang sebagai pemimpin umat dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetap meluangkan waktu untuk keluarganya. Beliau sering membantu pekerjaan rumah, bercengkerama dengan istrinya, dan meluangkan waktu untuk anak-anak serta cucu-cucunya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membantu pekerjaan istri
عَنِ الأَسْوَدِ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ مَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصْنَعُ فِى أَهْلِهِ قَالَتْ كَانَ فِى مِهْنَةِ أَهْلِهِ ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ
Dari Al-Aswad, ia bertanya pada ‘Aisyah, “Apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika berada di tengah keluarganya?” ‘Aisyah menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membantu pekerjaan keluarganya di rumah. Jika telah tiba waktu shalat, beliau berdiri dan segera menuju shalat.” (HR. Bukhari, no. 6039)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berinteraksi dengan cucunya
وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ ( قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ , فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا , وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
وَلِمُسْلِمٍ : { وَهُوَ يَؤُمُّ اَلنَّاسَ فِي اَلْمَسْجِدِ } .
Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab. Jika beliau sujud, beliau meletakkannya dan jika beliau berdiri, beliau menggendongnya.” (Muttafaqun ‘alaih. Dalam riwayat Muslim, “Sedang beliau mengimami orang-orang di masjid.”) [HR. Bukhari, no. 516 dan Muslim, no. 543]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercengkerama dengan istri
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bercerita panjang pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَلَسَ إِحْدَى عَشْرَةَ امْرَأَةً فَتَعَاهَدْنَ وَتَعَاقَدْنَ أَنْ لاَ يَكْتُمْنَ مِنْ أَخْبَارِ أَزْوَاجِهِنَّ شَيْئًا
Sebelas orang wanita berkumpul lalu mereka berjanji dan bersepakat untuk tidak menyembunyikan sedikit pun cerita tentang suami mereka.
Dikisah istri yang kesebelas, yaitu Ummu Zar’, setelah itu Aisyah mengatakan,
قَالَتْ عَائِشَةُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُنْتُ لَكِ كَأِبي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ
Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku bagimu seperti Abu Zar’ bagi Ummu Zar’.
Dalam riwayat lain Aisyah berkata
يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ
“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku dari pada Abu Zar’” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5: 358, no. 9139)
Aisyah membutuhkan hiburan
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di depan pintu kamarku, sementara orang-orang Habasyah memainkan tombak di masjid. Beliau menutupiku dengan pakaian beliau agar aku melihat permainan mereka. Kemudian, beliau menghampiriku untuk memberikan perhatian kepadaku sampai aku sendiri yang bergegas pergi. Oleh karena itu, hargailah keperluan gadis belia yang masih suka bermain dan menghibur diri.” Dalam lafazh Ma’mar dan Az-Zuhri, “Aku terus memandangi sampai aku sendiri yang bergegas pergi, maka hargailah keperluan gadis belia yang masih suka mendengarkan hiburan.”
Lafaz Al-Auzai dari Az-Zuhri dalam hadits ini bahwa Aisyah mengatakan, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupiku dengan pakaian beliau, sementara aku memperhatikan orang-orang Habasyah yang sedang bermain di masjid sampai aku sendiri yang merasa jenuh. Maka, hargailah keperluan anak gadis belia yang masih menyukai permainan yang menghibur.” (HR. Bukhari, no. 5236 dan Muslim, no. 892)
Aisyah masih suka dengan mainan
Layaknya anak-anak, Aisyah ketika kecilnya sangat suka dengan mainan.
Karena usianya yang sangat muda, tidak heran setelah menikah dengan Rasulullah kita mendapati riwayat-riwayat yang menceritakan bahwa Aisyah masih suka bermain-main layaknya anak kecil .
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ « مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ ». قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ « مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ ». قَالَتْ فَرَسٌ. قَالَ « وَمَا هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ ». قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ « فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ ». قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari perang Tabuk atau Khaibar, sementara tempatnya ditutupi tirai. Begitu ada angin berhembus, tersingkaplah tirai itu hingga boneka-boneka mainan Aisyah terlihat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, ‘Apa ini wahai Aisyah?’ Aisyah menjawab, ‘Boneka-bonekaku.’ Beliau melihat di antara mainan itu ada kuda yang mempunyai dua sayap yang berupa robekan kain yang ditempelkan. ‘Apa yang aku lihat di tengahnya ini?’ tanya beliau. ‘Kuda,’ jawab Aisyah. ‘Apa yang ada di atasnya?’ tanya beliau. ‘Kedua sayapnya’, jawab Aisyah. ‘Apa benar kuda punya sepasang sayap?’ tanya beliau. Aisyah pun mengatakan, ‘Bukankah engkau sudah mendengar bahwa kuda Sulaiman itu mempunya sayap?’” Aisyah lantas berkata, “Beliau tertawa hingga aku bisa melihat gigi-gigi beliau.” (HR. Abu Daud, no. 4932)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَكَانَ لِى صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِى ، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَىَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِى
“Aku dahulu pernah bermain boneka di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku memiliki beberapa sahabat yang biasa bermain bersamaku. Ketika Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam rumah, mereka pun bersembunyi dari beliau. Lalu beliau menyerahkan mainan padaku satu demi satu lantas mereka pun bermain bersamaku.” (HR. Bukhari, no. 6130).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlomba lari dengan Aisyah
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan,
خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ وَأَنَا جَارِيَةٌ لَمْ أَحْمِلْ اللَّحْمَ وَلَمْ أَبْدُنْ فَقَالَ لِلنَّاسِ تَقَدَّمُوا فَتَقَدَّمُوا ثُمَّ قَالَ لِي تَعَالَيْ حَتَّى أُسَابِقَكِ فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ فَسَكَتَ عَنِّي حَتَّى إِذَا حَمَلْتُ اللَّحْمَ وَبَدُنْتُ وَنَسِيتُ خَرَجْتُ مَعَهُ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَقَالَ لِلنَّاسِ تَقَدَّمُوا فَتَقَدَّمُوا ثُمَّ قَالَ تَعَالَيْ حَتَّى أُسَابِقَكِ فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِي فَجَعَلَ يَضْحَكُ وَهُوَ يَقُولُ هَذِهِ بِتِلْكَ
“Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian safarnya, di mana saat itu aku masih muda, belum banyak daging di badanku, dan belum gemuk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada orang-orang, “Ayo maju!” Kemudian mereka maju. Kemudian beliau mengatakan, “Hai Aisyah, kemarilah. Mari kita berlomba.” Aku pun berlomba lari melawan beliau, lantas aku berhasil mendahului beliau. Beliau kemudian mendiamkanku hingga berat badanku mulai bertambah dan mulai gemuk. Aku sudah melupakan perlombaan yang dulu. Aku keluar bersama beliau dalam perjalanan beliau. Beliau mengatakan kepada orang-orang, “Majulah kalian.” Setelah mereka maju, beliau mengatakan kepadaku, “Kemarilah, aku mengajakmu berlomba.” Setelah dapat mendahului beliau, ternyata beliau berhasil mendahuluiku. Beliau tertawa dan mengatakan, “Yang ini impas dengan yang itu.” (HR. Ahmad, 6:39; Abu Daud, no. 2578; Ibnu Majah, no. 1979. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).
Dalam riwayat lain disebutkan,
هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ
“Yang itu adalah balasan untuk yang sebelumnya.”
Pelajaran pentingnya adalah:
– Suami sebaiknya memberikan waktu spesial pada istri.
– Istri juga butuh hiburan.
Keseimbangan Peran Suami dan Istri dalam Pekerjaan dan Rumah Tangga
Peran Suami dalam Menyelaraskan Pekerjaan dan Keluarga
Tanggung Jawab Utama Suami sebagai Pencari Nafkah
Dalam Islam, suami memiliki tanggung jawab utama sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini dijelaskan dalam Surah An-Nisa’ ayat 34,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisaa’: 34)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan yang dimaksudkan qowwamuna ‘ala an-nisaa’ adalah,
هُوَ رَئِيْسُهَا وَكَبِيْرُهَا وَالحَاكِمُ عَلَيْهَا وَمُؤَدِّبُهَا إِذَا اِعْوَجَتْ
“Suami itu adalah pemimpin istri, seniornya, menjadi pemberi keputusan untuknya, dan menjadi pendidik yang mengingatkan tatkala istri keliru.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:94)
Ayat ini menekankan tanggung jawab suami dalam memberikan nafkah dan mendukung kebutuhan finansial keluarga. Namun, tanggung jawab ini tidak berarti suami hanya bekerja tanpa mempertimbangkan perannya sebagai kepala keluarga yang harus menjaga keharmonisan rumah tangga.
Strategi Mengelola Pekerjaan agar Tidak Mengganggu Peran dalam Keluarga
Suami perlu mengatur waktu kerja dan istirahatnya sehingga tetap memiliki waktu yang cukup untuk keluarga. Ini bisa dilakukan dengan:
- Menetapkan batasan waktu kerja: Hindari membawa pekerjaan ke rumah atau bekerja hingga larut malam, sehingga tetap tersedia waktu untuk berinteraksi dengan keluarga.
- Memprioritaskan Kegiatan Keluarga: Menciptakan kebiasaan rutin seperti makan malam bersama atau akhir pekan tanpa pekerjaan untuk mempererat hubungan.
- Mengambil Liburan Bersama: Meluangkan waktu khusus untuk berlibur bersama keluarga agar dapat melepaskan diri dari tekanan kerja dan memperkuat ikatan keluarga.
Peran Istri dalam Rumah Tangga dan Pekerjaan
Tanggung Jawab Utama Istri dalam Mendukung Suami dan Membina Keluarga
Seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh (sekitar 3,5 km).” (HR. Bukhari, no. 5224 dan Muslim, no. 2182)
Demikian pula khidmat Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. (HR. Bukhari no. 5361 dan Muslim no. 2182)
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, menikahi seorang janda agar bisa berkhidmat padanya dengan mengurusi 7 atau 9 saudara perempuannya yang masih belia. Kata Jabir kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku, Abdullah, telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir,
فَباَرَكَ اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا –
“Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR. Muslim no. 715)
Memanfaatkan Waktu dengan Bijak agar Pekerjaan tidak Mengurangi Peran Penting dalam Rumah Tangga
Jika istri memilih untuk bekerja, ia perlu mengatur waktunya agar tetap bisa memberikan perhatian pada keluarga. Beberapa tips praktis yang dapat diterapkan antara lain:
- Mengatur Jadwal yang Fleksibel: Jika memungkinkan, pilih pekerjaan dengan jadwal yang fleksibel atau opsi bekerja dari rumah untuk mempermudah pengelolaan waktu.
- Menyusun Prioritas Harian: Fokuskan waktu pada tugas-tugas rumah tangga di pagi atau sore hari agar pekerjaan tidak mengganggu perannya sebagai ibu dan istri.
- Mengkomunikasikan Kebutuhan dengan Suami: Istri bisa mengkomunikasikan jadwal dan peran yang bisa saling membantu, sehingga suami memahami dan mendukung perannya sebagai wanita yang bekerja.
Catatan: Syarat Wanita Bekerja
- Pekerjaan yang Halal: Wanita harus memastikan bahwa pekerjaan yang diambil bukanlah pekerjaan haram, seperti bekerja sebagai pelayan di bar yang menyajikan minuman keras atau melakukan perjalanan jauh tanpa mahram, sehingga ia terpaksa tinggal sendirian di tempat asing yang berpotensi membahayakan dirinya.
- Memperhatikan Adab: Sebagai seorang muslimah, penting untuk memperhatikan adab dalam berpakaian, berjalan, dan berbicara. Beberapa ayat Al-Qur’an mengingatkan tentang adab ini:
- Tentang berpakaian, Allah Ta’ala berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya.” (QS. An-Nuur: 31)
-
- Tentang cara berjalan, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An-Nuur: 31)
-
- Tentang cara berbicara, Allah Ta’ala berfirman,
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32)
3. Memenuhi Kewajiban Utama: Pekerjaan wanita tidak boleh mengabaikan kewajiban utamanya dalam mengurus suami dan anak-anak.
4. Meminta Izin: Jika belum menikah, wanita harus meminta izin dari ayahnya, dan jika sudah menikah, izin dari suami. Tanpa izin, wanita harus tetap taat, karena nafkahnya masih menjadi tanggung jawab ayah atau suaminya. Oleh karena itu, penting untuk ada komunikasi antara suami dan istri saat akad nikah mengenai apakah istri diperbolehkan melanjutkan pekerjaan setelah menikah, selama memenuhi syarat yang telah disebutkan. Jika telah disepakati bahwa istri boleh bekerja, suami wajib menghormati kesepakatan tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الفُرُوجَ
“Syarat-syarat yang paling berhak kalian penuhi adalah syarat yang menghalalkan kemaluan wanita bagi kalian.” (HR. Bukhari, no. 2721 dan Muslim, no. 1418). Apabila suami melarang istri untuk bekerja, istri memiliki hak untuk mengajukan faskh (perpisahan).
5. Lingkungan Pekerjaan: Wanita sebaiknya bekerja di lingkungan yang hanya melibatkan wanita, seperti mengajar murid perempuan atau merawat pasien wanita, untuk menghindari interaksi langsung dengan pria.
Kolaborasi dalam Pembagian Tugas Rumah Tangga
Prinsip Musyawarah dalam Pembagian Tugas antara Suami dan Istri
Islam sangat menganjurkan musyawarah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk pembagian tugas di rumah. Ketika suami dan istri mendiskusikan dan menyepakati tanggung jawab masing-masing, hal ini tidak hanya meringankan beban tetapi juga meningkatkan saling pengertian dan kerjasama. Allah berfirman dalam Surah Asy-Syura ayat 38:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ…
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka…” (QS. Asy-Syura: 38)
Ayat ini menunjukkan pentingnya berunding dan mencapai kesepakatan dalam pembagian peran. Dengan cara ini, suami dan istri dapat menentukan tanggung jawab yang adil dan sesuai kemampuan masing-masing.
Contoh-Contoh Praktis bagaimana Suami dan Istri dapat Saling Membantu dalam Mengurus Rumah Tangga
Dalam kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada contoh bagaimana beliau membantu istri-istrinya dalam pekerjaan rumah tangga. Dalam sebuah hadits, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
“Beliau (Nabi Muhammad ﷺ) biasa membantu keluarganya, dan jika waktu shalat tiba, beliau pun pergi untuk shalat.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun Rasulullah ﷺ adalah pemimpin umat, beliau tetap membantu keluarganya dalam pekerjaan rumah. Dengan demikian, suami bisa mencontoh akhlak Rasulullah ﷺ dalam berperan serta dalam tugas rumah tangga, baik dengan membantu memasak, membersihkan, atau menjaga anak-anak.
Pembagian Tugas Berdasarkan Kebutuhan dan Kemampuan
Misalnya, suami bisa membantu mencuci piring setelah makan malam, sementara istri membersihkan atau mengatur keperluan anak-anak. Dengan begitu, tanggung jawab tidak hanya dibebankan kepada satu pihak, tetapi dikerjakan bersama sesuai kesepakatan.
Bekerjasama dalam Mengatasi Tugas di Akhir Pekan
Akhir pekan bisa digunakan untuk pekerjaan rumah yang lebih besar seperti berbelanja atau membersihkan rumah. Suami dan istri bisa menjadikannya momen kebersamaan dengan anak-anak, sehingga kegiatan tersebut juga menjadi waktu yang menyenangkan bagi keluarga.
Menjaga Keharmonisan melalui Kolaborasi
Dalam Islam, suami dan istri bukan hanya sekadar pasangan hidup tetapi juga mitra yang saling mendukung dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Ketika keduanya berbagi tanggung jawab secara adil dan proporsional, hal ini menciptakan suasana harmonis yang berdampak positif bagi semua anggota keluarga. Kolaborasi dalam mengelola rumah tangga mencerminkan kasih sayang dan rasa hormat yang kuat, yang merupakan fondasi penting dalam rumah tangga Islami.
Manajemen Waktu bagi Muslim dalam Menyeimbangkan Pekerjaan dan Rumah Tangga
- Mengatur Jadwal yang Efektif untuk Keluarga dan Pekerjaan:
-
- Pentingnya merencanakan jadwal harian agar waktu untuk pekerjaan dan keluarga seimbang.
- Tips praktis manajemen waktu sesuai dengan rutinitas Islam.
- Memaksimalkan Waktu Bersama Keluarga di Tengah Kesibukan Kerja:
-
- Kiat-kiat memperbaiki kualitas waktu yang singkat bersama keluarga.
- Pentingnya meluangkan waktu untuk keluarga sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang.
- Mengatasi Gangguan (Distractions) dalam Pekerjaan dan Kehidupan Pribadi:
-
- Mengidentifikasi dan mengurangi gangguan yang menghambat keseimbangan waktu.
- Menggunakan teknologi untuk membantu manajemen waktu, seperti aplikasi pengingat atau jadwal.
Tips Praktis untuk Menjaga Work-Life Balance dalam Keluarga Muslim
1. Membangun Rutinitas Keluarga yang Seimbang:
-
- Membuat rutinitas harian yang mencakup aktivitas bersama keluarga dan pekerjaan.
- Pentingnya rutinitas ibadah bersama sebagai pengikat keluarga.
2. Mengembangkan Kebiasaan Komunikasi yang Baik antara Suami dan Istri:
-
- Teknik komunikasi untuk mengatasi konflik dan memahami kebutuhan satu sama lain.
- Manfaat musyawarah dalam mengatur keseimbangan peran di rumah tangga.
3. Menyeimbangkan Karir dan Kehidupan Rumah Tangga di Era Modern:
-
- Strategi adaptasi terhadap perkembangan teknologi yang mempengaruhi work-life balance.
- Menggunakan fleksibilitas kerja dan waktu untuk mendukung keharmonisan keluarga.
Mengatasi Burnout dalam Pekerjaan dan Dampaknya terhadap Rumah Tangga
Burnout adalah kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental yang terjadi akibat stres berlebihan yang berkepanjangan di tempat kerja. Ketika seseorang mengalami burnout, mereka mungkin merasa kewalahan, kehilangan motivasi, dan kurang memiliki semangat dalam menjalani tugas-tugas yang biasa dilakukan. Burnout tidak hanya berdampak pada performa kerja, tetapi juga bisa menimbulkan masalah dalam kehidupan pribadi, terutama dalam hubungan rumah tangga.
Burnout yang tidak diatasi dengan baik dapat menyebabkan seseorang kehilangan keseimbangan dalam hidupnya, sehingga waktu dan energi yang seharusnya digunakan untuk keluarga menjadi terabaikan. Akibatnya, keharmonisan rumah tangga terganggu, dan stres di tempat kerja akhirnya berdampak pada hubungan dengan pasangan dan anak-anak.
A. Penyebab dan Tanda-Tanda Burnout
- Penyebab Burnout
- Jam Kerja yang Berlebihan: Ketika seseorang bekerja terlalu lama tanpa jeda, tubuh dan pikiran menjadi sangat lelah. Waktu istirahat yang kurang bisa memperparah situasi ini, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakseimbangan antara pekerjaan dan rumah tangga.
- Tuntutan Kerja yang Terus Menerus: Pekerjaan yang menuntut produktivitas tinggi dengan deadline ketat membuat seseorang selalu berada di bawah tekanan. Tekanan yang berlebihan ini menyebabkan stres yang berkepanjangan, yang dapat mengarah pada burnout.
- Kurangnya Dukungan dalam Pekerjaan: Lingkungan kerja yang tidak mendukung atau kurangnya penghargaan terhadap pencapaian dapat memicu perasaan tidak berharga, sehingga seseorang kehilangan motivasi untuk bekerja. Selain itu, beban kerja yang terlalu besar dan kurangnya bantuan dari rekan kerja juga berkontribusi pada terjadinya burnout.
- Tanda-Tanda Burnout
- Kelelahan Fisik dan Mental yang Berkepanjangan: Merasa lelah sepanjang waktu meskipun sudah beristirahat, kesulitan untuk berkonsentrasi, dan mengalami sakit kepala atau gangguan tidur.
- Perasaan Sinis atau Jarak Emosional terhadap Pekerjaan: Kehilangan rasa antusias atau semangat, merasakan ketidakpedulian, dan merasa terpisah secara emosional dari pekerjaan.
- Menurunnya Produktivitas dan Kualitas Pekerjaan: Kesulitan dalam menyelesaikan tugas, penurunan kinerja, dan kurangnya motivasi untuk melakukan pekerjaan dengan baik.
- Dampak Burnout terhadap Keharmonisan Rumah Tangga
- Ketika seseorang mengalami burnout, mereka sering kali tidak memiliki energi atau waktu untuk keluarga. Ini bisa mengakibatkan komunikasi yang buruk, ketidakmampuan untuk menunjukkan perhatian kepada pasangan atau anak-anak, dan konflik yang lebih sering muncul karena kelelahan dan ketidakstabilan emosional. Akibatnya, keharmonisan keluarga terganggu, dan hubungan antara suami, istri, dan anak-anak menjadi lebih renggang.
B. Solusi Islam dalam Mengatasi Keletihan dan Stres Kerja
- Konsep Istirahat dan Rehat sesuai Syariat
- Islam mengajarkan bahwa manusia membutuhkan istirahat untuk menjaga kesehatan fisik dan mental. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا…
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. Al-Baqarah: 286)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa tubuh memiliki batasan, sehingga penting untuk beristirahat dan tidak membebani diri secara berlebihan. Dengan mengatur waktu istirahat yang cukup, seseorang dapat menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kesehatan.
- Manfaat Dzikir, Doa, dan Ibadah dalam Menjaga Keseimbangan Mental
- Dzikir, doa, dan ibadah merupakan cara yang diajarkan Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ketenangan batin. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Ketika seseorang menghadapi tekanan atau stres, memperbanyak dzikir dan doa dapat membantu meredakan ketegangan dan memberikan ketenangan dalam hati. Meluangkan waktu untuk shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, atau bahkan mendengarkan ceramah keagamaan juga bisa menjadi bentuk istirahat spiritual yang membantu mengatasi burnout.
C. Pentingnya Melibatkan Keluarga dalam Menghadapi Keletihan Kerja
- Komunikasi dengan Pasangan dan Keluarga
- Keterbukaan dalam komunikasi dengan pasangan dan keluarga adalah kunci untuk mengatasi burnout. Dengan bercerita tentang tekanan di tempat kerja, pasangan dan anggota keluarga bisa lebih memahami situasi dan memberikan dukungan. Rasulullah ﷺ sendiri dikenal sebagai orang yang sangat memperhatikan komunikasi dengan keluarganya. Beliau sering berbicara dan mendengarkan keluh kesah para istri serta memberikan perhatian kepada kebutuhan emosional mereka.
- Selain itu, pasangan yang memahami kondisi satu sama lain akan lebih bisa memberi dukungan dengan cara yang tepat. Misalnya, jika suami sedang mengalami burnout, istri dapat membantu dengan mengambil alih beberapa tugas di rumah sementara suami beristirahat. Sebaliknya, suami yang mengetahui istri sedang mengalami stres dapat memberikan perhatian lebih atau mengajaknya beristirahat bersama.
- Dukungan Keluarga dalam Mengatasi Burnout dan Menjaga Kesehatan Mental
- Dukungan dari keluarga, baik dalam bentuk perhatian, bantuan, atau bahkan sekadar menemani, sangat penting untuk mengurangi beban yang dirasakan saat menghadapi burnout. Rasulullah ﷺbersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini menunjukkan pentingnya keluarga dalam kehidupan kita. Melibatkan keluarga dalam proses pemulihan dari burnout tidak hanya memperkuat ikatan, tetapi juga mempercepat proses pemulihan. Kegiatan sederhana seperti makan malam bersama, jalan-jalan singkat di sekitar rumah, atau sekadar berbicara santai dapat membantu meredakan stres yang dialami.
Kesimpulan
Keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga sangat penting untuk kesehatan mental dan kualitas hubungan. Islam mengajarkan bahwa segala aspek kehidupan, termasuk pekerjaan dan keluarga, memiliki hak yang harus dipenuhi. Dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits menekankan bahwa seseorang sebaiknya menjalankan tugas duniawi tanpa melupakan tanggung jawab kepada keluarga, karena menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga adalah bentuk ibadah yang membawa keberkahan.
Dalam menghadapi tekanan pekerjaan di era modern, Muslim dianjurkan untuk mengikuti konsep istirahat dan rehat yang sesuai syariat. Mengatasi burnout dan stres bisa dilakukan dengan memperbanyak dzikir, doa, serta memanfaatkan waktu bersama keluarga sebagai bentuk healing. Melibatkan keluarga dalam pemulihan burnout, melalui komunikasi yang terbuka dan saling mendukung, dapat memperkuat ikatan serta memberikan ketenangan dan keseimbangan hidup.
Suami dan istri memiliki peran yang berbeda tetapi saling melengkapi dalam menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan rumah tangga. Dengan kolaborasi dan musyawarah, mereka dapat berbagi tanggung jawab sesuai kemampuan masing-masing. Kegiatan bersama seperti akhir pekan tanpa pekerjaan dan liburan keluarga dapat membantu mempererat hubungan dan memberikan waktu berkualitas, sehingga keluarga menjadi sumber dukungan dan kebahagiaan di tengah kesibukan dunia kerja.
—
Ditulis pada 10 Rabiuts Tsani 1446 H, 13 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com