Shalat

Renungan untuk Rajin Shalat Berjama’ah di Masjid

Shalat jama’ah memiliki keutamaan dibanding shalat sendirian dengan selisih 27 derajat sebagaimana sering kita dengar. Inilah keutamaan shalat jama’ah tersebut. Disamping itu, orang yang menunggu shalat di masjid juga akan mendapat pahala dan do’a malaikat. Begitu pula ketika seseorang sudah berjalan dari rumahnya menuju masjid, itu pun sudah dihitung pahalanya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَصَلاَتِهِ فِى سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لاَ يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ لاَ يُرِيدُ إِلاَّ الصَّلاَةَ فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِى الصَّلاَةِ مَا كَانَتِ الصَّلاَةُ هِىَ تَحْبِسُهُ وَالْمَلاَئِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِى مَجْلِسِهِ الَّذِى صَلَّى فِيهِ يَقُولُونَ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ

“Shalat seseorang dengan berjama’ah lebih banyak pahalanya daripada shalat sendirian di pasar atau di rumahnya, yaitu selisih 20 sekian derajat. Sebab, seseorang yang telah menyempurnakan wudhunya kemudian pergi ke masjid dengan tujuan untuk shalat, tiap ia melangkah satu langkah maka diangkatkan baginya satu derajat dan dihapuskan satu dosanya, sampai ia masuk masjid. Apabila ia berada dalam masjid, ia dianggap mengerjakan shalat selama ia menunggu hingga shalat dilaksanakan. Para malaikat lalu mendo’akan orang yang senantiasa di tempat ia shalat, “Ya Allah, kasihanilah dia, ampunilah dosa-dosanya, terimalah taubatnya.” Hal itu selama ia tidak berbuat kejelekan dan tidak berhadats.” (HR. Bukhari no. 477 dan Muslim no. 649).

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1- Bolehnya melaksanakan shalat di pasar, meskipun saat itu hati terkadang tersibukkan dengan urusan duniawi dan kurang khusyu’ sehingga kurang disukai.

2- Shalat jama’ah lebih utama daripada shalat sendirian yaitu 25, 26, atau 27 derajat sebagaimana disebutkan dalam riwayat lainnya.

3- Hukum shalat jama’ah bagi pria adalah fardhu ‘ain menurut pendapat yang lebih kuat. Hal ini telah dijelaskan oleh Rumaysho.Com pada tulisan “Hukum Shalat Jama’ah”. Sedangkan bagi wanita tidaklah dihukumi wajib sebagaimana diterangkan dalam tulisan “Shalat Jama’ah bagi Wanita”, bahkan shalat wanita lebih baik di rumahnya. Sedangkan hadits ini yang menerangkan pahala shalat jama’ah 20 sekian derajat daripada shalat sendirian tidak menunjukkan bahwa hukum shalat jama’ah itu sunnah (dianjurkan). Dalil lain menunjukkan bahwa hukum shalat jama’ah itu wajib ‘ain karena ada ancaman keras bagi yang meninggalkan shalat jama’ah dan orang buta yang mendengar adzan masih disuruh untuk menghadiri shalat jama’ah.

Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhohullah berkata, “Orang yang melaksanakan shalat sendirian masih sah, namun dihukumi berdosa karena ia telah meninggalkan shalat berjama’ah. Wallahu a’lam.” (Lihat Bahjatun Nazhirin, 1: 38). Ini tentu bagi yang meninggalkan shalat jama’ah tanpa ada uzur.

Silakan baca tulisan Rumaysho.Com mengenai “Keutamaan Shalat Jama’ah”.

4- Niat yang membuat seseorang pergi keluar hingga menunggu shalat dinilai berpahala. Jika seseorang keluar rumah tidak berniat untuk shalat, tentu tidak mendapat pahala seperti itu. Sehingga benarlah Imam Nawawi memasukkan hadits ini dalam kitab beliau Riyadhus Sholihin pada hadits no. 10 di Bab “Ikhlas dan Menghadirkan Niat”.

5- Shalat lebih utama dari amalan lainnya karena terdapat do’a malaikat di sana.

6- Di antara tugas para malaikat adalah mendo’akan kebaikan pada orang-orang beriman. Do’a ini ada selama seorang yang shalat tidak berbuat kejelekan di masjid dan selama ia terus berada dalam keadaan suci (berwudhu).

7- Hadits ini menunjukkan keutamaan menunggu shalat. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika seseorang menunggu shalat dalam waktu yang lama, setelah sebelumnya melakukan shalat tahiyatul masjid dan berdiam setelah itu, maka akan dihitung pahala shalat.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 1: 74).

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Hanya Allah yang memberi taufik dan petunjuk.

Referensi:

Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhish Sholihin, Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilaliy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H, 1: 37-38.

Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhish Sholihin, Dr. Musthofa Al Bugho, dll, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1432 H, hal. 17.

Syarh Riyadhish Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan tahun 1426 H, 1: 73-74.

@ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, 3 Sya’ban 1434 H setelah ‘Ashar

www.rumaysho.com

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Artikel yang Terkait

9 Komentar

  1. Assalamualaiakum, ustadz mengenai status antum tentang gamis pakistan, ana sering pakai itu ke masjid, karena memang satu komplek pakai gamis pakistan semua (meskipun tidak seluruhnya), apakah saya berdosa karena memakainya? apakah harus membuangnya?

  2. Tanya ustadz?
    Bagaimana untuk kondisi jama’ah seperti yang terjadi di kampung saya,
    biasanya masjid hanya di gunakan pada sholat jum’at saja dan pada bulan Romadhon itupun cuma sholat ‘isya dan tarawihnya shubuhnya 1 shaff tidak penuh.
    Untuk hari2 lain, biasanya saya cuma saya sendiri. kadang2 saja ada jama’ah satu dua yang datang.
    Yang jadi pertanyaan adalah apakah sudah dapat dikatakan sholat berjamaah saat saya meniatkan sholat berjama’ah ke masjid tetapi tidak ada jama’ah yang lain yang datang padahal saya sudah adzan maupun iqomat?

  3. Ustadz tentang faidah no. 1 dan no. 3, kok bertentangan ya?

    Pada point no. 1, disbutkan: “Bolehnya melaksanakan shalat di pasar, meskipun saat itu hati terkadang tersibukkan dengan urusan duniawi dan kurang khusyu’ sehingga kurang disukai.” Sedangkan pada point no. 3 disebutkan:”Hukum shalat jama’ah bagi pria adalah fardhu ‘ain menurut pendapat yang lebih kuat.”

    Pertanyaan saya:

    1. Jika dikatakan “boleh shalat di pasar”, mengapa tetap mengatakan “shalat jamaa’ah fardhu ‘ain”? bukankah orang yang shalat dipasar dihukumi “berdosa” menurut pendapat fardhu ‘ain?

    2. Jika dikatakan: “Bolehnya melaksanakan shalat di pasar, meskipun saat itu hati terkadang tersibukkan dengan urusan duniawi dan kurang khusyu’ sehingga kurang disukai.”

    – Bukankah dalam hadits diatas disebutkan bukan hanya pasar saja tapi juga rumah? Rasulullah bersabda: صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَصَلاَتِهِ فِى سُوقِهِ

    – Bukankah menandakan BOLEH dan SAH shalat di pasar maupun di rumah berdasarkan hadits diatas? sekaligus memalingkan kewajibannya?

    – Bagaimana hadits diatas digunakan untuk “memalingkan dari syarat sah shalat”, tapi tidak digunakan untuk “memalingkan hukum dari fardhu ‘ain”? Bukankah lebih baik mengkompromikan hadits daripada mengambil salah satunya dan meninggalkan yang lain? sehingga hadits diatas merupakan pemalingan dari syarah sah shalat dan hukum fardhu ‘ain?

    – Bukankah hadits diatas shalatnya seseorang di pasar atau di rumahnya (baik sendirian maupun berjama’aah) tidak mendapatkan celaan dari Rasuulullaah? (meski disepakati bahwa berjama’ah di masjid, dengan imam rawatib dan jama’ah pertama lebih utama)? Kalaulah hal tersebut mungkar? mengapa tidak dijelaskan Rasuulullaah pada saat itu juga? bukankah tidak diperbolehkan mengakhirkan penjelasan pada waktunya, jika memang hal tersebut mungkar? dan bahkan penulis sendiri pada faidah no. 1 menyatakan akan “bolehnya shalat di pasar”?

    Mohon pencerahan…

    1. Berarti pendapat yang dianut penulis adalah: “yang menjadi kewajiban adalah shalat jama’ahnya”, bukan di “masjid”nya…

      Yaitu:

      “shalat berjama’ah itu wajib secara dzatnya, tapi tidak wajib di laksanakan di masjid, boleh di tempat selainnya” (seperti berjama’ah di rumah, kantor, pasar, pabrik, dll; yang penting dikerjakan “berjama’ah”)

      Bagiamana dengan dalil yang dibawakan penulis diatas:

      “ada ancaman keras bagi yang meninggalkan shalat jama’ah dan orang buta yang mendengar adzan masih disuruh untuk menghadiri shalat jama’ah.”

      – Bukankah ancaman tersebut tertuju kepada orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah bersama imam rawatib dan jama’ah pertama?

      – Bukankah shalat jika dikerjakan di rumah, pasar, kantor, pabrik; sedangkan di masjid sedang dilaksanakan shalat jama’ah bersama imam rawatib; maka mereka tidak termasuk “memenuhi panggilan”?

      – Kalau misalkan seorang yang tanpa udzur melewatkan jama’ah pertama, sekalipun dia mengadakan jama’ah kedua dimasjid, tetap saja tidak menghilangkan fakta bahwa ia adalah seorang yang “tidak memenuhi panggilan” (untuk melaksanakan shalat berjama’ah bersama imam rawatib dan jama’ah pertama)?

      – Jika demikian… dari sisi mana penulis menggunakan dalil diatas, padahal dalil diatas adalah hujjahnya orang yang “mewajibkan shalat berjama’ah harus di masjid, dan harus bersama imam rawatib dan jama’ah pertama” yang justru tidak sejalan dengan pendapat: “shalat berjama’ah wajib, tapi tidak wajib dikerjakan di masjid”?

      Dan jika penulis menggunakan hadits:

      صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَصَلاَتِهِ فِى سُوقِهِ

      untuk menetapkan “boleh dan sah” shalat di selain masjid. sekaligus membantah yang menetapkan “berjama’ahnya, harus di masjid dan bersama imam rawatib”

      Maka mengapa penulis tidak berhujjah dengan hadits:

      صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

      untuk menetapkan “boleh dan sah” shalat sendirian, karena hal inipun membantah dua kelompok diatas: “baik yang menetapkan jama’ah, wajib secara dzat” atau “jama’ah wajib di masjid, pada jama’ah pertama”

      bahkan Rasulullah menetapkan dengan lisannya:

      إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا مَمْشًى فَأَبْعَدُهُمْ وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّيهَا ثُمَّ يَنَامُ

      وَإِنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ

      Akan tidak mungkarnya shalat sendirian?

    2. Yang dimaksudkan “bukan syarat sah”, tapi “syarat wajib”…

      Ini yang dipegang sebagian madzhab hanabilah… berdasarkan hadits ibnu ummi maktum, hadits abu hurairah, serta atsar ibnu mas’uud…

      karena jika “dikatakan wajib”, maka yang dimaksudkan dengan “wajib”, adalah “mendatangi jama’ah di masjid, bersama imam dan jama’ah pertama”, bukan jama’ah ‘tandingan’ yang didirikan di selain masjid, atau jama’ah kedua (yang dilakukan orang-orang yang terlambat)… sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits diatas…

      kalau seseorang tidak memenuhi seruan adzan, dengan tidak datang ke masjid, dan ia tanpa udzur. Maka menurut pendapat yang mewajibkan (dari sebagian hanaabilah) ia berdosa; “meskipun ia shalat di rumah/pasar/kantor dengan berjama’ah”… “meskipun ia membuat jama’ah kedua di masjid”

      yang dipertanyakan: “mengapa menggunakan dalil diatas, untuk mewajibkan (jama’ah secara mutlak)… sedangkan yang diinginkan dari haditsnya adalah mendatangi masjid untuk shalat bersama imam rawatib dan jamaa’ah pertama ?

      mohon pada pembahasanny dijawab pertanyaan saya diatas ustadz… jazakallahu khairan wa baarakallaahu fiik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button