Bermaksiat dengan Harta: Pengertian, Jenis, dan Bahayanya
Harta, anugerah yang bisa menjadi ujian, terkadang memikat hati hingga melalaikan jiwa dari ketaatan. Namun, di balik kilauan dunia, tersimpan bahaya besar ketika harta dijadikan jalan menuju kemaksiatan.
Pengertian Maksiat dalam Bahasa dan Syariat
Secara bahasa, maksiat berarti sesuatu yang berlawanan dengan ketaatan. Misalnya, jika dikatakan “عصى العبد ربّه”(seorang hamba durhaka kepada Tuhannya), artinya dia tidak menaati perintah-Nya. Selain itu, maksiat dalam bahasa juga digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang bertentangan dengan ketakwaan dan keistiqamahan (jalan yang lurus).
Dalam istilah syariat, maksiat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar perintah dan keluar dari jalan yang benar secara sengaja. Pelaku maksiat disebut sebagai orang yang berbuat dosa, yaitu mereka yang tenggelam dalam perbuatan maksiat dan digolongkan sebagai orang fasik, karena mencampuradukkan amal saleh dengan perbuatan buruk.
Menjauhi Maksiat
Untuk menjauhi maksiat, syariat memberikan beberapa petunjuk yang meliputi beberapa aspek, antara lain:
1. Taat kepada Allah: Allah memerintahkan setiap Muslim yang baligh dan berakal untuk taat kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
ِ”يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ”
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu membatalkan amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33)
Ini juga termasuk menjauhi perbuatan syirik, sebagaimana yang diperintahkan kepada Yahudi dan Nasrani untuk meninggalkan penyembahan kepada selain Allah.
2. Taat kepada Rasulullah: Allah memerintahkan agar mengikuti perintah Rasulullah dan mempercayai ajaran beliau, seperti dalam firman-Nya:
ِ”يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ”
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah berpaling dari-Nya, sementara kamu mendengarkan.” (QS. Al-Anfal: 20)
3. Taat kepada pemimpin: Para ulama sepakat bahwa ketaatan kepada pemerintah adalah kewajiban, sesuai firman Allah:
ِ”يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ”
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan kepada ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa: 59)
4. Taat kepada ulama: Beberapa mufasir, seperti Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah, menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “ulil amri” dalam ayat tersebut adalah ulama. Islam mewajibkan ketaatan kepada ulama bahkan di atas ketaatan kepada orang tua.
5. Taat kepada orang tua: Berbakti kepada orang tua dan memperlakukan mereka dengan baik adalah perintah Allah yang terkait langsung dengan tauhid, sebagaimana firman-Nya:
ِ”وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا”
Artinya: “Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. Al-Isra: 23)
6. Taat kepada suami: Allah memerintahkan istri untuk taat kepada suaminya, dengan memberikan kepemimpinan kepada suami atas istri, seperti dalam firman-Nya:
ِ”الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ”
Artinya: “Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan karena kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)
Jenis-jenis dan Tingkatan Maksiat
Para ahli fikih membagi maksiat menjadi tiga tingkatan, sebagai berikut:
1. Maksiat yang mewajibkan hukuman hadd : Islam menetapkan hukuman hadd, seperti untuk pencurian, pembunuhan, atau zina. Ada tujuh jenis kejahatan yang masuk dalam kategori ini, dan Islam menetapkan hukuman yang jelas.
2. Maksiat yang hanya mewajibkan kafarat (denda): Misalnya, orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadan atau saat berihram, di mana Islam mewajibkan kafarat tanpa hadd.
3. Maksiat yang tidak mewajibkan hadd atau kafarat: Jenis ini mencakup banyak perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman hadd atau kafarat, tetapi pelakunya bisa dikenakan hukuman ta’zir, seperti memakan bangkai atau mencuri tanpa memenuhi syarat hadd.
Dengan memahami tingkatan maksiat ini, umat Islam diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam menjaga ketaatan mereka kepada Allah.
Harta dan Ilmu: Dua Jalan Berbeda
1. Cinta yang Berbeda
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ِأَنَّ حُبَّ العِلْمِ وَطَلَبَهُ أَصْلُ كُلِّ طَاعَةٍ وَحُبَّ الدُّنْيَا وَالْمَالِ وَطَلَبَهُ أَصْلُ كُلِّ سَيِّئَةٍ
“Cinta ilmu dan upaya mencarinya merupakan pokok dari setiap ketaatan. Sementara cinta dunia dan harta, serta usaha mencarinya, menjadi akar dari segala kejahatan.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:414)
2. Ilmu untuk Taat, Harta untuk Maksiat
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ِأَنَّهُ مَا أَطَاعَ اللهَ أَحَدٌ قَطُّ إِلَّا بِالْعِلْمِ وَعَامَّةَ مَنْ يَعْصِيهِ إِنَّمَا يَعْصِيهِ بِالْمَالِ
“Tidak ada seorang pun yang bisa menaati Allah kecuali dengan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya, mayoritas orang yang bermaksiat kepada Allah melakukannya karena harta.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:414)
3. Dakwah dengan Ilmu, Bukan Harta
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ِإِنَّ العَالِمَ يَدْعُو النَّاسَ إِلَى اللهِ بِعِلْمِهِ وَحَالِهِ وَجَامِعَ المَالِ يَدْعُوْهُمْ إِلَى الدُّنْيَا بِحَالِهِ وَمَالِهِ
“Seorang alim mengajak manusia menuju Allah dengan ilmu dan perilakunya yang mencerminkan ketaatan, sementara orang yang mengumpulkan harta mengajak manusia kepada dunia dengan hartanya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:415)
4. Kekayaan yang Membinasakan
Harta seringkali menjerumuskan pemiliknya dalam kebinasaan, karena kecintaan manusia pada harta sangat besar. Ketika seseorang melihat orang lain memiliki harta yang dicintainya, ia bisa terjebak dalam rasa iri dan bahkan membinasakanx orang lain demi harta tersebut. Sebaliknya, orang yang kaya ilmu justru membawa kehidupan sejati, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain. Orang-orang yang melihat seorang alim akan mencintai, melayani, dan memuliakannya.
5. Kenikmatan yang Berbeda
Kenikmatan yang diperoleh dari harta seringkali hanyalah kenikmatan yang bersifat semu (لَذَّةٌ وَهْمِيَّةٌ) atau kenikmatan yang bersifat hewani (لَذَّةٌ بَهِيمِيَّةٌ). Ketika seseorang merasakan kenikmatan dalam mengumpulkan dan memperoleh harta, hakikatnya itu adalah kenikmatan yang hanya semu. Sedangkan ketika seseorang merasakan kenikmatan dalam memanfaatkan harta untuk memuaskan syahwatnya, itu adalah kenikmatan yang setara dengan kenikmatan hewan. Sebaliknya, kenikmatan ilmu adalah kenikmatan akal dan ruh, serupa dengan kebahagiaan para malaikat.
Bahasan “Harta dan Ilmu: Dua Jalan Berbeda” sangat berkaitan dengan tema “Bermaksiat dengan Harta”.
1. Cinta yang Berlawanan: Cinta kepada ilmu mengarahkan seseorang pada ketaatan, sedangkan cinta kepada harta sering menjadi akar dari segala bentuk kemaksiatan. Ini menegaskan bahwa harta, jika dicintai secara berlebihan, bisa menjerumuskan pada dosa.
2. Harta sebagai Sumber Kemaksiatan: Mayoritas orang yang bermaksiat melakukannya karena dorongan harta, sementara ketaatan kepada Allah hanya bisa dicapai dengan ilmu. Ini menegaskan bahwa harta seringkali menjadi alat untuk bermaksiat.
3. Dakwah dengan Ilmu, Bukan Harta: Orang yang memiliki ilmu menyeru manusia kepada Allah, sedangkan orang yang terobsesi dengan harta menarik manusia kepada dunia. Ini menunjukkan bagaimana harta bisa mengalihkan seseorang dari tujuan akhirat dan mengantarkan pada kemaksiatan.
4. Kekayaan yang Membinasakan: Harta bisa memicu perasaan iri dan membawa pemiliknya pada kebinasaan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cinta berlebihan terhadap harta mengarah pada perilaku tercela dan tindakan maksiat.
5. Kenikmatan yang Semu: Kenikmatan harta sering kali bersifat sementara dan tidak abadi, berbeda dengan kenikmatan ilmu yang menyentuh akal dan ruh. Ini menunjukkan bahwa harta, jika digunakan untuk maksiat, tidak memberikan kepuasan hakiki.
Dengan penjelasan ini, dapat terlihat bahwa harta bisa menjadi faktor besar dalam menjerumuskan seseorang dalam kemaksiatan, sesuai dengan tema tulisan Anda.
Kesimpulan
Bermaksiat dengan harta adalah menggunakan harta untuk melanggar perintah Allah dan melakukan perbuatan dosa. Bahayanya, harta dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kebinasaan, membuatnya terjebak dalam cinta dunia dan kemaksiatan. Untuk menghindarinya, seseorang harus memperbanyak ilmu, mengutamakan ketaatan kepada Allah, serta menggunakan harta untuk kebaikan dan amal saleh. Cinta ilmu dan takwa menjadi solusi utama agar harta tidak menjadi alat kemaksiatan.
Referensi:
• Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. (1433 H). Miftah Daar As-Sa’aadah wa Mansyur Walaayah Ahli Al-‘Ilmi wa Al-Idarah (Cet. 1). Takhrij oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabiy Al-Atsariy. Dar Ibnul Qayyim dan Dar Ibnu ‘Affan. (Vol. 1, pp. 412-430).
• Mawdoo3. (n.d.). تعريف المعصية لغة وشرعًا. https://mawdoo3.com/تعريف_المعصية_لغة_وشرعًا
–
Diselesaikan pada 1 Rabiuts Tsani 1446 H, 4 Oktober 2024 @ Perjalanan Gunungkidul – Masjid RS JIH Jogja
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com